
by Titikoma

Kapan Nikah? (sapna Kanaya)
Pertanyaan yang paling kuhindari di dunia ini bukanlah pertanyaan polos dari anak-anak yang menanyakan dari manakah mereka berasal, atau bagaimana mereka bisa sampai di dunia ini? Menjelaskan hal itu pada mereka bisa dibilang jauh lebih mudah daripada harus menghadapi para biang kepo yang selalu menanyakan hal sama tiap kali bertemu. Kapan nikah? Kapan kasih ibumu cucu? Usiamu udah hampir kepala tiga, teman-teman seusiamu udah punya tiga orang anak, lho. Kamu kapan? Dan banyak lagi yang lainnya. Entah mengapa mereka tak pernah kehabisan pertanyaan jika menyangkut hal-hal semacam itu? Ingin sekali aku menimpali mereka dengan pertanyaan sejenis. Misalnya: Kapan kalian mati? Teman-teman seusia kalian sudah kena stroke semua lho gara-gara suka kepoin orang, kalian nggak pengin cepat nyusul? Tapi lagi-lagi aku dikekang oleh sesuatu yang bernama ETIKA dan MORAL. Meski ingin, aku masih tahu diri kalau pertanyaan yang kurencanakan itu sangat tidak etis untuk ditanyakan. Dan karena itulah aku memilih untuk tidak menghadiri undangan pernikahan. Lebih baik orang mengecapku sebagai seorang yang antisosial daripada aku harus migrain semalaman karena terpaksa menjawab pertanyaan yang sepertinya akhir-akhir ini jadi trending topic di acara pernikahan. Masa kamu juga nggak mau datang ke nikahanku sih, Na?” Satu lagi calon pengantin yang terus merengek-rengek memintaku datang ke acara pernikahannya yang tinggal beberapa hari lagi. Almaqila, sahabatku satu-satunya sejak SMP. Aku mendesah. “Kamu tahu kan, aku paling males ngadepin orang-orang rempong yang bakal dateng di nikahanmu ntar?” Membayangkan akan bertemu dengan Winny, si biang gosip masa SMA yang kabarnya sekarang sudah beranak tiga dan badannya melar mirip balon yang ditiup maksimal itu sudah cukup membuatku bergidik ngeri. Masya Allah, apa jadinya kalau dia tahu aku belum menikah? Eh, jangankan menikah, pacar aja nggak punya. Duuhh, dia pasti punya bahan gosip yang nggak akan habis selama berbulan-bulan. “Ya tapi kamu kan sahabatku, Na. Aku pengin kamu mendampingiku di hari bahagia ini. Masa kamu tega?” Alma masih berusaha meluluhkan hatiku. Kembali aku membuang napas kasar. “Lihat ntar deh, Al,” sahutku akhirnya. “Apa perlu aku minta tolong temennya Gino buat nemenin kamu? Siapa tahu kalau kamu dateng bareng cowok, ntar nggak ada lagi yang bakal nyinyirin.” Mataku membelalak maksimal. Ingin rasanya kugetok kepala gadis di hadapanku ini dengan alat apapun yang ada di dekatku saat ini untuk menyadarkannya bahwa usul yang dia ucapkan tadi justru akan jadi bumerang untukku. “Ntar yang ada malah aku dipepet terus sama Winny. Kamu tahu sendiri kan, betapa bigos-nya dia itu,” sungutku. Alma tertawa. Oh, betapa hidupku dipenuhi dengan orang-orang yang tak tahu situasi macam sahabatku ini. Aku ketakutan begini dan dia malah menertawakanku. Kelewatan! “Apa kamu mau datang kalau Winny nggak ada?” tanya Alma, sungguh pertanyaan yang retoris. Semua orang tahu Winny tidak akan mungkin melewatkan acara seperti ini. Acara di mana dia bisa mendapat bahan gosip dengan mudah. Kuputar bola mataku dengan enggan. “Coba aja bikin dia nggak datang kalau kamu bisa,” tantangku. Dalam hati aku tertawa membayangkan bagaimana cara Alma membuat si biang gosip itu tidak datang. Undangannya tentu sudah sampai di tangan Winny, jadi kemungkinan dia tidak datang adalah nol koma sekian persen. Haha. And here i am! Berada di antara ratusan undangan karena kemungkinan yang sekian persen di belakang nol koma itu terjadi pada Winny. Mendadak anak keduanya diare tepat beberapa jam sebelum berangkat ke pestanya Alma. Sialnya, meski Winny tak hadir di sini, ada biang gosip lain yang siap menginterogasi diriku seperti biasa. Aku melupakan yang seorang ini, orang yang bahkan jauh lebih dekat denganku dan Alma ketimbang si Winny. Ayu, sepupu Alma ini bahkan jauh lebih bigos daripada Winny. “Kak Sapna belum punya pacar juga?” tanyanya memulai interogasi dengan hal-hal dasar. Aku hanya memberinya senyum tipis. Yah, mau bagaimana lagi. Aku harus menyadari kalau memang ada sebagian orang yang tidak mengerti betapa sensitifnya pertanyaan tentang pacar ini ditanyakan pada perempuan berusia di atas 25 tahun sepertiku. “Ayu aja udah ganti tiga kali lho, Kak, sejak setahun lalu,” lanjutnya, kali ini nadanya terdengar begitu menyombongkan diri. Aku nyengir. Dia ini niat pacaran atau beli baju sih? Ayu berusia 25 tahun, dua tahun lebih muda dariku. Dia sudah menikah ketika usianya 20 tahun, tapi pernikahan itu hanya bertahan dua tahun saja. Selang setahun setelah bercerai, dia menikah lagi. Pernikahan keduanya ini juga tidak bertahan lama, hanya sekitar beberapa bulan saja. Aku heran, apa sih yang dicarinya pada lelaki-lelaki itu sampai dia senang sekali bisa berhubungan dengan mereka? Bukannya aku apatis dengan makhluk yang namanya lelaki. Bagiku mereka tak lebih dari sekadar garam untuk luka di hati perempuan. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka bisa lebih menyakiti daripada sebilah pisau. Aku sudah cukup tahu meski baru sekali menjalin hubungan serius dengan salah satu dari mereka. Aku belajar tentang betapa menyakitkannya membiarkan diri kita terjatuh dalam pelukan lelaki yang salah dari Rio, mantan tunanganku yang dengan brengseknya malah membatalkan pernikahan kami yang sudah di depan mata karena selingkuhannya hamil. Bodohnya aku yang mau-mau saja ditipu lelaki itu. Sudahlah tabunganku ludes dilarikan olehnya—dulu sih, bilangnya pinjam, tapi kalau nggak dikembalikan apa namanya kalau bukan dilarikan? Masihlah aku harus merasakan diselingkuhi, udah gitu selingkuhannya hamil pula. “Udah lewat berapa tahun ya, sejak rencana pernikahan Kak Sapna dulu itu gagal?” Nah, ini nih. Satu lagi yang paling kubenci ketika menghadiri acara pernikahan selain pertanyaan klise kapan nyusul? yang selalu kudapatkan baik secara terang-terangan macam Ayu ini, maupun secara implisit. Mereka ini suka sekali sih mengulik masa lalu orang lain. Dikiranya orang bisa dengan mudah menambal luka yang terlanjur dalam? Apa mereka nggak pernah tahu tentang ungkapan yang lalu, biarlah berlalu yang populer itu? “Buruan cari pengganti deh, Kak.” Ayu kembali berceloteh. “Biar Mas yang itu nyesal udah batalin pernikahan kalian,” janda muda itu terkikik-kikik. Menyebalkan! Aku punya dosa apa sih sampai-sampai orang suka sekali membuka luka lamaku begini? Aku tak tahan lagi, sudah cukup! “Begini ya, Yu,” ucapku sembari memijat pelipis. Mendadak kepalaku diserang migrain. “Ada sebagian orang yang menganggap pernikahan itu adalah sesuatu yang suci, yang cukup dilakukan sekali seumur hidup. Aku adalah salah satunya. Jadi, daripada nanti aku nggak bahagia karena menikahi orang yang salah, mending kan aku pilih-pilih dulu calon suamiku. Apa enaknya sih, nikah sebentar lalu cerai?” Telak, aku menyindirnya. Kulihat mimik wajah Ayu berubah. Raut semringah yang tadi selalu dia tampilkan mendadak kusut. Tapi tak cukup bertahan lama karena dia masih punya satu amunisi untuk membalasku. “Setidaknya aku nggak gampang di-PHP-in sama cowok,” cibirnya sembari melenggang pergi. Meninggalkanku dengan sejuta dongkol plus migrain di kepala. Rasanya ingin menangis saat menyadari betapa kata-kata Ayu tadi benar adanya. Berkali-kali aku jatuh pada harapan palsu yang berujung pada ketidakpastian. Para lelaki itu sepertinya hobi sekali memainkan hatiku. Mereka tahu aku lemah pada kata-kata manis dan janji-janji. Atau mungkin juga karena aku terlalu frustrasi dengan segala pertanyaan tentang pernikahan sehingga membuatku gampang menjatuhkan diri pada mereka? Aku bergegas keluar dari gedung tempat acara Alma ini digelar begitu menyadari bahwa tangisku bukan lagi sebuah keinginan. Kuusap kasar air mata yang dengan bodohnya menampakkan diri. Aku bukan perempuan lemah, aku nggak boleh kalah, kucoba meyakinkan diriku sendiri sembari terus berjalan menuju tempat parkir. Kubawa motorku pulang. Hanya dia satu-satunya yang tak pernah mengeluhkan keadaanku. Apa dia saja yang sebaiknya kujadikan suami? Kayaknya dia calon suami ideal. Aaarrrggghhh... aku sudah benar-benar frustrasi rupanya. Mungkin sebentar lagi aku akan gila. Eh, kalau orang gila berarti kan nggak perlu nikah ya? Dan nggak mungkin juga orang gila akan ditanya-tanyai kapan akan menikah. Kalau dipikir-pikir lagi, nggak ada ruginya kok jadi gila. Seandainya itu bisa kulakukan tanpa perlu merasa bersalah pada ayah dan ibu, aku pasti sudah ada di Menur[1] sekarang ini.
[1] Rumah Sakit Jiwa yang ada di Surabaya