Hold Me Closer

Reads
108
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Ada Hati Yang Mulai Condong (rasyid Alfatih)

Saya belum pernah tahu gimana rasanya jatuh cinta, sampai saat saya bertemu dengannya. Guru TK keponakan saya yang selalu ramah dan ceria. Pertemuan pertama kami hanya sekilas saat saya menggantikan kakak menjemput anaknya. Kami tak saling bicara, dia hanya mengantar Arsene pada saya lalu tersenyum. Saya hanya memperhatikan ketika dia berjongkok demi menyamai tinggi badan Arsene dan berpesan sesuatu pada bocah berusia enam tahun itu. Lalu setelah itu saya dan Arsene berpamitan. Setelah cukup lama tak bertemu, saya melihatnya lagi malam ini ketika menemani Rani, adik saya, menghadiri pernikahan teman kerjanya. Dia terlihat cantik dengan terusan berlengan panjang berwarna toska. Rambutnya dikepang, lalu dililit hingga membentuk sebuah cepol di atas kepala, membuat lehernya yang kuning langsat makin terlihat jenjang. Saya nyaris tidak percaya kalau itu dirinya karena seringnya saya lihat dia berjilbab ketika sedang mengajar. Namanya Sapna Kanaya, cukup unik untuk ukuran orang Jawa tulen sepertinya. Saya juga baru mengetahuinya setelah bertanya pada Rani. Beberapa kali saya ingin bertanya pada Arsene tapi urung. Bocah itu selalu menceritakan apapun pada mamanya. Bisa-bisa kakak saya itu heboh kalau tahu saya diam-diam menyukai guru anaknya. Eh, apa? Saya bilang suka, ya? Ah, belum kok. Saya hanya tertarik. Baru saja saya mau menyapanya ketika ada seorang gadis menghampiri Sapna. Saya yang sudah telanjur dekat dengan tempatnya berdiri hanya bisa mematung. Berharap gadis itu tidak mengajaknya ngobrol lama, sehingga saya bisa menyapanya. Dari tempat saya berdiri, percakapan mereka terdengar dengan jelas. Saya jadi ikut geram mendengar kata-kata menyakitkan yang ditujukan pada Sapna. Ekspresi Sapna tak kalah mengerikan dibanding saat kalian menemukan seonggok upil yang dengan sengaja diletakkan di atas buku kesayangan kalian. Antara jijik, sebal, dan ingin mencakar-cakar siapa pun pelakunya. Percakapan itu membuat saya tahu bahwa Sapna pernah mengalami kegagalan dalam sebuah hubungan. Ironisnya, sudah sampai ke tahap rencana pernikahan. Tapi bagi saya itu suatu keberuntungan, karena  kalau dia waktu itu jadi menikah tentu saja saya tidak akan punya kesempatan lagi. Kesempatan untuk apa? Errr… sementara ini hanya untuk mengenalnya. Saya belum bisa mengatakan apakah perasaan saya ini cinta atau hanya sekadar kagum. Untuk itu saya perlu meyakinkan diri saya sendiri sebelum menyatakan kalau ini memang benar sebuah perasaan khusus. “Setidaknya aku nggak gampang di-PHP-in sama cowok.” Pernyataan itu sontak membuat saya tersentak. Kalau memang itu yang terjadi pada Sapna, berarti gadis itu sudah sering merasa disakiti oleh laki-laki. Ini membuat saya semakin mantap untuk meyakinkan diri dulu sebelum mendekatinya. Saya tidak mau menjadi salah satu lelaki yang masuk ke dalam daftar hitamnya. Usia saya sudah tak lagi muda. Yang saya cari bukan lagi pacar, tapi seorang pendamping hidup. Ketika saya tertarik pada seorang gadis, saya akan memastikan kalau yang saya rasakan ini benar-benar tulus. Saya mendesah saat melihat Sapna bergegas keluar dari gedung. Sepertinya dia benar-benar marah. Lah, saya saja yang cuma mendengarnya dari jauh ikut merasa geram. “Kak Fatih lagi lihatin siapa sih?” Saya tergeragap. Rani tiba-tiba sudah ada di samping saya. “Sejak kapan….” “Sudah cukup lama sejak Kak Fatih nggak berkedip lihatin Sapna,” potongnya cepat sebelum pertanyaan saya selesai. “Kasihan dia, Kak,” lanjutnya. “Kasihan kenapa?” pancing saya. Rani sepertinya mengenal Sapna dengan baik. Kalau saya bisa mengorek info darinya tanpa menunjukkan ketertarikan saya, mungkin bisa membantu usaha saya meyakinkan diri. “Sejak pernikahannya batal, dia selalu jadi bahan gosipan. Hari ini kalau saja Alma nggak memaksanya, mungkin dia nggak akan datang. Apalagi di usianya sekarang. Banyak orang yang membanjirinya dengan pertanyaan ‘kapan akan menikah’. Kalau Rani sih, mungkin udah nggak kuat, Kak. Sudahlah masih trauma sama pernikahan yang batal, dapat tekanan untuk segera menikah dari luar lagi.” Saya hanya mendengarkan saja ketika Rani bicara panjang lebar mengenai apa yang terjadi pada Sapna. Kalau saya salah menimpali, bisa-bisa dia heboh sendiri. Adik saya ini, sudah ngebet sekali pengin nikah. Tapi dia ingin menunggu saya menikah dulu. Padahal tidak ada aturan dalam keluarga kami yang melarang untuk melangkahi saudara tua yang belum menikah. Kami keluarga yang menjunjung tinggi asas persamaan derajat. Rani sudah berpacaran cukup lama, beberapa bulan lalu bahkan keluarga pacarnya datang untuk membicarakan rencana pernikahan. “Sapna itu gadis yang kuat. Sayangnya dia gampang termakan rayuan cowok-cowok sinting itu,” nada suara Rani terdengar sebal. Tawa saya tertahan karena mengingat tempat dan situasi. “Cowokcowok sinting?” ulang saya. Rani terlihat geram. Bibirnya yang terpulas lipstik berwarna merah mawar tampak mengerucut. “Apa coba sebutan buat cowok yang mendekati cewek dengan niat mempermainkan, kalau bukan sinting? Mentang-mentang si cewek sedang dalam keadaan rapuh, mereka seenaknya aja memberi harapan palsu,” Rani bersungut-sungut. Saya terdiam. Kemudian mempertanyakan niat saya sendiri. Apakah saya benar-benar tertarik atau hanya merasa kasihan? Saya menggeleng. Saya bukannya merasa iba pada Sapna, bukankah selama ini saya tertarik bahkan sebelum mengetahui cerita masa lalunya? “Kalau Kakak mau menikah, pilihlah calon istri yang seperti Sapna. Dia mungkin bukan calon istri idaman atau yang paling ideal, tapi setidaknya dia pantas dinikahi setelah semua yang dia rasakan selama ini.” Kedua kalinya saya ingin tertawa mendengar kalimat Rani. “Dia pantas dinikahi karena memang pantas, Rani. Bukan karena apa yang sudah dia rasakan selama ini. Kamu mau dia dapat suami yang hanya merasa kasihan pada penderitaannya dan nggak peduli pada akhlak dan cintanya?” Rani nyengir. “Setidaknya kalau Kakak yang mau menikahinya, Rani yakin itu bukan karena kasihan,” kerlingnya jahil. Belum sempat saya membalas kalimatnya itu, dia sudah beranjak menuju pelaminan. Sekejap kemudian dia sudah berada dalam sesi foto bersama pengantin. Dari mana dia yakin sekali kalau saya akan menikahi Sapna bukan karena kasihan Sejak pulang dari acara pernikahan tadi, saya terus kepikiran tentang Sapna. Tentang masa lalu yang sepertinya memang sengaja Rani ceritakan pada saya. Juga tentang bagaimana orang memandang dirinya selama ini. Saya heran dengan orang yang masih suka berpikiran kolot di zaman ini. Yah, mungkin akan beda ceritanya kalau mereka tinggal di daerah pegunungan atau desa terpencil yang jauh dari peradaban kota. Tapi ini adalah jantung Kota Surabaya dan masih ada warganya yang menganggap bahwa seorang wanita harus menikah maksimal di usia dua puluh lima. Seharusnya walikota kami tercinta, mengadakan penyuluhan tentang ini. Bahwa wanita yang masih melajang di usia matang tidak boleh ditekan. Bahwa pikiran kolot tentang perawan tua itu sangat tidak cocok disandingkan dengan peradaban modern. Memikirkan tentang Sapna membuat saya sewot sendiri. “Gimana acaranya?” tanya mama ketika melihat saya duduk dengan lesu di sofa ruang tamu. Mama pasti menebak saya sedang bosan dan semacamnya. Saya hanya menjawab pertanyaan beliau dengan senyum. “Rani bilang, ada seorang gadis yang membuatmu tertarik di sana. Apa itu benar?” Mama mengerling penuh arti. Eh, uh. Sejak kapan Rani menyimpulkan bahwa saya tertarik pada Sapna? Dasar ya, anak itu. Bisa-bisanya dia cerita sama mama tentang hal yang belum pasti. “Fatih, kamu sudah cukup siap membina rumah tangga, banyak perempuan yang mengejarmu. Kenapa masih menunda?” Saya berdecak. “Bukannya menunda, Ma. Fatih hanya sedang menunggu….” “Menunggu siapa?” Mama memotong kalimat saya yang belum selesai. Inilah kebiasaan buruk mama yang diturunkan kepada dua anak perempuannya, kakak dan adik saya. Tak pernah menang kalau bicara sama mereka bertiga. “Mama, Fatih hanya menunggu seseorang yang memang disiapkan untuk jodoh Fatih. Selama ini, perempuan yang coba mendekati Fatih selalu kabur saat melihat Fatih bersama dengan Arsene. Mereka nggak mau  terima kalau Fatih punya anak.” “Lagian kamu, ngetes perempuan pakai anak. Perempuan mana yang mau dekat-dekat dengan lelaki beranak satu,” Mama menyentil ujung telinga saya gemas. “Arsene juga mau-maunya diakuin jadi anak kamu.” Saya terkekeh. Bukan maksud saya untuk mengetes perempuanperempuan itu, tapi memang sehari-hari Arsene lebih dekat dengan saya. Apalagi saya jarang ada di rumah, begitu ada kesempatan libur, bocah itu pasti langsung menempel pada saya. Sedangkan papa Arsene sendiri di rumah hanya ketika libur panjang saja. Pekerjaannya sebagai seorang konsultan mengharuskan dia sering bepergian ke luar negeri. “Ada seseorang yang sangat suka berdekatan dengan Arsene,” kata saya akhirnya. “Dan Fatih sedang tertarik padanya.” Mama terlihat tertarik dengan kalimat terakhir saya barusan. “Kamu, sedang tertarik dengan seseorang? Siapa, Fatih?” “Fatih belum yakin kalau rasa tertarik ini berarti satu perasaan khusus, bisa saja ini hanya sebuah kekaguman.” “Berawal dari sebuah rasa kagum, bisa saja perasaanmu berkembang menjadi cinta. Apa mama mengenalnya?” “Mama mungkin nggak, tapi Kak Rana dan Rani mengenalnya dengan baik,” jawaban saya membuat mama semringah. Sepertinya habis ini, ketiga perempuan itu akan heboh membahas hal ini. “Siapa namanya?” Mama langsung bertanya pada intinya. “Ma, kan Fatih sudah bilang belum yakin. Jangan paksa Fatih buat sebut namanya sekarang karena Fatih tahu apa yang akan Mama lakukan begitu tahu namanya,” Mama pasti akan langsung mengorek info tentangnya dan begitu cocok akan langsung melamarnya, imbuh saya dalam hati. “Lagian, dia nggak kenal kok sama Fatih,” lirih saya menambahkan keterangan itu. Mama sontak terbelalak. “Ya Allah, Fatih. Jangan bilang kalau kamu mengaguminya diam-diam. Zaman sekarang nggak ada cewek yang mau menikah dengan orang yang nggak dikenalnya atau mungkin hanya dikenal dalam waktu singkat saja. Beri kesempatan dia untuk mengenalmu, nggak ada salahnya kan kalian saling mengenal, saling berdekatan sebelum kamu yakin tertarik padanya.” “Fatih nggak mau pacaran, Ma....” “Mama nggak bilang kamu harus pacaran dulu dengannya, lah yang pacaran bertahun-tahun aja belum tentu bisa menikah kok. Saling mengenal beda dengan pacaran, Fatih. Pokoknya Mama nggak mau tahu, besok kamu harus kenalan sama dia. Kalau perlu minta bantuan sana sama Rani!” telak. Sesuatu yang dikatakan mama adalah titah yang nggak mungkin berani saya bantah lagi. “Iya, Ma. Tapi sebelum itu, Fatih mau istikharah dulu. Kalau setelah itu hati Fatih tetap condong padanya, Fatih akan mengajaknya berkenalan.” Mama mendesah, lalu beranjak. “Lakukan saja sesuai keyakinan hatimu, Nak.” beliau mengelus puncak kepala saya penuh sayang, lalu bergegas meninggalkan saya. Sepeninggal mama, saya kembali merenung. Ya Allah, Sang Pemilik Hati. Jangan biarkan hati ini memilih pilihan yang salah. Kalau pun sekarang salah, buatlah sebentar lagi pilihan itu menjadi benar.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices