Hati Yang Terbatas

Reads
108
Votes
0
Parts
17
Vote
by Titikoma

Sebuah Kepastian

Tidak terasa KKN sudah memasuki minggu keempat. Malam Minggu yang sepi. Kali ini Jaka balik ke Yogyakarta karena ada tugas dari calon mertuanya untuk menjadi among tamu di acara nikah salah satu saudara Evi, pacar Jaka. Semakin hari satu per satu status teman-teman KKN-nya pun terungkap, ternyata Jaka sudah mau tunangan dengan anak fakultas Sastra Inggris. Latif baru saja putus sebelum KKN dengan pacarnya, tapi malam Minggu kerap pulang juga soalnya anak mama. Dia masih suka berusaha ngedekatin Bidan Farah, tapi nggak jelas juga hubungan mereka. Om Paul setelah urusan KKN dan wisuda akan menikah dengan seorang wanita pengusaha juga, sementara Pak Dewo malah sudah menikah dan lagi menunggu momongan yang tiga bulan ke depan diperkirakan akan lahir. Lintang juga kerap diapelin cowoknya ke lokasi KKN, sementara Bagus saja yang tampak nyantai. Dan Kinanti? siapa juga yang ditunggu juga! “Malam Minggu ini sepi sekali?” Kinanti bertanya mendekati Bagus yang asyik membaca sebuah buku yang merupakan salah satu koleksi yang dihibahkan. “Iya semuanya pada punya acara, senang sepertinya punya pasangan ya ?” Bagus bicara tanpa ada keinginan melepaskan matanya dari buku yang tengah dibacanya. “Kamu sendiri nggak punya pacar Gus?” Kinanti memberanikan diri bertanya. “Hmmm aku putus Kinan, yahh persoalan klasik tapi fatal,” Bagus menerawang, buku yang tengah dibacanya ditutup sejenak. “Oo, emang kenapa kalau boleh tahu?” Kinanti penasaran, tak bisa dipungkiri hatinya berdebar ingin mengetahui kondisi Bagus yang sebenarnya. Kalau dia punya pacar maka Kinanti akan balik badan dan tidak mau berharap apa pun. “Perbedaan agama Kinan, aku dan dia tidak satu agama. Kedua orang tua kami menentang dan tidak ada jalan lagi, kita putus. Kamu sendiri gimana Kinan?” “Aku satu setengah tahun jomblo Gus, aku putus setelah tahu pria yang setahu aku mencintaiku ternyata memilih gadis lain di belakngku,” Kinanti merebak, masih terasa sakit hatinya mengingat kebohongan Mas Fauzi. “Hmm yah kita senasiblah...” Bagus menghembuskan napasnya. Bagus meletakkan buku yang tengah dibacanya, pandangannya menatap rak yang telah dibuatnya bersama Latif. Sebuah rak sederhana dari kayu albasia sisa di belakang rumah Pak Sarjo, dan ide menuliskan Tamana Bacaan Kinanti tercetus begitu saja. Bagus harus akui sejak pendangan pertama sebenarnya hatinya sudah mulai menyukai gadis kalem yang ayu dan berambut panjang gelombang ini. “Gila sepi banget ya, semua pada punya pasangan. Rencana kamu setelah KKN, skripsi lalu wisuda balik ke Jakarta?” Bagus bertanya rencana ke depan Kinanti. “Iya, aku akan cari kerjaan di sana, sepertinya bersama orang tua atau mungkin aku nge-kost lagi, lihat situasi kali. Belum memikirkan terlalu jauh Gus.” “Atau kamu malah balik mengejar cinta pertama kamu lagi Kinan?” suara Bagus menggantung. “Sepertinya tidak, mungkin dia tidak lama lagi akan menikah,” Kinanti menatap Bagus. Tiba-tiba telepon genggam Kinanti berbunyi, ternyata nomor dari rumah Jakarta. Mendadak perasaan tidak enak memenuhi rongga dadanya. “Kinan, ini Bunda Nak... gimana KKN kamu?” “Baik Bun... gimana Bunda dan Ayah?” “Kita sudah semakin tidak menemukan kecocokan Kinan, kamu jangan bersedih ya Nak... Bunda dan Ayah memutuskan untuk bercerai,” terdengar suara Bunda yang diiringi isakan tangis. Bagai petir di siang bolong, walau pertengkaran demi pertengkaran memang mengiringi kebersamaan mereka tapi Kinanti tidak pernah menyangka perceraian menjadi jalan keluar bagi permasalahan mereka. Sekali lagi Kinanti tidak bisa berpikir dengan akal sehatnya, apa yang dicari kedua orang tuanya? Anak-anak mereka sudah besar, bahkan sebentar lagi mungkin saja Kak Melati yang sudah punya pacar dan sudah bekerja dan akan mutasi ke Jakarta akan menikah. “Kinan kamu harus tabah, Melati sudah Bunda kasih tahu dan tidak masalah. Mungkin memang sudah selesai perjodohan Bunda dengan Ayahmu. Pokoknya kamu harus hati-hati memilih teman hidup! Fauzi juga akan menikah bulan depan, sore tadi Bunda sudah dapat undangannya.” Kinanti tidak bisa berkata-kata, air matanya hanya bisa meleleh. Lengkap sudah penderitaannya. “Jaga diri baik-baik ya Kinan, kamu masih satu bulan lagi menyelesaikan KKN? Kamu jangan terlalu mikirin Bunda dan Ayah ya... jaga kesehatanmu.” Clik! “Kinan kamu kenapa?” Melihat Kinan yang menangis dan melorot di kursi kayu, pucat, dan lemas, Bagus membimbingnya dan mengusap punggung Kinanti yang terisak. Untung suasana sepi dan Bagus membiarkan Kinanti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Kinan kamu mau kita keluar sebentar? Kita turun ya... kalau aku pas suntuk aku suka duduk-duduk di warung bawah. Kita nikmati susu cokelat ya.” Tanpa meminta persetujuan Kinanti yang tampaknya memang sedang dirundung kesedihan, Bagus merekatkan baju jaketnya ke tubuh Kinanti dan dia memakai jaket yang lain. Sekarang Kinanti sudah duduk di belakang punggung Bagus, membonceng menembus dinginnya udara malam lereng Gunung Merapi untuk turun sejenak ke bawah Kecamatan Dukun. Meskipun jaket yang dipakainya cukup tebal, tak urung udara dingin masih saja menyusup dan terasa dingin. Tiba-tiba tangan Bagus sudah menarik tangan Kinanti agar dia memeluk pinggangnya. Rasa hangat menjalari tubuhnya dan Bagus tidak keberatan saat Kinanti merebahkan kepala di punggungnya, dan sesekali masih terisak. “Ada apa denganmu Kinan? Kenapa kamu sesedih itu?” bisik hati Bagus, baru kali ini melihat gadis yang diam-diam dicintainya tampak sangat lemah. Butuh waktu lima belas menitan untuk sampai ke sebuah warung yang tampak beberapa bapak-bapak tengah menikmati kopi dan wedang ronde. Warung roti bakar tersedia berbagai wedang dari teh, kopi tubruk, coffe mix, wedang jahe, wedang ronde dengan macam-macam gorengan juga spesialnya roti bakar dengan rasa cokelat, keju, susu, strawberry, nanas, kacang yang ditawarkan. “Pak pesan roti bakar kacang dan nanas, minumnya kopi dan susu cokelat.” Bagus langsung memesan dan tidak bertanya apa yang diinginkan Kinanti. Bagus yakin Kinanti pasti saat ini tidak berminat apa-apa, jadi sudahlah dipesankan apa yang menurutnya tepat. Kinanti meletakkan kepalanya di meja, sesekali melipat tangannya, perasaan campur aduk menyelimuti hatinya. Kabar perceraian yang akan terjadi pada kedua orang tuanya, perlakuan Bagus yang lembut dan diam-diam Kinanti merasakan kehangatan menyusup dalam hatinya saat memeluknya semua menjadi satu. Kinanti merasa sangat dekat dengan cowok yang baru sebulan ini bersamanya, menghabiskan di lokasi KKN dengan berbagai kegiatan. Tibatiba semuanya terasa terbuka untuk menceritakan beban hatinya. “Kinan ada kabar apa?” Bagus menyeruput kopi panasnya yang mengepul. Susu cokelat di cangkir juga menebarkan aroma wangi yang menggoda. Kinanti menyesapnya dan memang nikmat, paduan cokelat dan manis yang pas. Tidak terlalu manis juga tidak tawar. Setengah cangkir sudah Kinanti menikmati susu cokelatnya, menghangatkan badannya dan roti bakar nanas juga menebarkan aroma yang membuat perutnya belum terisi makan malam keroncongan. Kinanti mengambil dengan garpu kecil roti tawar nanas yang dipotong kotak bujur sangkar kecil-kecil dan membiarkan segera masuk ke perutnya yang dari sore belum terisi. “Lapar ya?” Bagus ikutan melakukan yang Kinanti lakukan. Bagus menancapkan garpu kecilnya ke roti bakar nanas yang sudah berkurang  dimakan Kinanti, lalu menyodorkan yang rasa kacang agar Kinanti mencicipi. Kinanti tersenyum, baru kali ini dia berbagi dengan rasa tak bersalah bersama seorang cowok yang tanpa Kinanti sadar mulai mengisi ruang hatinya. “Kamu kenapa sih?” merasa pertanyaan awal tidak terjawab, Bagus mengulang pertanyaan yang sama. Kali ini tangannya menggenggam tangan Kinanti, tidak peduli beberapa pasang mata orang tua meliriknya. Tapi tampaknya mereka maklum dengan anak muda dan mereka tidak peduli dan kembali tertawa dengan komunitas mereka sambil menghisap rokok kretek. “Kedua orang tuaku akan bercerai Gus,” Kinanti menahan pedih yang kembali menyayat hatinya. “Bercerai? Kinan...” Bagus mengelus punggung Kinan dan berusaha memberikan kenyamanan. “Iya, setelah bertahun-tahun mereka ribut nggak jelas, mungkin bercerai menjadi jalan terbaik buat mereka Gus. Yah aku tidak tahu apa yang sepenuhnya dirasakan mereka.” “Kamu yang tegar ya Kinan, aku ada selalu di sampingmu... aku menyayangimu, entahlah ini waktu yang tepat atau tidak tapi aku harus mengatakan kalau aku sayang kamu Kinanti. Sejak awal aku melihat kamu di bus dan menyumpal telinga kamu dengan MP3 mencuekin aku yang bernyanyi sepanjang jalan, aku sempat kecewa tetapi senangnya aku karena sisa perjalanan ternyata kamu menikmati petikan gitarku.” “Oh, maaf... aku memang terbiasa menyumpal telingaku dengan MP3, apalagi saat mendengar pertengkaran-pertengkaran yang terkadang aku tidak sanggup mendengarkannya lagi, aku mengikuti Kak Melati menyumpal keras-keras telinga dengan earphone.” “Kinan, masalah hatiku yang menyukaimu... apakah kamu juga suka padaku?” Ada wajah khawatir terpeta, untuk pertama kali Kinanti melihat wajah Bagus yang khawatir akan dirinya. Bagus masih menggenggam tangannya. Hati Kinanti bersorak, terjawab sudah keraguan hatinya, ternyata Bagus yang sebulan ini memasuki ruang  hatinya mempunyai perasaan yang sama. Nyatanya membagi beban perceraian orang tua dengan teman yang dianggap dekat, sedikit membuat Kinanti bisa tersenyum. Sepanjang perjalanan kembali ke lokasi tak ingin Kinanti melepas kedua tangannya yang melingkar di pinggang Bagus. Tapi memasuki dekat rumah lokasi penginapan, Kinanti segera melepaskan. Bagus juga setuju, mereka tidak mau menimbulkan kecurigaan warga setempat.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices