
by Titikoma

Terperangkap
Setelah berjalan jauh memasuki daerah yang banyak pohon-pohon
besar, sekarang Adnan berada di tengah-tengah bentangan sawah yang
sangat luas. Tampak di depan sudah terlihat satu rumah yang tidak terlalu
kecil dan tidak terlalu besar. Rumah itu terlihat seperti sudah lama tidak
berpenghuni, tapi di depan rumah itu masih banyak terdapat tanamantanaman hias yang terawat, tampak mekar bunga mawar berwarna putih
dan biru, bunga bugenvil dan uniknya terdapat pula beberapa pot yang
terdapat tanaman kaktus.
“Emmm! Emmm!” Adnan berusaha untuk berbicara.
“Hush! Eh bocah, kamu diem saja dulu!” bentak Bang Jono.
“Akhirnya kita sampai juga di sini, Bang. “ Kata Zuki, “tidak ada seorang
pun yang bakalan bisa menemukan kita di sini, Bang. Tenang saja, lagian
mau teriak-teriak sekenceng mungkin nggak ada yang bisa mendengarkan
teriakan kita,” lanjut Zuki.
“Benar, Zuk. Paling juga hanya burung-burung itu yang tahu,” sahut Bang
Jono.
“Ha ahaha hahaha,” tawa Zuki dan Bang Jono merasa puas.
“Cepetan buka pintunya!” suruh Bang Jono.
“Beres, Bang,” jawab Zuki. Setelah pintu terbuka Zuki dan Bang Jono
membawa Adnan masuk ke dalam.
“Waaah, gedhe juga nih rumah, Zuk,” kata Bang Jono.
“Ya, lumayanlah, Bang.” Kata Zuki
“Gimana caranya kamu dapetin nih rumah?” tanya Bang Jono
“Yaelah, Bang. Zuki belum sempat cerita, ya?”
“Kapan kamu cerita ke saya? Curhat saja kamu nggak pernah.”
“He he he hehehe, bener juga. Jadi gini Bang, sebenarnya ini adalah
rumah warisan dari kakek buyut Zuki, memang sih nggak ada yang mau
tinggal sini, lihat saja masak iya mau tinggal sendirian di sini, nggak ada
tetangga satupun. Sebelum ke kota, Zuki sempat tinggal di sini selama
beberapa bulan, saat Zuki sedang patah hati di tolak sama calon mertua
Zuki, jadi intinya sekarang kita masih ada di desa Zuki di mana Zuki dulu
tinggal,” jelas Zuki panjang lebar.
“Wah wah wah. Hebat ternyata kamu, Zuk. Kamu sudah merencanakannya
dengan baik, kenapa nggak bilang-bilang dari kemarin?”
“Bener apa kata Zuki kemarin kan Bang, Bang Jono nurut saja sama Zuki
masalah ini. Sekarang rencana selanjutnya terserah Bang Jono. Apa
rencana selanjutnya Bang?”
“Rencana kita selanjutnya adalah... Kita sekarang harus tidur,” jawab Bang
Zuki sambil cengengesan.
“Hah? Tidur? Yang benar saja Bang?”
“Halah, Zuk. Kamu gak capek? Nyupir dari Jakarta ke sini, setelah itu dari
Paciran ke sini? Aku mah capek sekali Zuk, meski kamu tahu aku hanya
duduk-duduk manis di bangku mobil. Sudah, istirahat dulu, lah. Nih bocah
nggak bakalan bisa kabur dari kita.”
“Baiklah, Bang. Bang Jono benar juga, Zuki mah capek sekali, Bang.”
“Ya sudah, kita tidur di sini saja, nih bocah pasti gak bakalan bisa lepas.
Cepet iket yang kenceng.”
“Beres, Bang. Siap!” jawab Zuki, sambil mendudukkan Adnan di kursi,
kemudian mengikat tubuh Adnan dengan kursi, tangan Adnan masih
terikat dengan erat, kakinya sekarang ikut diikat dengan kursi. Sangat sulit
sekarang bagi Adnan untuk bergerak.
“Sip, selesai Bang,” kata Zuki saat selesai mengikat.
“Bagus,” kata Bang Jono sambil senyum bangga.
“Emmm! Emmm!” teriak Adnan.
“Heh! Diam!” bentak Zuki.
“Emmm! Emmm! Emmm!!”
“Haduh, Bang. Nih anak nggak bisa diem, gimana bisa kita tidur nyenyak
Bang.” Protes Zuki.
“Zuk, pasang lakban lagi ke mulutnya.”
“Sama saja, Bang. Dia masih bisa merengek-rengek.”
“Sudah cepetan tempel lakbannya lagi!”
“Di mana lakbannya, Bang?” tanya Zuki
“Lah, mana saya tahu. Tadi kamu yang bawa Zuk!”
“Masak iya tadi saya yang bawa, Bang. Kan saya lagi nyupir mobil Bang.”
“Emmm!Emmm!Emmm!!” teriak Adnan, sambil mendongak-dongakkan
kepala. Adnan bermaksud menunjukkan bahwa lakban hitamnya ada di
sana.
“Apalagi sih ini anak?!” gerutu Zuki.
“Emmm!Emmm! Emmm!!”
“Diam!” bentak Bang Jono lagi.
“Emmm! Emmm!!”
“Astaga, berisik sekali anak ini!”
“Cepetan Zuki, kamu cari lakbannya!”
“Yaelah, masak Zuki lagi sih, Bang?”
“Emmm!”
“Gagal nih, Zuki tidurnya,” kata Zuki, mulai beranjak berdiri mencari
lakban, setelah melihat di atas meja Zuki tertawa senang.
“Ha ha ha ha, ini dia yang di cari,” bisik Zuki dalam hati
“Lama banget sih, Zuk. Sudah ketemu?”
“Iya Bang, ini juga lagi jalan ah,” kata Zuki. “Nih, lakbannya,” kata Zuki,
sambil menyerahkan lakban hitam itu pada Bang Jono.
“Tempel sekalian!” suruh Bang Jono.
“Duh, tugas Zuki lagi nih, Bang?” tanya Zuki
“Banyak bicara deh kamu, Zuk. Ya, iyalah, siapa lagi?”
“Bang Jono lah,” sahut Zuki, cepat.
“Zuki, Zuki, kamu nggak bisa, ya? Tinggal nempelin di mulut, gitu aja
dibikin ribet,” gerutu Bang Jono.
“I ... i .. iya, Bang.”
“Emmm! Emmm! Emmm!!” jerit Adnan, sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Sssst! Diam kamu!” Bentak Zuki, dengan cepat Zuki menempelkan lakban
hitam itu ke mulut Adnan.
“Emmm! Emmm!!” jerit Adnan, namun suaranya terdengar kecil tidak
sekeras tadi.
“Nah, kalau gini kan saya bisa tidur sejenak dengan tenang.” Kata Bang
Jono.
“Bener, Bang.”
Bang Jono kembali terlelap dalam tidurnya. Begitu pula dengan Zuki,
setelah melaksanakan semua perintah yang telah diberikan Bang Jono, ia
kembali tidur tepat di depan kursi tempat Adnan terikat dengan tali-tali
yang melilit tangan dan kakinya.
Beberapa hari yang lalu.
“Bang, ayo cepetan! Sudah jam delapan, biasanya warnet sudah banyak
yang buka.”
“Iya, iya, ini juga sudah selesai.”
“Ngapain saja sih, Bang? Orang mau ke warnet saja lama banget
persiapannya.”
“Ya, biar nanti orang-orang sekitar gak ada yang curiga sama kita, Zuk.”
“Ntuh sadar, kalau Zuki mah dari dulu tampangnya sudah keren, ganteng
apalagi. Sudah nggak perlu dipertanyakan lagi, Bang.”
“Halah, banyak muji diri sendiri, kecebur selokan baru tahu rasa kamu.”
“Apaan sih Bang Jono, jelek banget ngomongnya, masak iya Zuki
disumpahin masuk selokan. Bang Jono gak lihat tampilan Zuki sekarang?
Keren kan?”
“Keren dari Hongkong,” sahut Bang Jono
“Nah tuh tahu, kalau Zuki kerennya kayak orang-orang dari Hongkong.”
“Astaga, kamu Zuki, kebanyakan menghayal kamu.”
“Lah, sama Bang Jono juga kebanyakan ngayal bisa mendapatkan uang
banyak.”
“Kalau misi ini berhasil, kita pasti jadi orang kaya mendadak, Zuk.”
“Ya, sudahlah, Bang. mendingan sekarang kita langsung cus ke warnetnya,
takut udah penuh!”
“Oke, oke, ayo, berangkat.”
“Inget, Bang. Tampang Bang Jono harus murah senyum, biar kelihatan
ramah.”
“Memangnya kenapa dengan tampang saya?” tanya Bang Jono
“Sedikit, serem!” jawab Zuki, “hi hi he he he” tawa Zuki, “Bercanda, Bang.
Tapi beneran nggak bohong.”
“Dasar, kamu! Awas nanti kalau gagal!”
“Zuki pasti berhasil, Bang Jono tenang saja,” kata Zuki.
Setelah berjalan beberapa menit, tiba sekarang Zuki dan Bang Jono di
Warnet.
“Ayo, Zuk, cepetan! Kamu bisa kan?” tanya Bang Jono
“Sabar lah, Bang.Ini lagi nunggu komputernya nyala dulu.”
“Iya, iya, saya sudah tidak sabar.”
“Sabar saja, Bang. Tenang, Zuki gak pernah gagal.”
“Heleh, gak pernah gagal apanya, kamu di suruh masukin benang ke jarum
saja gak pernah bisa, iya tho?”
“Yaelah, Bang, itu mah beda lagi namanya. Masak iya tinggal buka akun
Twitter saja nggak bisa.”
“Dulu, zaman saya belum ada yang kayak ginian, Zuk.”
“Nah, akhirnya masih bisa di buka, Bang,” kata Zuki, saat berhasil membuka
akun twitternya. “Nih, lihat, Bang. Berita tentang dia masih jadi tranding
topic. Nih, nih, lihat Bang, sebelah sini.” Kata Zuki sambil menunjukkan
kepada Bang Jono di mana letak tranding topic di twitter.
“Anak itu jadi tranding topic di twitter, Bang. Dengan menggunakan hastag
#AdnanSiHafidzCilikIndonesia,” bisik Zuki di telinga Bang Jono.
“Terus, gimana selanjutnya?” tanya Bang Jono
“Kita baca status twit-twit orang-orang ini, Bang,” jawab Zuki, “kita baca,
sampai menemukan informasi penting buat kita.”
“Baiklah,” kata Bang Jono pasrah.
Beberapa menit kemudian.
“Bang, nih, ini pasti bener, Bang.” Teriak Zuki, seraya menunjukkan jari
telunjuknya di depan layar komputer.
“Mana?”
“Ini Bang, baca ...” kata Zuki, sambil kembali menunjuk ke layar komputer.
“Mau mengundang Adnan, #AdnanSiHafidzCilikIndonesia hubungi
nomor 085765435221 atau 082145678554 atau berkunjung langsung
ke rumahnya di Jl. Ikan Duyung Paciran-Lamongan,” kata Bang Jono,
membaca twit yang ditunjukkan oleh Zuki. Orang yang duduk di meja
samping Zuki dan Bang Jono terlihat kaget dan penasaran bahkan curiga
dengan sikap Zuki dan Bang Jono.
“Alhamdulillah, Bang. Akhirnya kita dapat juga Informasi alamat Adnan,
kalau begini kan kita bisa segera mengundang Adnan ke acara khitanan
adik sepupu Bang Jono yang ada di Tangerang,” sahut Zuki sambil
meyipitkan mata.
“Wah, bener juga, Zuk. Cepetan catat, kita bisa menghubungi keluarga
Adnan dengan segera,” kata Bang Jono, menanggapi isyarat dan kata-kata
Zuki.
“Sip, Bang.” Kata Zuki, sambil mengangguk.
“Sudah?” tanya Bang Jono, saat melihat Zuki selesai mencatat alamat dan
nomor teleponnya.
“Sudah, Bang,” jawab Zuki.
“Ayo, kita masih perlu membeli bahan-bahan buat memasak di rumah
dan kita bisa segera berangkat ke Tangerang!” Ajak Bang Jono. Zuki pun
menuruti dan setelah itu Zuki dan Bang Jono bergegas membayar ke kasir
dan cepat-cepat keluar dari warnet.
Di jalan, Bang Jono masih tidak percaya karena setengah dari rencananya
berhasil. Ia raih dengan tepat dan mudah, kini tinggal misi utama
selanjutnya.
“Wah, akhirnya kita dapet juga tuh alamat bocah itu.”
“Benar kata Zuki kan, Bang? Zuki nggak bakalan gagal, apalagi cuman
masalah ginian.”
“Tapi Zuk, Paciran-Lamongan itu di mana? Saya baru dengar, itu kota atau
desa?”
“Bang Jono tenang saja, serahkan itu semua kepada Zuki, percayakan itu
semua kepada Zuki, Zuki sudah menyusun rencananya, dan pasti berhasil.”
“Kamu yakin Zuk? Kamu tahu di mana itu?”
“Iya, Bang. Bang Jono tenang saja, ini pasti berhasil. Tentu karena tahu
di mana itu, Paciran adalah nama Desanya Bang, sedangkan Lamongan
adalah Kota kabupatennya. Zuki tahu jelas di mana tempatnya.”
“Baikalah, saya percayakan kepada kamu Zuki.”
“Siap Bang, besok kita berangkat.”
“Besok?” tanya Bang Jono, kaget.
“Iya Bang, besok. Lebih cepat lebih baikkan, karena lebih cepat kita kaya.”
“Ha ha haha, benar juga kamu Zuki.”
“Zuki, pasti berhasil.” Zuki membanggakan diri. “Bang Jono masih ada
mobil itu kan?” tanya Zuki.
“Tenang saja, urusan mobil beres.”
“Mantap!” Kata Zuki.
“Akhirnya...” desis Bang Jono dalam hati.
“Duk! Duk! Duk!” Adnan, menghentak-hentakkan kakinya.
“Haduh, berisik sekali, siapa sih?” gerutu Zuki.
“Duk! Duk! Duk!”
“Bang, Bang Jono, bangun, Bang. Bang, bangun!”
“Hoaaahm! Kenapa, sih Zuk? Kamu bangunin saya? Saya masih ngantuk,
Zuki. Sudah, kamu tidur sana, lagi.” Bang Jono sambil menguap. Matanya
kembali terpejam.
“Aduh Bang, bangun Bang, kayaknya ada orang di luar, tadi Zuki dengar
ada yang mengetok pintu, Bang.”
“Masak iya, ada orang?” tanya Bang Jono, langsung bangkit dari tidurnya.
“Kata kamu tidak akan ada satupun orang yang bakalan datang. Gimana
sih,” protes Bang Jono.
“Iya Bang, lagian siapa sih yang mau datang ke sini lagian ini sudah larut
malam. Tapi, tadi saya beneran dengar ada yang mengetuk pintu Bang.”
“Duk! Duk! Duk!”
“Nah, itu, Bang. Dengar, nggak?”
“Ya, iya, saya bisa mendengarkan suaranya.”
“Duk! Duk! Duk!”
“Tapi kayaknya itu bukan suara pintu deh, Zuk.”
“Terus, suara apa, Bang?”
“Duk! Duk! Duk!” Adnan terus menghentakkan kakinya, semakin keras.
Seketika Bang Jono dan Zuki, bersamaan menoleh ke belakang. Di lihatnya
Adnan dengan mata terbuka sambil menghentak-hentakkan kakinya.
“Haduh mamae, nih anak ternyata yang mengganggu tidur nyenyak kita,
Bang.”
“Emang dasar, tuh bocah, ya?”
“Emmm! Emmm! Emmm!” jerit Adnan.
“Enaknya kita apakan nih anak, Bang?”
“Zuk, lepas lakbannya sekarang.”
“Kok dilepas, Bang?”
“Sudah, lepas saja, Siapa tahu tuh bocah pengen ngomong sesuatu.”
“Baiklah, Bang,” jawab Zuki pasrah.
Alhamdulillahirabbil’alaamin, kata Adnan dalam hati.
“Sudah, cepetan bebas bicara kamu sekarang!” kata Zuki, setelah melepas
dua lakban hitam di mulut Adnan.”
“Lepaskan saya Bang, apa salah saya, Bang?!” teriak Adnan.
“Wahwahwah, bagus, ya? Kamu mau dilepas, ke mana?”
“Emangnya kamu kambing, mau di lepas?” sahut Zuki.
“Bang, tuh, tahu. Abang-abang tahu kan kalau Adnan bukan kambing,
mangkanya lepaskan dulu ikatan ini Bang, tangan Adnan sakit,” kata
Adnan.
“Banyak ngomong juga ya, nih bocah,” kata Bang Jono.
“Mending, kita tutup lagi saja, Bang mulutnya,” kata Zuki.
“Jangan,jangan, Bang!” teriak Adnan.
“Tidak Zuki, biarkan saja dia berbicara sebebasnya,” kata Bang Jono.
“Tapi, Bang,” elak Zuki.
“Sudah, biarkan saja, lagian sebenarnya sejak tadi saya juga penasaran
apa yang dibawa nih bocah.”
“Apa memangnya, Bang?” tanya Zuki.
“Itu, yang ada di telinganya.”
“Hadset, Bang,”
“Berarti, dia bawa HP bagus dong,” sahut Bang Jono.
“Bukan, bukan, ini bukan HP, Bang,” sahut Adnan.“Tolong, Bang Cungkring
sama Bang Gendut, tolong bebaskan saya,” lanjut Adnan.
“Apa? Zuki, saya gak salah dengar kan? Nih Bocah ngatain saya, gendut?”
“Benar, Bang Jono, dia juga ngatain saya cungkring, Bang,” sahut Zuki.
“Dasar, nih bocah. Heh, dengerin ya! Nama saya Jono, panggil Bang Jono,
jangan panggil, Bang Gendut!”
“Iya, Benar, nama saya juga Zuki bukan Cungkring.” Sahut Zuki.
“Ya sudah, Bang Jono sama Bang Zuki juga panggil saya, Adnan. Itu nama
saya.”
“Astaga, dia memerintah kita, Bang,” Kata Zuki.
“Apa tujuan sebenarnya, Abang-abang ini membawa saya? Apa salah
saya, Bang?” tanya Adnan.
“Hahaha,” tawa Bang Jono.
“Hahaha,” tawa Zuki.
“Berkat kamu, kita akan Kaya,” kata Bang Jono.
“Benar, kamu sudah terperangkap, tunggu saja sampai uang itu datang.
Kita akan kaya raya.” Mereka berdua kembali melanjutkan tawa