Hafidz Cerdik

Reads
75
Votes
0
Parts
7
Vote
by Titikoma

Rencana Jahat

“Alhamdulillah, acara khitanan Pak Marzuki berjalan dengan lancar,” kata Adnan, sepulang mereka sekeluarga dari acara khitanan Zidan, anak dari Pak Marzuki. Hari semakin larut. Adnan kini sedang santai di kamarnya, berbaring di atas ranjang tempat ia tidur sambil menggenggam MP3 hadiah yang telah diberikan oleh kakaknya. Dua hari yang lalu kakaknya memberikan hadiah itu kepada Adnan, dan sekarang Adnan sudah bisa mengoperasikan MP3 yang telah diberikan oleh kakaknya dengan lancar. Saat ada waktu luang Adnan menyempatkannya untuk mendengarkan lantunan ayat-ayat suci Al Qur’an yang ada di dalam MP3. “Adnan!” panggil Bu Irma di depan pintu Adnan. “Iya, Bu.” “Kamu belum tidur, Nak?” “Belum, Bu. Adnan masih mendengarkan ini,” jawab Adnan, sambil memperlihatkan MP3-nya kepada Bu Irma. “Seminggu lagi kamu sudah ujian semester dua lho. Kamu sudah satu bulan tidak masuk sekolah. Adnan harus belajar yang rajin, ya?” “Iya Bu, Ibu tenang saja. Adnan pasti akan belajar dengan sungguhsungguh supaya bisa naik kelas.” “Anak Ibu memang Pintar,” kata Bu Irma sambil mencium rambut Adnan. “Ah, Ibu,” rengek Adnan, sedikit manja. “Oh ya, kamu sudah bilang pada keluarga Udin dan Arif tentang sekolah mereka?’’ “Belum, Bu. Adnan masih belum bertemu mereka berdua. Jadi Adnan belum bisa membicarakan soal ini kepada ibu Udin dan ayahnya Arif. Masalahnya Adnan juga tidak tahu alamat mereka tinggal. Biasanya Arif dan Udin mengamen di gang perempatan sana, tapi sudah dua hari ini Adnan pergi mencari merekatapi belum ketemu juga,” jelas Adnan pada ibunya.  “Ya sudah, ibu yakin Allah akan memberikan jalan yang lain supaya kamu dapat bertemu dengan Arif dan Udin.” “Iya, Bu. Adnan juga tidak sabar untuk memberikan kabar baik ini kepada mereka. Adnan yakin, mereka pasti senang.” “Alhamdulillah, ini semua berkat rezeki yang telah Allah berikan kepada kita. Besok sepulang sekolah, kamu ikut Ibu, ya? Memberikan sumbangan ke panti asuhan anak yatimDarul Aitam Pondok Modern Paciran.” “Iya, Bu.” “Ya sudah. Kamu tidur, ya?Istirahat, sudah jam segini, lagian kamu pasti capek.” “Iya, Bu. Setelah selesai mendengarkan satu surat ini, Adnan akan segera tidur.” “Baiklah. Ibu akan kembali ke kamar.” “Iya, Bu,” jawab Adnan. Satu kecupan mendarat di kepala Adnan sebelum Bu Irma beranjak pergi. Adnan hanya bisa tersenyum malu, terkadang ia berpikir padahal sekarang ia sudah kelas 3 SD tapi tapi ibunya tetap memperlakukan Adnan layaknya anak kecil yang baru berumur 2 tahun.  “Busyet! Seratus juta?!” “Iya, Bang. Hadiah utama seratus juta, ditambah lagi dapat jaminan asuransi satu miliar,” jelas lelaki cungking yang berdiri tepat di hadapan lelaki tinggi besar dan berotot itu. “Wah, lumayan nih,” gumam lelaki tinggi besar dan berotot itu. “Terus, apa rencana Bang Jono sekarang?” “Kita harus bisa dapetin tuh bocah,” jawab lelaki tinggi besar dan berotot yang dipanggil dengan sebutan Bang Jono. “Hah?!” teriak lelaki cugkring di hadapan Bang Jono, dengan melongo. Lelaki cungkring itu tetap menatap Bang Jono dengan tatapan tidak percaya. “Kamu yakin kita bisa mendapatkan anak itu, Bang?” “Seratus persen aku yakin. Kita pasti mendapatkan anak itu, jawab Bang Jono mantap sambil mengelus-ngelus janggut di dagunya. “Masalahnya jadi membingungkan, Bang.” “Apanya yang membingungkan?” “Gimana kita bisa mendapatkan anak itu, sementara kita saja tidak tahu keberadaan anak itu sekarang.” “Makanya kita harus cari dia secepatnya. Kamu ini gimana sih?” gerutu Bang Jono, sambil mondar-mandir. Sedangkan lelakicungkring itu tetap fokus dan melongo menatap wajah serius Bang Jono. “Yang jadi masalahnya sekarang, bagaimana caranya kita bisa menemukan anak itu,” lanjut Bang Jono. “Nah! Itu dia masalahnya, Bang,” sahut lelaki cungkring. “Zuki, Zuki, kamu dari tadi cuman bisa ngomongin masalahnya, cari solusinya dong.” “Eh iya, iya, Bang. Ini juga lagi dipikirin Bang.” “Mikir! Mikir!” tandas Bang Jono, “jangan hanya bengong saja.” “I... I, iya Bang, memangnya Bang Jono sendiri sudah menemukan caranya?” “Aku ada ide.” Jawab Bang Jono mantap, “saya gak kayak kamu! Zuki, kamu itu kebanyakan mikir.” “Apa Bang idenya?” tanya Zuki, si lelaki cungkring itu penasaran. “Dengerin nih ya, zaman sekarang tuh sudah dipermudah semuanya, teknologi semakin maju, jadi kenapa dibikin ribet. Mau nyari orang? Ya tinggal di cari pakek G-P-S aja, semua yang kita cari pasti bakal cepet ditemuinnya,” jelas Bang Jono dengan senyuman bangga. “Sekarang monster-monster di Pokemon Go saja cepet ditemuinnya lewat GPS,” lanjut Bang Jono. “G ... G-GPS, Bang?” “Iya dong, kamu pasti gak ngerti apa itu GPS?” “Hah?! Hahahahahahahahahahhaaa. Ckckckckckckck, hahaha hahahh aha ahahahahaha” Tawa Zuki, terpingkal-pingkal. “Kok malah ketawa sih, kamu ngerti gak?” tanya Bang Jono, bingung melihat tingkah laku Zuki yang tiba-tiba terbahak-bahak ketawa sampai terpingkal-pingkal begitu. “Kamu mentertawakan saya?” “Aahhahaha Hahahah ahaha ha ha ha.” Zuki tetap tertawa, Bang Jono masih menatap anak buahnya yang cungkring itu dengan tatapan heran. “Ha ha ha, bukannya begitu Bang. Zuki ngerti kok maksud Abang,” “Terus ngapain kamu ketawa kayak gitu.” “Ya lucu aja Bang, Bang Jono tadi bilang kita bisa mencari siapapun dengan GPS, lah tau diri lah, Bang. Gimana kita bisa mencari anak itu menggunakan GPS, HP android saja Abang gak punya kan?” jelas Zuki. “Nah tuh, masak iya Bang Jono mau pakek HP butut yang jelek ini,” lanjut Zuki, sambil memperlihatkan HP Bang Jono dengan mengangkat HP jelek milik Bang Jono yang ada di tangan kanannya. “Hahahah Ahahahaha,” tawa Zuki, kembali memecah ruang kosong itu. Bang Jono hanya terdiam, mungkin Bang Jono sadar karena HP Androidnya sudah tidak ada lagi, yang tersisa sekarang hanyalah HP Nokia butut edisi tahun 90’an yang merupakan HP Pertama yang Ia dapatkan, anti air dan tahan banting. Bang Jono dan Zuki dengan fisik yang seratus delapan puluh derajat berbeda jauh, tapi mereka berdua telah lama hidup bersama dalam kesedihan dan kegelapan. Lima tahun lalu Bang Jono bertemu dengan Zuki tanpa sengaja dengan membawa masalah kegalauannya. Bang Jono yang waktu itu baru bercerai dengan istrinya, ia terlonta-lonta di jalanan karena diusir dari rumah meninggalkan kedua anaknya, meski dengan tubuhnya yang besar Bang Jono menjadi lemah jika perasaan di hatinya merasa sedih. Perceraian yang tidak diinginkan oleh Bang Jono menjadikan kesedihan mendalam yang dialaminya. Zuki adalah pemuda yang giat bekerja, Dia dulunya adalah pekerja kantoran yang memiliki hidup bahagia, namun tidak bertahan lama setelah ia di PHK dari kantor karena saat itu memang kantor mengalami kebangkrutan. Selama beberapa bulan Zuki menjadi pengangguran, ketika tiba saatnya ia melamar gadis pujaan, lamarannya ditolak mentah-mentah oleh calon mertua hanya karena ia masih pengangguran. Berkali-kali meminta kesempatan karena pastinya nanti ia akan mendapatkan pekerjaan yang layak, namun tetap saja ditolak. Sehingga akhirnya Zuki merasa frustasi dengan keadaan nasibnya yang dianggap tidak seberuntung dengan teman-temannya di desa. Satu tahun tenggelam dalam kesedihan, akhirnya Zuki merantau ke kota dan di sanalah awal pertemuan Zuki dengan Bang Jono yang sama-sama tenggelam dalam kesedihan yang mendalam. Mereka berdua menjadi seperti saudara. Awalnya Zuki berusaha mencari kerja di kota, tapi tak ada satu pun yang menerimanya, hidup tetap berjalan sedangkan pemasukan untuk biaya makan tidak dapat lagi mereka dapatkan sehingga dengan modal nekat tanpa iman akhirnya hidup Bang Jono dan Zuki terjerat dalam kegelapan. Mereka memutuskan untuk mendapatkan uang dengan cara yang tidak halal, mulai dengan mencopet di pasar dan sampai mencuri di rumah orang, dan sekarang adalah rencana terbesar mereka untuk menculik seorang anak yang tidak berdosa demi tergiur dalam limpahan uang yang sementara. Bertahun-tahun sudah hidup mereka berantakan.  “Zuki sudah menemukan cara yang tepat Bang,” kata Zuki, si Cungkring. “Gimana caranya?” tanya Bang Jono, “cepat katakan!” “Besok kita pergi ke warnet.” “Ngapain?” tanya Bang Jono, penasaran. “Jadi kemarin Zuki sempat mendengarkan pembicaraan tetangga sebelah, katanya sejak seminggu yang lalu sampai sekarang tuh anak masih menjadi tranding topic di twitter.” “Maksudnya?” “Iya Bang, ah susah mah kalau jelasinnya sekarang, mending besok Bang Jono ikut ke warnet.” “Emangnya kamu masih ada uang buat ke warnet?” “Goceng cukuplah Bang kalau cuma satu jam.” “Terus, memangnya kamu juga punya tuh apa namanya? Akun twit ... twister?” “Yaelah twister makanan kali, Bang. Twitter!” “Iya itu maksudnya.” “Gini-gini Zuki kan mantan pekerja kantoran Bang, pasti punya lah akun media sosial Twitter, tapi ...” “Tapi kenapa?” “Zuki takutnya, akun twitter Zuki nggak bisa dibuka Bang, soalnya sudah lama Zuki gak buka, dan...” “Apalagi sih Zuk?” tanya Bang Jono, mulai geram. “Ribet amat sih,” gerutu Bang Jono. “Takut passwordnya salah,” jawab Zuki pelan, sambil meringis. “Apa? Pass... Passpor?” “Kok Paspor sih, Bang. Bukan! Itu mah digunakan kalau kita mau ke luar negeri.” “Ya terus apa tadi?” “Password, Bang. Maksudnya itu kata sandi.” “Kata sandi?” tanya Bang Jono, lagi. “Iya, Bang.” “Memangnya kamu sudah ketemu sama Sandi?” “Lah, Sandi siapa lagi nih, Bang?” “Itu... Kata kamu tadi, Kata Sandi.” “Astaga, Bang Jono masih kagak ngerti, ya?” “Apaan sih, Zuk?” tanya Bang Jono, mulai marah dengan nada suara yang meninggi. “Tenang, Bang. Maksudnya kata sandi itu bukan apa yang dikatakan sama si Sandi, kata sandi itu maksudnya kunci buat masuk akun twitter nya.” “Tadi kamu bilang itu Password, terus kamu bilang kata sandi, sekarang kamu bilang kunci, yang bener yang mana, Zuk?” “Yaelah, ya bener semua, Bang. Kan, emang artinya itu.” Zuki, mulai dongkol juga, dari tadi juga gak ngerti-ngerti Bang Jono dibilangin. “Password itu kata sandi nah kata sandi itu Kunci buat buka twitternya. Sudah paham kagak, Bang?” tanya Zuki. “Pahamlah.“ “Baguslah kalau begitu, ya sudah, besok pagi-pagi kita langsung cus ke warnet.” “Sudah dapat kuncinya, belum?” “Kunci buat apa lagi, Bang?” “Ya elah, masih nanya. Ya kunci buat buka akun twitter kamu, Zuk.” “Aduuuh, Bang Jono katanya sudah paham tadi, sekarang masih juga nanya. Sudahlah Bang lupakan saja, biarkan hanya Zuki yang tahu.” Biarlah, mendingan Bang Jono kagak ngerti, dari pada dijelasin gak bakalan  paham-paham. Gerutu Zuki dalam hati. “Astaga, Zuki, Zuki memang dasarnya kamu tuh ya selalu bikin ribet! Ya sudah berdoa saja, semoga tuh twitter kamu bisa dibuka. Gampangkan?” “Emangnya Allah bakalan mengabulkan doa kita, Bang?” “Allah pasti akan mengabulkan semua doa-doa para hambanya.” “Tapi Bang, mana mungkin Allah akan mengaminkan doa para penjahat seperti, kita?” sahut Zuki, Bang Jono terdiam. Entah dapat pikiran dari mana Bang Jono meminta Zuki berdo’a kepada Allah, padahal sholat lima waktu sehari-hari saja tidak pernah mereka kerjakan.  “Ingat Bang, jangan sampai kita salah menculik anak orang. Namanya Adnan, Bang Jono sudah lihat foto anak itu kan?” “Iya, iya Zuk! Saya ngerti.” “Sudah jauh-jauh Bang kita ke sini, masak iya kita gagal.” “Kita pasti berhasil nyulik tuh bocah, ya sudah ini masih jauh gak? Di mana rumahnya?” “Bener Bang, ini sudah bener. Kita sudah ada di Gang Jl. Ikan Duyung Paciran, lebih baik kita nunggu di gang perempatan sini aja, Bang. Anak itu pasti lewat.” “Kamu yakin, Zuk? Di sini banyak orang, apalagi ini dekat jalan raya.” “Tenang saja, Bang. Yang penting mobil butut ini ada di dekat kita.” “Dasar! Kamu ngatain mobil saya, mobil butut?” “Yaelah, Bang. Jangan marah dong, kan emang mobil Bang Jono udah karatan, kenyataannya kan kayak gini, Zuki gak bohong loh.” “Jelek-jelek begini nih mobil sudah mengantarkan kita dari Jakarta ke sini. Kamu masih gak terima juga.” “Iya, iya, Bang. Sudah gak usah bahas itu lagi, mending kita fokus ngeliatin, siapa tahu tuh anak bakalan lewat.” “Awas kamu Zuk! Udah HP dijelek-jelekin sekarang mobil juga kamu katain butut karatan lagi.” “Maaf, Bang. Nanti kalau kita berhasil dapetin anak ini dan dapetin uangnya kita bakal kaya raya, Bang. Mobil Sport-nya Syahrini mah bakalan Zuki beliin buat Bang Jono, ya... kalau bukan milik Syahrini milik Aa’ Rapi Ahmad juga boleh,” kata Zuki panjang lebar. “Terserah kamu!” ucap Bang Jono pasrah. Beberapa jam telah berlalu, matahari semakin meninggi, teriknya semakin panas. “Bang! Bang! I ... i .. i-itu anaknya Bang!” teriak Zuki, sambil menunjuknunjuk ke arah Adnan, terlihat jelas Adnan dari depan, ia berjalan dengan santai di telinga Adnan terpasang headset.  “Iya bener tuh, tuh bocah beneran,“ sahut Bang Jono, “akhirnya dapet juga tuh bocah,“ gumam Bang Jono. “Jangan seneng dulu, Bang. Kita lakukan rencana selanjutnya, ayo cepetan, Bang.” Zuki dan Bang Jono siap-siap dengan segala properti yang harus dikenakan. Rencananya Bang Jono pura-pura sedang sakit keras dan butuh segera cepat-cepat dibawa ke rumah sakit. Sekarang posisi Bang Jono, terbaring di tempat duduk bagian tengah mobilnya, sementara Zuki berakting mondar-mandir di depan pintu mobil. Hari masih siang, dan siapa sangka kala siang di gang ini sepi. Banyak warga yang beristirahat setelah paginya disibukkan dengan bekerja. Memang sekarang adalah Kesempatan Emas bagi Bang Jono dan Zuki untuk menjalankan misinya. Adnan semakin dekat, mulutnya masih bergumam membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an mengikuti alunan ayat-ayat suci yang didengarnya. Sepulang sekolah tadi Adnan langsung mengganti pakaiannya dan bergegas minta ijin kepada Kak Ziya untuk keluar, karena siang ini Adnan akan kembali mencari Arif dan Udin. Sudah tiga hari ini tapi Adnan sama sekali belum bertemu dengan mereka. “Dek, tunggu, sebentar!” Cegah Zuki, ketika Adnan sudah di depannya. “Kenapa Bang?” tanya Adnan, heran. “Boleh nggak Dek, minta tolong antarkan ke rumah sakit terdekat dari sini, soalnya Abang saya lagi kumat penyakitnya.” “Tinggal lurus saja dari sini, Bang. Dekat sekali, apalagi Abang membawa mobil.” “Bisa dianterin nggak, Dek? Soalnya takut nyasar, maklum saya dari jauh Dek, belum pernah saya ke desa ini. Ini untuk pertama kalinya,” bujuk Zuki. “Tapi, Bang,” tolak Adnan. “Ayo, Dek. Saya mohon, nanti pasti bakalan saya anterin langsung ke rumahnya Adek kok. Beneran,” rayu Zuki.  “Emm .. “ gumam Adnan, bingung. Adnan merasa takut karena memang orang dihadapannya ini sama sekali tidak Ia kenal.Tapi, ketika melihat ke dalam mobil melihat Abang orang itu, Adnan memutuskan untuk menolongnya. “Baiklah, Bang.” “Mari, Dek. Adek duduk belakang sini ya, temenin Abang saya. Mobil akan saya setir pelan-pelan sambil mendengarkan petunjuk jalan dari Adek,” jelas Zuki. “Baik, Bang.” Adnan langsung masuk ke mobil. Sementara Bang Jono masih berpura-pura sesak napas. Mobil sudah mulai berjalan, seperti yang telah dikatakan Zuki tadi, mobil tetap Ia setir pelan-pelan sesuai dengan petunjuk dari Adnan. “Memangnya Abangnya sakit apa ini, Bang?” tanya Adnan, di tengahtengah memberikan instruksi petunjuk jalan. “Itu Dek, Abang saya sudah Asma bertahun-tahun, ya gitu kalau sedang lagi kumat, biasanya cuman sebentar, tapi gak tau kenapa ini lama sekali, sampai sekarang Dia masih sesak napas, sementara obatnya Dia lupa bawa. Jadi, takut kenapa-kenapa mangkanya saya mau bawa Abang ke rumah sakit saja,” jelas Zuki. Adnan tetap fokus untuk memberikan instruksi, rumah sakit sedikit lagi akan sampai. Bang Jono cepat bertindak. Bang Jono memegang erat kedua tangan Adnan dan mulai mengikat tangan Adnan dengan tali. “Loh ... loh ... Bang ... Bang ... Kenapa, ini? Kenapa saya di ikat?” tanya Adnan, kaget. “Ha aha ahahahaha ha,” tawa Zuki. “Akhirnya kamu sekarang ada di genggaman saya,” kata Bang Jono, setelah puas mengikat tangan Adnan, “sekarang kamu diam ya! Jangan banyak bicara!” Lanjut Bang Jono, sambil menempelkan lakban hitam besar di mulut Adnan. “Eemmm ... Eemmm ...” teriak Adnan, mulutnya tak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. “Ha hahaha hahahahahahaaa,” tawa Zuki dan Bang Jono terbahak-bahak.  Adnan mencoba meronta-ronta, tapi tetap saja Ia tidak bisa bergerak ke mana-mana, pegangan erat Bang Jono sangat ketat, tubuh besar Bang Jono menghalangi gerakan Adnan. “Misi berhasil!” teriak Zuki. “Yeeee, yu huuu.” Zuki dan Bang Jono tertawa riang, atas keberhasilan mereka.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices