Egler

Reads
58
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Game Yang Aneh

Anton mengempaskan tas ke atas kasur. Ia melirik jarum pendek jam dinding yang berada di antara angka satu dan dua. Hanya ada satu jam lagi sebelum orangtuanya pulang. Dan itu waktu yang cukup untuk bermain game online di warnet ujung jalan. Tak ada waktu untuk mengganti pakaian. Perutnya yang berdendang ria pun ia abaikan. Semua demi game online yang sudah memanggil-manggilnya untuk dimainkan. Kakinya yang kecil berlari dengan cepat. Ia melesat bagaikan anak panah yang meluncur dari sebuah busur. Anak panah itu tepat sasaran. Langsung Anton duduk di depan komputer yang berada di room paling pojok. Tempat itu paling nyaman untuk Anton bermain game karena paling tersembunyi di antara room lain. Lima belas menit berlalu, Anton semakin menikmati game Counter Strike yang ia mainkan. Saat berhasil menjatuhkan satu musuh, hal itu menimbulkan kebahagiaan tersendiri untuk Anton. Ia bersorak, menggeram, mengumpat sendirian, layaknya orang yang sudah tak punya kewarasan. Tiba-tiba tubuhnya membeku. Mouse di tangan kanannya tak bergerak. Napas tertahan bersamaan dengan mata melebar. Ada seseorang yang menyentuh pundaknya. Jika itu adalah mama atau papanya, ini pasti akan menjadi hari yang memalukan. Karina, mamanya tak akan segan-segan memarahi dan menjewer telinga Anton agar keluar dari warnet. Dan itu sudah sering terjadi. Tidak satu atau dua kali, namun sering kali. Tatapannya bergerak ke belakang, memeriksa siapa yang menghampiri. Napasnya keluar dengan keras di saat ia melihat tangan yang ada di pundaknya adalah tangan Bastian, teman sekolahnya. “Kamu kenapa, Ton? Udah kayak lihat setan aja!” kata Bastian. “Aku kira yang datang itu Papa atau Mamaku. Kamu tahu kan Papa dan Mamaku ngelarang aku buat main game online? Kalau aku ketahuan main, aku enggak akan dikasih uang jajan,” sahut Anton, memanyunkan bibir. “Iya, aku tahu itu.” Bastian menoleh pada layar komputer. “Tapi, kamu udah kasih tahu nilaimu itu, belum?” “Nilai?” gumam Anton. Astaga! Ia baru ingat tentang nilai ulangannya hari ini. Kertas hasil ulangan itu ada di dalam tas. Ia lupa membuang kertas itu. Kalau Mama atau Papanya mengetahui nilai ulangannya hari ini, ia tidak akan diperbolehkan keluar kamar satu minggu. Persis seperti waktu ia mendapatkan nilai nol satu bulan yang lalu. “Kamu tahu, enggak? Waktu aku nunjukin nilai ulanganku hari ini, Mama langsung menjewer telingaku. Padahal aku udah dapat nilai enam,” kata Bastian, menunjukkan telinganya yang masih merah. Anton meneguk ludah. Bastian yang mendapat nilai enam saja masih kena jewer. Lalu bagaimana dengan Anton yang cuma dapat nilai dua? Apa ia akan mendapat hukuman yang lebih berat dari sekadar jeweran dan dikurung dalam kamar? Bayang-bayang hukuman yang menakutkan mengusik kenyaman Anton bermain game. Ia tak bisa fokus lagi. Angka dua dan ekspresi kemarahan orangtuanya menggelayut di dalam benaknya. Belum sempat Anton mendapatkan kesadaran kembali. Telinganya terasa sakit seperti sedang ditarik. Ternyata, itu bukan hanya perasaan saja. Telinganya benar-benar ditarik oleh Mamanya. Ia tak menyadari kapan Mamanya datang hingga ia tak sempat untuk bersembunyi. “Game online lagi, Anton?” ujar Karina dengan bola mata yang seakan hendak keluar. “Udah berapa kali Mama bilang? Jangan main game online mulu!” Beberapa kepala menyembul dari room di warnet itu. Mereka menatap serempak pada Anton yang tengah merintih kesakitan. “Ampun, Ma!” pinta Anton. “Ayo cepat pulang!” bentak Karina tak peduli dengan putranya yang terus memohon agar dilepaskan.. Karina membayar uang warnet sembari terus menarik tangan Anton. Terpaksa Anton menurut. Di sepanjang jalan ia meringis karena telinganya terasa panas. Dijewer mama dan dipermalukan di depan semua orang di warnet bukanlah akhir dari hukuman yang akan ia dapatkan, melainkan sebuah awal dari hukuman yang lebih menakutkan lagi. Papanya pasti sudah menunggu untuk memberikan ceramah yang amat membosankan. Belum lagi hukuman utama, yaitu tidak diperbolehkan keluar rumah selama satu minggu. “Lihat nih, Pa! Pangeran Papa main game online lagi.” Mamanya mengempaskan Anton ke sofa. Mama dan Papanya selalu memanggil Anton dengan pangeran. Itu ide Papanya Anton. Karina bahkan tak mengerti kenapa suaminya memanggil anak mereka dengan sebutan pangeran. Meski terdengar aneh, Karina tetap ikut-ikutan memanggil Anton dengan panggilan yang sama. “Yang membuat Mama makin kesel, dia enggak sempet ganti baju,” ketus Karina. Andrian, Papanya Anton mengulurkan tangan pada putranya yang menunduk tak berani menatap ke arahnya. Mengerti dengan maksud Papanya, Anton berpindah ke sofa di mana Papanya duduk. “Kenapa Pangeran Papa tak ganti seragam dulu sebelum pergi main ke luar? Pangeran Papa anak baik kan?” Andrian membelai lembut puncak kepala Anton. Inilah yang istimewa dari orangtua Anton. Jika Karina sedang marah, pasti Andrian akan membela hingga Anton merasa nyaman kembali. Dan sebaliknya, jika Andrian yang marah maka Karina yang akan membela. Dengan seperti itu, apakah semua baik-baik saja dan ia akan luput dari hukuman? Tentu saja tidak. Hukuman itu akan ia terima jika mamanya menang dalam perdebatan dengan papanya. “Sekarang, Papa tak bisa melindungi Pangeran Papa ini. Dia enggak boleh keluar dari rumah selama satu minggu. Dia harus belajar!” seru Karina melotot pada Anton yang meringkuk ke pelukan Andrian. “Semua terserah Mama!” ujar Papanya mengejutkan Anton. Tak biasanya Andrian langsung mengalah. Kenapa hari ini tak ada perdebatan? Kenapa Papanya tak membela Anton seperti hari-hari sebelumnya? “Kenapa Papa enggak bela Anton?” rengek Anton menggoncang tubuh Andrian. “Bagaimana bisa Papa ngebelain kamu kalau nilai ulangan kamu begini.” Andrian menunjukkan nilai ulangan yang diperoleh Anton hari ini. “Dari mana Papa dapat kertas itu?” “Tak usah banyak tanya! Cepat masuk kamar!” perintah Mamanya dengan keras. Anton tak punya pilihan. Ia bangkit dari sofa lalu berjalan menuju kamar. Sepanjang langkah menuju kamar, mulutnya komat-kamit layaknya sedang membaca mantra agar ia terbebas dari hukuman. “Lihat tuh Pa, Pangeranmu!” Karina, mamanya Anton duduk di salah satu sofa. “Bukannya itu juga Pangeran Mama? Kenapa Papa saja yang disuruh lihat?” ketus Andrian tak mau disalahkan. “Berdebat dengan Papa memang enggak bakalan ada habisnya.” “Mama juga, kenapa Mama suka berdebat dengan Papa?” Perseteruan Karina dan Andrian ternyata tak bisa dielakkan meski mereka satu pemikiran untuk saat ini agar tak memperbolehkan Anton keluar rumah. Namun, sesungguhnya perseteruan itu bukanlah sebuah masalah besar. Itu hanyalah cara mereka saling memberi perhatian. Orang lain tentu saja tak akan mengerti seperti apa mereka. Karena munurut Karina dan Andrian, pendapat orang lain tidaklah penting untuk dijadikan beban pikiran. Hujan turun dengan deras. Anton menarik selimut hingga menutupi kepala untuk mencegah dinginnya malam yang terus berusaha mengusiknya. Ia memejamkan mata, mencoba menerobos dunia mimpi. Namun, ia tak bisa lagi terlelap. Ia sudah tidur seharian. Dan sekarang ia tak bisa tidur lagi. Anton membuka selimut lalu bangkit dari tempat tidur. Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan! katanya dalam hati. Bola matanya menangkap setumpuk buku di meja belajar. Tidak. Bukan itu yang ia cari. Buku hanya akan membuatnya semakin bosan. Karena tak menemukan sesuatu di dalam kamar, Anton memutuskan keluar. Telapak kaki kecilnya bergerak menuju ruang tengah. Tak ada orang di sana. Pasti mama dan papanya sudah tidur. Pandangannya bergerak lagi, mencari sesuatu yang mampu mengenyahkan kebosanan yang melanda. Hanya TV yang ada di ruang tengah. Mungkin itu bisa membantu. Ya. Untuk saat ini hanya itu yang bisa dimanfaatkan. Anton bisa menonton film kartun kesukaannya. Namun, di saat ia sudah memegang remot, ia mengurungkan niat itu. Menyalakan TV pada jam sepuluh malam bukanlah pilihan yang tepat. Itu sama saja memancing mama atau papanya untuk menambah hukuman yang harus ia tanggung. Jika sampai mamanya terbangun karena mendengar suara TV, mungkin ia tak hanya dikurung di dalam rumah selama satu minggu. Akan tetapi, untuk selamanya. Bandel. Sudah tak terhitung lagi orang yang mengatakannya anak bandel. Tak semua orang. Ada beberapa yang memanggilnya dengan panggilan yang berbeda. Ada yang memanggilnya anak nakal, anak berandalan, maniak game online, ataupun panggilan yang lain. Tapi, bukankah artinya sama saja dengan bandel? Nilai ulangannya memang rendah di sekolah. Setiap kali ulangan, ia selalu mendapat nilai di bawah lima. Bahkan jika ia mendapat nilai lima, itu sudah merupakan pencapaian yang sangat bagus. Dilihat dari kerajinannya belajar, Anton memang tak akan pernah mendapatkan nilai lebih dari itu. Anton adalah anak tunggal dari Karina dan Andrian. Ia tak punya kakak ataupun adik yang bisa diajak bermain. Papa dan mamanya juga tak mungkin diajak bermain. Keduanya sibuk dengan pekerjaan masingmasing. Papanya bekerja di sebuah perusahaan periklanan, sedangkan 10 8 mamanya bekerja di sebuah restoran Jepang milik mereka sendiri. Dengan segudang jadwal meeting yang menyesakkan, sudah jelas papanya tak akan sempat mengajak Anton bermain kuda-kudaan atau sekadar bermain mobil-mobilan. Mamanya juga tak kalah sibuk. Setiap hari, mamanya harus memeriksa keadaan restoran yang setiap hari cukup ramai dikunjungi pelanggan. Kesendiriaannya ia lampiaskan pada game online. Dengan bermain game online, ia tak lagi merasa kesepian. Game online memliki keseruan tersendiri untuknya. Bahkan di saat ia bermain dengan teman-teman di sekolah, game online jauh lebih mengasyikkan. Andai mama dan papanya memasang komputer dan jaringan internet di rumah, maka ia tak akan perlu ke warnet lagi untuk bermain game. Dan kejadian memalukan tadi siang tak mungkin terjadi. Akan tetapi, Karina dan Andrian tentu memiliki pertimbangan untuk tak memasang internet. Menurut mereka, memasang internet di rumah sama saja dengan membuat Anton melupakan dunia. Untuk saat ini, game offline juga sudah cukup. Anton tahu, hanya satu tempat yang memungkin ia bermain game, yaitu ruang kerja papanya. Di sana ada sebuah komputer. Jika ia beruntung, ia juga bisa menemukan laptop. Nasib Anton tidaklah terlalu sial. Di dalam ruang kerja papanya, ia menemukan komputer dan laptop. Anton mengetuk-ngetukkan dagu dengan telunjuk, bingung memilih yang mana akan ia mainkan. Setelah berpikir beberapa menit, ia memilih untuk memainkan komputer. Alasannya sederhana. Karena komputer lebih besar dan sudah memenuhi meja kerja papanya, sehingga untuk bermain games dengan menggunakan laptop agak terlalu sempit. Tak cukup ruang lagi. Anton menyalakan komputer. Begitu komputer menyala dan siap dioperasikan, ia langsung menuju ke folder games. Biasanya ia memainkan game Fiding Fenzy. Game yang memuat tokoh ikan itu lumayan seru. Meski monoton hanya makan memakan ikan, namun keseruannya akan bertambah di setiap level. Karena semakin tinggi level maka semakin tinggi pula kesulitannya. Di saat Anton hendak membuka folder game, ada sebuah yang folder mengalihkan perhatiannya. Folder itu bernama Egler. Dari namanya, Anton berpikir kalau itu mungkin saja game yang baru diinstal oleh papanya. Dugaannya tak meleset, folder itu memang berisikan sebuah game. Game dengan format animasi yang menakjubkan. Dari tampilan awal, Anton tahu kalau game itu berlatarkan kerajaan modren dengan bangunan pencakar langit yang menjamur. Belum pernah Anton menemukan game yang seperti ditemukannya sekarang. Game itu dibuka dengan gambar seorang prajurit kerajaan mengenakan pakai perang dengan sorot mata yang tajam. Begitu Anton menekan play, game dimulai tanpa sebuah tutorial. Tokoh dalam game langsung dihadapkan dengan prajurit pedang yang mematikan. Tak hanya tampilan yang berbeda, namun kesulitan game ini juga melebihi game pada umumnya. Tiga puluh menit berjalan. Anton masih berada di level pertama. Sangat sulit untuk menerobos pertahanan musuh dalam game itu. Beberapa kali Anton harus kembali ke awal karena life yang ia miliki habis. Jam dinding di ruangan kerja papanya menujukkan jam satu malam. Anton sudah berhasil masuk ke level dua. Butuh perjuangan yang sangat berat untuk mencapai levelnya sekarang. Musuh-musuh dalam game itu seperti memiliki pikiran untuk menghindar dari semua serangan yang ia luncurkan. Akhirnya, Anton mengantuk di saat jarum menunjukkan angka satu dan sembilan. Ia bergegas mematikan komputer dan kembali ke dalam kamar. Game yang ia mainkan tadi masih berada pada level dua. Kesulitan di level dua berlipat ganda dari level satu. Sangat sulit untuk naik ke level berikutnya. Apa mungkin karena ia bermain saat matanya tidak dalam kondisi baik atau memang game itu yang terlalu sulit untuk anak seusianya? Akan tetapi, tak ada game yang terlalu sulit untuk seorang anak berumur delapan tahun seperti Anton. Ia sudah bermain banyak game. Dari umur lima tahun, Anton sudah dikenalkan pada game. Semua itu dilakukan oleh Karina dan Andrian karena kesibukan masing-masing yang membuat mereka tak punya waktu yang cukup untuk menemani Anton bermain. Mereka tak pernah berpikir bahwa game yang mereka perkenalkan ternyata berdampak tidak baik Anton. “Kamu jadi main ke rumahku, kan?” tanya Anton pada Bastian sembari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. “Jadi, dong. Aku udah enggak sabar lihat game yang kamu bilang itu,” sahut Bastian tak sabar. Sesampainya di sekolah tadi pagi, hal yang pertama dilakukan oleh Anton adalah menceritakan game yang ia temukan di komputer papanya pada Bastian. Mendengar cerita Anton yang memang pandai meramu katakata, Bastian langsung tertarik dengan game itu. Terutama karena ia memang pecandu game, sama seperti Anton. Bastian tak langsung ke rumah Anton. Ia pulang terlebih dahulu untuk mengganti baju. Kalau tidak, ia akan kena jewer lagi seperti kemarin. Dari sekolah, hanya butuh waktu lima belas menit berjalan kaki untuk sampai di rumah. Mama dan papa Anton sengaja tak mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Selain karena rumah mereka yang tak terlalu besar, Karina dan Andrian ingin Anton tetap menjadi mandiri meski mereka tak bisa mendampingi setiap waktu. Sesampainya di rumah, Anton membuka pintu dengan kunci yang selalu diberikan mamanya. Berganti baju, buru-buru makan siang, kemudian bergegas masuk ke dalam ruang kerja papanya. Ia sudah tak sabar lagi untuk melanjutkan game yang tertunda semalam. Begitu game terbuka, bibirnya mengerucut kesal. Berharap ia akan menyelesaikan level dua dalam beberapa menit. Anton malah kembali ke awal game, yakni pada level pertama. Entah ada apa dengan game yang satu ini. Dari segi desain memang sangat memukau, tapi dari segi tools sangat mengecewakan. Biasanya pada game lain, ketika dibuka kita akan langsung berada pada level di mana game itu kita tutup. Namun, untuk game yang satu ini malah kembali ke awal. Anton menyampingkan kekesalannya. Ia kembali bermain dengan semangat. Tak boleh seperti semalam. Ia harus menyelesaikan game ini dalam waktu singkat. Sebelum papanya pulang dan memarahinya karena berani mengaktifkan komputer yang ia tahu dikhususkan hanya untuk pekerjaan. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan level pertama. Hanya dua puluh lima menit. Dibandingkan tadi malam, itu sudah tergolong sangat cepat. Di saat hendak menuju level dua, indera pendengaran Anton menangkap suara ketukan pintu. Ia bergegas bangkit untuk memastikan yang datang itu adalah Bastian. “Silakan masuk, Bas!” sambut Anton sumringah pada sahabatnya itu. Bastian mengangguk. Ia mengikuti Anton masuk ke dalam salah satu ruangan di mana Anton bermain game. “Udah sampai di level berapa, Ton?” tanya Bastian. “Baru sampai di level dua.” Anton duduk, bersiap melanjutkan permainan. “Game ini enggak bisa nyimpan permainanku semalam. Jadi, aku main dari awal lagi tadi.” “Berarti ini masih game jadul,” olok Bastian. “Mungkin.” Anton menyahut. “Ini kan komputer Papa.” “Apa Om Andrian nggak akan marah komputernya kita buat main game?” tanya Bastian was-was. Ia tahu kalau papanya Anton paling anti sama yang namanya game. “Umm … marah, sih.” “Kalau Om Andrian bakalan marah, kenapa kamu masih main? Sebelum Om Andrian pulang, ayo cepat matikan! Aku enggak mau kena marahi lagi.” “Tenang aja. Kita akan menyelesaikan game ini sebelum papaku pulang.” “Kamu mau main, enggak?” Anton menawarkan Bastian untuk bermain. Melihat desain game yang menarik, Bastian tak kuasa untuk menolak. Kepalanya spontan mengangguk mengiyakan. Keputusan yang diambil Bastian untuk bermain tak salah. Ia langsung larut dalam permainan begitu game berjalan. Anton yang berdiri di sampingnya ikut geregetan di saat serangan yang diluncurkan Bastian tidak tepat sasaran. Tangannya terasa gatal untuk mengambil alih permainan, namun ia tetap membiarkan Bastian yang bermain. Tiga puluh menit berjalan, Bastian masih berada di level dua. Life yang ia miliki hanya tinggal satu. Menyadari ia tak akan mampu melanjutkan permainan, Bastian meminta Anton kembali bermain. Mereka bertukar posisi lagi. Jari jemari Anton yang mungil tak mengahalangi untuk menjalankan tokoh dalam game dengan lincah. Ia berhasil menghindar dan menyerang dengan gesit. Sepuluh menit kemudian, Anton sudah berada di penghujung level dua. Namun, ada sesuatu yang aneh. Game itu tak berlanjut pada level ketiga. Ia malah kembali ke awal level dua. “Kok begini?” gurutu Anton. “Ini game apa, sih?” Bastian ikut kesal. Anton dan Bastian saling bertukar tatapan. Kening mereka mengerut melihat game yang mereka mainkan hanya berputar di situ saja. “Coba mulai lagi, Ton. Siapa tahu ada petunjuk yang ketinggalan.” Bastian memberi saran. Anton setuju. Ia kembali bermain. Namun, keanehan kembali terjadi. Musuh yang berserakan tadi kini tak ada sama sekali. Tokoh dalam game berjalan dengan santai tanpa takut ada yang menyerang. Di tengah game, Anton menemukan sebuah kotak, lebih tepatnya peti harta karun. “Bukankah tadi itu tidak ada?” kata Bastian melihat peti itu. “Ya. Tadi peti itu tidak ada.” Mereka semakin merasa aneh. Anton mengarahkan kursor pada pada peti yang ia temukan. Ketika diklik, peti itu ternyata berisikan sebuah kunci. “Mungkin harus pakai kunci ini untuk membuka level tiga,” kata Bastian mengangguk. Anton tak menyahut. Ia mempercepat laju tokoh dalam game. Sampai di ujung game, ia kembali bingung. Tak ada pintu atau sesuatu yang berhubungan dengan kunci yang mereka temukan. “Ini game apa, sih?” Bastian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ini game Egler,” sahut Anton. “Aku juga tahu kalau ini game Egler. Kamu kan udah bilang tadi pagi. Yang aku maksud itu, kenapa gamenya aneh begini?” “Kenapa kamu nanya aku? Nanya noh, sama pabriknya,” ketus Anton. “Ya, udahlah. Aku boleh ke toilet dulu, kan?” tanya Bastian. “Pergi aja, kenapa harus nanya? Kamu udah tahu toiletnya di mana, kan?” Bastian tak menyahut. Ia berlalu dari ruangan papanya Anton. Waktu terus bergulir. Jam pulang kantor tinggal dua jam lagi. Anton masih berkutat dengan game yang masih bertahan di level dua. Anton menggerakkan kursor, ke atas, bawah, samping kiri, juga samping kanan. Namun, ke mana pun ia menggerakkan tokoh dalam game, ia tetap tak bisa keluar dari level itu. Anton meletakkan mouse. Ia berdiri dari kursi lalu melirik ke luar, melihat apa Bastian sudah kembali dari toilet. Ia sudah jenuh dengan game yang masih menunggunya di layar komputer. “Kenapa Bastian lama sekali? Apa dia sakit perut?” gumam Anton berdiri di pintu. Setelah beberapa saat menunggu, Anton kembali duduk di kursi. Sekali lagi, ia menemukan sebuah keanehan. Di layar komputer yang menyala, ia melihat tiga buah gambar yang berbeda. Yang pertama gambar istana, yang kedua gambar penjara dan yang ketiga gambar taman. Anton menggerakkan kursor yang berbentuk kunci ke arah gambar istana. Ia berpikir sedang memilih lokasi untuk level ketiga. Namun, pandangannya teralihkan oleh sesuatu yang menarik pada gambar penjara. Di antara jeruji, ia melihat seorang perempuan sedang menangis. Tanpa sengaja, Anton menekan gambar itu. “Aduh, kok gambar itu yang aku klik?” sesal Anton. Pilihannya tak bisa ditarik. Ketiga gambar itu sudah menghilang. Berganti dengan lobang hitam yang seakan berputar. Lama Anton menatap gambar lobang hitam itu, tapi tetap tak ada perubahan. 16 14 “Kenapa begini lagi?” gurutunya mengguncang komputer. Setiap manusia memiliki batas kesabaran, terutama anak kecil seperti Anton. Tangannya memukul-mukul layar komputer. Entah apa yang terjadi. Komputer itu seakan memiliki medan magnet yang sangat kuat. Tangan Anton yang terulur tertarik ke dalam lobang hitam pada layar. Ia meronta, berusaha untuk melepaskan diri. Namun, komputer itu seperti sedang marah dan hendak menelannya. Tangannya terus tertarik masuk ke dalam komputer. Sebelum sempat meneriakkan kata tolong, kepalanya juga terlanjur ikut masuk. Lambat laun, seluruh tubuhnya berhasil terhisap. Setelah berhasil menelan mangsanya, komputer itu mati sendiri. Ruangan kerja papanya Anton sepi seperti tak pernah ada orang yang masuk ke sana. Sama sekali tak ada tanda-tanda bahwa Anton masih berada di ruangan itu. “Ton, udah sampe mana ga ….” Kalimat yang diucapkan Bastian menggantung, melihat Anton tak ada di tempat ia meninggalkan sahabatnya itu tadi. “Anton, kamu di mana?” ucap Bastian sambil memindai ruangan, tempat Anton bermain game. Tak menemukan Anton, ia berbalik sambil terus berteriak, “Anton, kamu di mana?” Bastian memeriksa ke dapur, ruang tengah, toilet dan tempat lainnya. Namun, ia tetap tak menemukan Anton. “Anton, aku enggak suka main petak umpet. Kalau kamu enggak keluar, aku bakalan pulang,” ancam Bastian. Berharap Anton keluar denagn ancamannya, ia malah mendapatkan hasil yang nihil. “Apa Anton diculik, ya?” Bastian bergidik sembari berlari ke luar. Pikiran kekanak-kanakannya bermunculan. Ia bepikir kalau Anton telah diculik oleh monster-monster seperti yang ia tonton di TV. Karena ketakutan, Bastian meninggalkan rumah Anton tanpa mengetahui apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Ia tak tahu kalau Anton telah terhisap ke dalam komputer. Yang ada di pikirannya, Anton telah diculik oleh monster.

Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices