
by Titikoma

Perpisahan
Raja Walmond duduk di singgasana. Di sampingnya, Ratu Luxia mendampingi. Suasana semakin tegang di saat Anton dan Giselia beserta pengawal memasuki ruang utama. “Walmond, apa yang terjadi?” bisik Ratu Luxia pada suaminya. “Kamu tenang saja, tidak akan terjadi apa-apa.” Raja Walmond menenangkan istrinya. “Sepertinya, Tuan Putri sudah tak sabar lagi untuk mendengar hasil penyelidikan kami,” ujar Raja Walmond menyambut kedatangan Giselia. “Tentu saja, Yang Mulia.” Giselia duduk di kursi yang paling depan bersama dengan Anton. Setelah menunggu hampir lima menit, dari pintu ruangan berdatangan beberapa orang prajurit dipimpin oleh Soofer. Di tengah-tengah mereka, tiga orang pria berjalan dengan tangan diborgol. Si pria berkaca mata dengan model rambut klimis itu adalah Hezvadh, sang pejabat kerajan. Di samping kanannya, Monfry berjalan dengan masih mengenakan celemek dan seragam kokinya. Dan di samping kiri, berjalalan seorang pria jangkung bernama Guinoz dengan stetoskop tergantung di leher, “Silakan, Soofer!” Raja Walmond mempersilakan penyelidik itu untuk menyampaikan hasil penyelidikan akhir. “Baik, Yang Mulia.” Soofer melangkah maju. “Kami telah melakukan penyelidikan seperti yang mulia perintahkan. Hasilnya, kami menemukan bukti bahwa tiga orang ini benar-benar bekerja sama ingin merebut tahta dari Yang Mulia. Dengan cara mereka sengaja membuat Ratu tidak bisa hamil agar lebih mudah menjebak Raja selingkuh dengan wanita lain.” Raja Walmond sontak berdiri dari singgasana mendengar pernyataan Soofer. Tak pernah ia terpikir selama ini ia telah memelihara harimau yang hendak memangsa dirinya sendiri. “Itu tak benar, Yang Mulia. Saya tak pernah berniat untuk merebut tahta. Secuil pun saya tak pernah berpikir untuk memberontak kerajaan,” sanggah Hezvadh. “Bukan saya yang mengatakan bahwa kamu berkhianat,” ucap Soofer berbalik menatap Hezvadh. Ia kemudian menyodorkan botol racun dan juga kontrak kerja sama antara Hezvadh, Monfry dan Guinoz. “Anda pasti tahu botol dan kontrak apa ini, iya kan?” Wajah Hezvadh pucat pasi. Begitu pula dengan Monfry. Ia merasa sudah menyembunyikan botol itu di tempat yang tersembunyi, di bawah wajan yang sudah tak pernah dipakai lagi. “Ini adalah botol racun yang digunakan untuk meracuni Yang Mulia Ratu dua minggu yang lalu, Yang Mulia.” Soofer memberikan botol yang ia temukan pada Raja Walmond. “Kami menemukan sidik jari Pak Monfry dan Pak Hezvadh di botol ini.” “Jatuhi mereka hukuman mati!” perintah Raja Walmond langsung tanpa mendengar pembelaan dari Hezvadh, Monfry maupun Guinoz. “Tidak, Yang Mulia. Ini kesalahan besar. Kami tak pernah melakukan itu!” seru Hezvadh saat prajurit memaksanya meninggalkan ruang utama. “Satu lagi, Yang Mulia. Kandungan Ratu Luxia sehat. Pil yang sering diberikan dokter gadungan itu sebenarnya hanyal obat penunda kehamilan.” “Terima kasih, Soofer. Kamu boleh kembali ke timmu,” kata Raja Walmond. Soofer menunduk lalu mundur sebelum menghilang di balik pintu. Tugasnya untuk menyelidiki pengkhianat kerajaan telah selesai dilaksanakan dengan baik, seperti reputasinya selama ini sebagai pemimpin penyelidik terbaik. “Sekarang, apa yang akan dilakukan oleh Yang Mulia setelah mengetahui semua ini?” Giselia bertanya. “Apa maksud Tuan Putri bertanya seperti itu?” Kening Raja Walmond mengerut. Giselia berdiri. Ia melirik Anton sejenak. “Pangeran Alvis bukan dari masa ini, Yang Mulia. Ia datang dari masa lalu. Ia masih kecil. Agar perkembangan mentalnya baik, ia sangat membutuhkan orangtua kandungnya.” Air mata menggenangi mata Ratu Luxia mendengar apa yang dikatakan Giselia. Meski ia tak sakit apa-apa, tapi untuk melepas Anton kembali pulang tetap saja terasa berat. Ia sudah terlanjur menyayangi anak itu. Mata jernih anak itu telah memikatnya. “Tidak!” teriak Ratu Luxia. “Aku tidak mengizinkannya pulang. Ia harus tetap berada di sini. Menjadi putraku, Pangeran Alvis Xander Egler.” “Aku mau pulang,” isak Anton dari kursinya. “Aku mau ketemu Mama dan Papa.” “Yang Mulia Ratu harus mengizinkannya. Ia membutuhkan orangtua kandungnya. Yang Mulia harus mengerti akan hal itu,” tegas Giselia. “Kamu orang asing!” bentak Ratu Luxia. Bola matanya melebar seakan hendak menerkam Giselia. “Kamu tidak memiliki hak untuk memberikan perintah di kerajaan ini.” “Saya memang tidak memiliki hak untuk memerintah. Namun, saya memiliki kewajiban untuk melindunginya,” ujar Giselia tidak mau kalah. “Bawa Pangeran Alvis dari sini!” perintah Raja Walmond pada prajurit yang berdiri paling dekat dengan Anton. Prajurit itu bergerak. Namun, Giselia langsung menghadang. “Jangan coba-coba mendekat! Kalian akan merasakan akibatnya jika berani menyentuh anak ini.” “Bawa Pangeran Alvis!” teriak Raja Walmond kembali. Beberapa orang prajurit mendekat. Giselia terhempas ke kursi oleh seorang prajurit yang mendorongnya. Begitu para pengawal Giselia mendekat, senjata prajurit Egler sontak terarah pada mereka. “Jangan pernah mencoba untuk melawan Kerajaan Egler!” bentak Raja Walmond. “Aku yang akan melawanmu jika kamu tak mengizinkan putraku pulang.” Sebuah suara menggelegar. Membuat semua pasang mata tertuju pada sumber suara itu. Samar-samar, Raja Walmond mengenali suara yang baru saja menerobos rongga telinganya. Ya. Ia amat mengenali suara itu. Dan tak akan lupa siapa pemiliknya. Raja Walmond meneguk air liurnya. Tak pernah ia menduga kalau orang itu akan kembali setelah lima belas tahun menghilang. Rasa bersalah kembali hadir. Menyergap jiwa yang hampir saja melupakan kesalahan yang pernah ia perbuat. “Luvius.” Bibir Raja Walmond bergetar tak percaya. “Lepaskan putraku, Walmond!” teriak pria yang baru hadir itu, yang tidak lain adalah papanya Anton, Andrian. “Papa!” Anton berlari menuju papanya, namun para prajurit langsung menghalangi. “Walmond!” Luvius semakin kehilangan kesabaran. Raja Walmond melirik Ratu Luxia yang masih dengan air mata. Rasa bersalahnya pada Luvius sontak tertutupi oleh keinginan untuk memenuhi apa yang diminta oleh istrinya. Sesungguhnya bukan sekadar memenuhi, namun juga untuk menghapus rasa bersalah yang yang sama. “Jika anak itu adalah putramu, maka tidak salah jika ia menjadi pangeran di kerajaan ini,” kata Raja Walmond menengadahkan tangan. Kemudian seorang prajurit meletakkan pedang di tangannya yang terbuka. “Kehidupannya bukan di sini. Ia memiliki ibu, teman dan kehidupannya di masa yang berbeda.” “Aku tantang kamu untuk adu pedang. Jika aku kalah, akan kubiarkan kalian pulang. Akan tetapi, Pangeran Alvis tak akan meninggalkan kerajaan ini jika aku yang menang.” Luvius terhenyak. Ia menyadari kemungkinannya untuk menang sangatlah kecil. Lima belas tahun yang lalu, ia memang lebih ahli bermain pedang daripada Raja Walmond. Bagaimana dengan sekarang? Sejak ia terlempar ke masa lalu, menyentuh pedang pun ia sudah tak pernah lagi. “Aku tidak memberikanmu pilihan, Luvius,” ujar Raja Walmond. “Kamu hanya bisa mengatakan iya.” Seorang prajurit mendekat. Memberikan Luvius sebuah pedang. Tak ada pilihan lain untuk papanya Anton. Ia harus bertarung. Melawan seseorang yang pernah menjadi kakaknya. “Papa!” panggil Anton di antara cengkaraman dua prajurit berbadan tegap. Luvius menoleh sejenak pada Anton. Bola matanya berkaca-kaca melihat putranya itu. “Papa akan membawamu pulang, Nak. Kamu akan segera bertemu Mamamu lagi,” gumamnya sembari mengacungkan pedang. Senyuman merendahkan tersungging dari bibir Raja Walmond. Ia yakin menang melawan Luvius. Suara dentingan pedang beradu memecah keheningan. Beberapa kali terdengar erangan di saat pedang mengenai sasarannya. Luka-luka menganga meneteskan darah. Kombinasi ketakutan dan kesakitan membungkam teriakan di tenggorokan. “Papa!” teriak Anton histeris di saat pedang Raja Walmond mengenai wajah Papanya. Luvius terjerembab. Ujung pedang Raja Walmond terarah pada tenggorokannya. “Kamu akan meninggalkan putramu di sini atau kutebas lehermu?” kata Raja Walmond. “Tidak akan kubiarkan putraku mendekam di tempat seperti ini,” tegas Luvius. “Baiklah. Jika itu pilihanmu, maka bersiaplah untuk akhir dari hidupmu. Raja Walmond mengangkat pedang. “Papa!” Anton meronta hingga ia terlepas dari prajurit yang menahannya. Ia kemudian berlari menghampiri Luvius sebelum pedang Raja Walmond menyentuh Papanya itu. “Ayo bangun, Papa! Kita pergi dari sini,” kata Anton berurai air mata. “Tetaplah di sini!” Terdengar suara Ratu Luxia mendekat. “Di istana ini, kamu akan menjadi seorang pangeran. Kamu akan mendapatkan semua yang kamu inginkan.” “Aku tidak butuh istana untuk menjadi pangeran. Karena untuk Papa dan Mama, aku adalah pangeran mereka. Itu sudah cukup. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Aku hanya ingin pulang,” isak Anton tak melepaskan pandangannya dari wajah papanya. “Kenapa kamu seperti ini, Walmond?” Luvius melirik Raja Walmond yang mematung di belakang Anton. “Aku tak mempermasalahkan tahta Kerajaan Egler menjadi milikmu. Tapi, kenapa kamu masih seperti ini padaku? Sejak dulu, aku selalu mengalah, kamu tahu itu kan?” Luvius bangkit dengan pedang di tangannya. “Tapi untuk putraku, aku tak akan pernah mengalah.” “Kalau begitu, enyahlah kamu dari dunia ini!” teriak Raja Walmond. “Tidak!” Teriakan Ratu Luxia membekukan segalanya. Setiap pasang mata yang ada di ruang utama itu mengarah pada perempuan di atas kursi roda. “Sudah, cukup.” Raja Walmond menjatuhkan pedangnya, lalu membelai puncak kepala Ratu Luxia sambil berkata, “Luxia, maafkan aku!” “Kamu tak perlu minta maaf, Walmond! Aku yang seharusnya minta maaf. Aku tahu kamu merasa bersalah dengan kakiku yang cacat. Tapi, bukan berarti kamu harus menuruti semua yang aku inginkan.” Pandangan Ratu Luxia berlabuh pada Anton yang memegang erat tangan papanya. “Jika aku salah, kenapa kamu masih membenarkannya? Kamu seharusnya membentakku, mengatakan kalau semua yang aku minta itu adalah kesalahan besar.” “Tidak. Itu bukan kesalahan.” “Kamu tak perlu menjatuhkan harga dirimu demi keegoisanku.” Ratu Luxia memegang dan membelai tangan Raja Walmond. “Kamu tahu apa yang harus kau lakukan.” Raja Walmond berbalik, menatap ayah dan anak di depannya dengan penuh iba. Ia kemudian mendekat. “Bagaimana bisa aku menyakiti keponakanku? Aku pamanmu, Paman Walmond.” Raja Walmond menunduk untuk mencium kepala Anton. “Pulanglah!” Raja Walmond berbalik, tak sanggup melihat adik dan keponakannya dalam kondisi yang menyedihkan. Tanpa berkata apa-apa, Luvius dan Anton bergegas pergi. Para pengawal Giselia sontak bergerak memapah Luvius di saat mereka melihat papanya Anton itu hampir saja terjatuh. “Tunggu!” panggil Raja Walmond menghentikan langkah Luvius. Melihat Luvius dan rombongan berhenti, Raja Walmond mendekat. Ia kemudian memeluk erat saudaranya itu. “Aku sudah menunggu lama saat ini tiba. Sudah lama sekali aku menanti kamu untuk kembali. Aku minta maaf atas apa yang kulakukan lima belas tahun lalu.” Luvius membalas pelukan Raja Walmond. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Ia juga sudah lama menantikan saat ini. Tak ada dendam yang tersisa. Semua telah terkikis oleh kenangan masa kecil yang terlalu indah untuk dilupakan. Kehidupan istana bagaikan kaca yang rapuh. Hanya dengan sedikit ketukan, kaca itu akan hancur berkeping-keping. Luvius adalah seorang pangeran dengan tingkat kepandaian di atas rata-rata. Sembilan belas tahun yang lalu, ia menjadi pimpinan dalam proyek pembuatan mesin waktu. Saat itu ia masih berusia dua puluh tahun. Semua orang di Kerajaan Egler mengidolakan Luvius. Seorang pangeran yang tampan, baik serta cerdas. Suatu hari, entah dari mana asalnya sebuah kabar berembus hingga seantero kerajaan tahu. Kabar burung mengatakan bahwa Luvius akan meneruskan tahta kerajaan. Sebagai putra tertua, Raja Walmond tentu tidak senang dengan kabar yang ia dengar. Ia yang seharusnya meneruskan tahta Kerajaan Egler, bukan Luvius. Meski ia tahu adiknya itu lebih baik darinya, tapi tetap ia yang harus menjadi raja. Karena bingung dengan apa yang harus dilakukan agar tahta diberikan padanya, Raja Walmond akhirnya berbuat curang. Ia memerintahkan seorang prajurit untuk menyabotase mesin waktu hasil proyek kerja sama denganbeberapa kerajaan. Rencananya berhasil. Di saat uji coba mesin waktu yang telah dikerjakan selama empat tahun, Luvius terkirim ke masa yang tak sesuai dengan tujuan. Kemudian tiba-tiba terjadi sebuah ledakan di ruangan uji coba. Beberapa orang terluka. Namun, ada seorang perempuan yang mengalami luka paling parah. Kedua kakinya terbakar hingga tak bisa lagi digunakan untuk berjalan. Dan perempuan itu adalah Ratu Luxia. Mendengar terjadinya kecelakaan pada saat uji coba, Raja Turner yang memimpin saat itu langsung menuduh Raja Walmond telah melakukan sabotase. Tak terima dengan tuduhan yang ditujukan padanya, Raja Walmond memberontak. Bersama dengan beberapa prajurit ia merencanakan penyerangan terhadap istana. Akan tetapi, sebelum penyerangan terjadi, Raja Turner wafat karena penyakit jantung yang ia derita. Dengan demikian, Raja Walmond otomatis naik tahta tanpa ada persaingan. Di saat Raja Walmond benar-benar naik tahta, Luvius malah luntang-lantung tak tahu arah tujuan. Ia terdampar di masa yang sangat berbeda dengan masa ia hidup sebelumnya. Tak perlu kembali ke masanya untuk mengetahui siapa yang melakukan sabotase pada mesin waktu itu. Luvius mampu menebak jika itu adalah perbuatan kakaknya. Meskipun demikian, Luvius tak menyimpan dendam sedikit pun. Terutama di saat ia bertemu Karina, yang kemudian menjadi istrinya saat ini. “Apakah kamu tahu jalan pulang?” tanya Raja Walmond. “Tentu saja.” Luvius menyahut tanpa ragu. Ia pun menuntun pengawal Giselia yang memapahnya menuju belakang istana. Ia masih ingat, ruangan yang dijadikan tempat pembuatan mesin waktu berada di sana. Dan ia tidak salah. Ruangan itu masih ada. Lengkap dengan mesin waktu hasil proyek yang diadakan Raja Walmond. “Aku sudah yakin kamu akan memulai proyek ini kembali,” kata Luvius melirik Raja Walmond. “Ya. Cukup sulit untuk memulai proyek ini lagi setelah kejadian itu. Bahkan ada kerajaan yang mundur setelah proyek ini setengah jalan,” ujar Raja Walmond menyindir Giselia. “Saya tahu siapa yang dimaksud oleh Yang Mulia.” Giselia merespon meski Raja Walmond tak menoleh padanya. “Kami akan pergi.” Luvius memeluk Raja Walmond sekali lagi. lalu berjalan tertatih-tatih menuju mesin waktu yang berbentuk balok. Anton yang masih bingung dengan apa yang terjadi mengikuti di belakang. “Apa Raja Walmond adalah pamanku?” tanya Anton sebelum masuk, yang langsung dijawab dengan sebuah anggukan oleh papanya. Anton tiba-tiba berbalik. Ia berlari dan menghambur ke pelukan Raja Walmond. Tak mau menyia-nyiakan waktu yang tersisa, aja Walmond membalas pelukan Anton dengan erat. “Sampai jumpa lagi, Paman,” bisik Anton. “Sampai jumpa lagi, Pangeran,” jawab Raja Walmond. Tak ia sadari air matanya telah berjatuhan. Setelah puas memeluk pamannya, Anton berpindah pada Ratu Luxia yang ternyata datang menyusul. “Aku harap kamu akan menjadi seorang pangeran sekaligus pewaris darah Egler yang hebat seperti ayahmu,” ucap Ratu Luxia. “Ya. Sampai jumpa lagi … Mama.” Air mata Ratu Luxia mengalir deras mendengar apa yang baru saja dikatakan Anton. Meski sudah berhari-hari Anton diangkat menjadi anaknya, namun baru hari ini ia mendengar Anton memanggilnya dengan panggilan mama. Rasanya seperti ia adalah perempuan paling sempurna di dunia. Sungguh ia baru pertama kali merasa sebahagia saat ini. “Sudah, Luxia. Mereka harus pergi,” kata Raja Walmond menyadarkan Ratu Luxia. “Selamat jalan, Pangeran,” ucap Ratu Luxia melepas pelukannya. Sebelum pergi ke mesin waktu, Anton masih ingin mengucapkan selamat tinggal untuk satu orang lagi. Orang yang pertama kali ia temui di masa ia berada sekarang. “Terima kasih sudah membantuku, Kak,” kata Anton menghambur kepelukan Giselia. “Kamu tak perlu berkata seperti itu. Aku menyayangimu seperti adikku sendiri.” Giselia tak kuasa membendung air mata. Ia terisak hingga suaranya sulit keluar. “Sampai jumpa lagi, Kak.” Anton berpamitan. “Sampai … jumpa … lagi,” sahut Giselia dengan suara yang tetap saja sulit untuk ia loloskan dari tenggorokan. Anton masuk ke dalam mesin waktu. Setelah papanya menekan sebuah tombol, dunia tiba-tiba terasa berputar. Anton tak sanggup berdiri tegak. Ia kehilangan pijakan. Rasanya seperti melayang di antara pusaran topan. Sungguh membuat perut bergejolak dan ingin memuntahkan apa yang ada di dalamnya. Bola matanya terasa sulit untuk dibuka. Seluruh tubuhnya terasa remuk bagaikan baru saja dihantam benda keras. Ia mengerang, merasakan sakit di kepala. “Kamu enggak apa-apa?” tanya Karina melihat Anton mulai tersadar. “Aku enggak apa-apa, Ma,” sahut Anton, berusaha untuk duduk. “Sepertinya, Anton mimpi buruk.” “Apakah kamu yakin itu hanya mimpi?” sapa Andrian masuk ke dalam kamar dengan tubuh dipenuhi luka. “Apa?” Anton terlonjak melihat luka yang memenuhi tubuh papanya. “Jadi, itu semua bukan mimpi?” Andrian menggeleng. “Game yang kamu mainkan bersama Bastian itu adalah game buatan Papa. Game itu sengaja Papa buat agar Papa bisa kembali ke Kerajaan Egler. Tapi, setelah mendapatkan kehidupan di sini, Papa mengurungkan niat itu. Papa memutuskan untuk tinggal di sini bersama kalian.” “Berarti Papa sudah tahu kalau Anton masuk ke ruang kerja Papa?” tanya Anton was-was. “Ya. Bastian yang menceritakannya pada Papa.” “Sudah. Sebaiknya kamu istirahat lagi,” kata Karina menarik selimut Anton hingga menutup dada putranya itu. “Selamat istirahat, Pangeran Alvis Xander Egler,” ucap papanya sebelum keluar kamar. Anton tersenyum mendengar ucapan papanya. Pangeran. Ia tak pernah menyangka kalau ia benar-benar seorang pangeran seperti yang panggilan Papanya selama ini. Ya. Meskipun sekarang tanpa istana, ia akan tetap menjadi pangeran untuk mama dan papanya. Selamanya. Bagi Anton, hal paling membahagiakan di dunia ini adalah menjadi pangeran di keluarga sendiri. Anton baru bisa kembali sekolah setelah tiga hari istirahat dalam kamar. Begitu sampai di sekolah, Anton langsung duduk di bangku lalu membuka buku pelajarannya. Ia pasti sudah banyak ketinggalan pelajaran. “Dari mana saja kamu?” tanya Bastian duduk di samping Anton. “Aku sempat berpikir kalau kamu diculik sama monster.” “Pikiranmu itu terlalu aneh. Mana mungkin ada monster di dunia ini?” “Kalau tidak diculik monster, kamu ke mana saja selama ini?” “Ke Kerajaan Egler,” sahut Anton singkat. Bastian tertawa. Ia berpikir kalau Anton hanya bergurau. Ia tak pernah mendengar Kerajaan Egler, kecuali “Apa yang kamu maksud itu adalah game di komputer Om Andrian?” tanya Bastian, penasaran. “Ya.” Dahi Bastian mengerut. Ia sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Anton. Kerajaan Egler ada dalam komputer. Dan, Anton baru saja dari sana. Bagaimana bisa? Sekarang giliran Anton yang tergelak melihat tampang tolol yang dipasang oleh Bastian. Sahabatnya yang satu ini memang mudah sekali penasaran. Setiap kali Anton menceritakan hal yang baru, pasti Bastian menyimak dengan saksama karena saking penasarannya. “Apa kamu tertarik ke sana?” tanya Anton. “Ya. Apa kamu bisa mengajak ke Kerajaan Egler. Pasti di sana banyak mainan, kan?” kata Bastian antusias. “Ya. Kalau ada kesempatan lagi, aku akan mengajakmu bertemu dengan Raja Walmond dan Ratu Luxia.” “Benarkah?” Anton tersenyum. Angannya melayang pada istana Kerajaan Egler. Sayang sekali ia tak sempat jalan-jalan keluar istana. Ah, pasti di luar istana sangat menakjubkan. Entah kapan ia bisa kembali ke Kerajaan Egler. Jika ia ke sana, ia akan mengajak Bastian. Ia akan menunjukkan pada Bastian mainan yang diberikan oleh Raja Walmond dan Raja Luxia.
-SELESAI-