Hold Me Closer

Reads
113
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Sumpah Simalakama (sapna Kanaya)

Ugh... benar-benar menyesal aku datang ke acara pernikahan Alma. Padahal makanan dari kateringnya enak-enak, dekorasi pelaminannya indah, sesuai banget dengan tema yang diminta Alma, belum lagi live band-nya. Nanti ingatkan aku untuk bertanya pada Alma, WO—Wedding Organizer—mana yang dia pakai jasanya. Lho, kenapa aku malah mikirin soal WO-nya sih? Ck, setiap kali pulang menghadiri acara pernikahan, aku pasti langsung uring-uringan begini. Alasan inilah yang membuatku malas datang. Kalau dalam setahun saja aku mendapat tiga atau lima kali undangan pernikahan dan menghadiri semuanya, maka kemungkinan aku terserang hipertensi disertai penuaan dini akan jauh lebih besar, dan aku nggak akan membiarkan itu terjadi. Tanpa penuaan dini aja aku susah jodoh, apalagi kalau mukaku penuh kerutan! “Mbak Sapna kok udah pulang?” sebuah suara bariton menegurku. Aku menoleh ke arah datangnya suara itu, begitu melihat adikku satu-satunya berada di sana, mendadak kekesalan dalam diriku luruh. ABG ini adalah “tempat sampah”-ku. Tempatku mencurahkan setiap kekesalan dan kemarahan pada setiap orang yang kepo pada kehidupanku. Usia kami terpaut cukup jauh sebenarnya, sepuluh tahun, dan dia adalah seorang cowok. Tapi perbedaan itu tak lantas membuat kami jauh. Kami malah dekat layaknya sahabat. Farun Nazar membuatku sadar bahwa meski dia adalah adik, tapi dia jauh lebih bijaksana. Aku langsung menghambur memeluknya. Cowok yang dulu ketika bayi aku yang selalu membersihkan bekas pipisnya, sekarang justru lebih sering menenangkan tangisku. Dia baru tujuh belas tahun, tapi tinggi badannya sudah mengintimidasi, menjulang dan dengan tega meninggalkan aku stagnan sebatas telinganya. Aku juga tak menyangka kalau bayi kecil dengan kulit kisut itu kini bisa berubah menjadi cowok yang banyak digandrungi teman-teman ceweknya, sebagai idola sekolah yang berparas rupawan dan ramah. “Ada apa, Mbak?” Siapa pun yang akan menjadi pacar adikku ini nantinya, aku pastikan seorang cewek yang beruntung. Mana ada sih cowok yang bisa begitu  peka dengan hanya melihat kekusutan di wajah seseorang? Biasanya kan cowok itu makhluk paling cuek dengan keadaan sekelilingnya. “Biasalah, Dek,” dia membimbingku duduk, sembari mengelus punggungku lembut. “Mbak tuh suka nggak ngerti. Apa sih, salah Mbak ini sebenernya sampai mereka tega ngelakuin ini ke Mbak? Seingat Mbak, nggak pernah tuh sekali pun Mbak gangguin hidup mereka.” “Mbak nggak salah apa-apa. Bukannya Mbak sendiri yang suka bilang ke Farun kalau ada sebagian orang yang nggak punya rasa empati pada orang lain? Nah, mungkin mereka termasuk ke dalam yang sebagian itu.” “Tapi Dek, Mbak tuh capek diginiin terus....” “Ya kalau gitu lawan dong, Mbak,” potongnya cepat. “Tunjukin pada mereka kalau Mbak bisa move on. Kalau perlu, bawa cowok kalau pas pergi ke nikahan,” dengan nada gusar dia mengucapkan kalimat itu. Aku ternganga. Kenapa mendadak Farun jadi begini, ya? Jangan-jangan dia udah capek jadi cowok kalem yang selalu bijaksana? Atau mungkin ini sisi lain dari Farun yang berontak keluar mengalahkan dirinya yang sebenarnya? Eh, tunggu! Jadi selama ini Farun mengidap D.I.D? Bukannya itu cuma ada di film atau drama-drama, ya? Jangan bilang dia pengin dibilang cool dan keren kayak Jisung di Kill Me Heal Me. Ugh! “Sampai kapan sih, mbak mau terus begini? Nggak semua cowok kayak Mas Rio....” “Farun....” “Nah, kan, Farun bener kan? Baru denger namanya aja Mbak udah begitu ekspresinya. Lama-lama Mbak juga nggak akan mau denger nama Farun, kan Farun cowok juga.” “Farun... bukan gitu maksudnya. Mbak cuma nggak bisa denger nama dia kok. Bukan nama semua cowok,” aku membela diri. Sebenarnya aku bukannya nggak bisa denger nama Rio, tapi nggak mau. Aku masih berusaha melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa dialah cowok brengsek yang sudah menghancurkan masa mudaku yang indah. Dengan tampang yang suka diimut-imutin biar mirip sama Lee Seung Gi,  dan bodi yang selalu dijaga keseksiannya, dia berhasil membuat hatiku hancur berkeping-keping. “Ya itu kan sekarang, kalau Mbak terus begini pasti lama-lama bukan cuma nama Mas Rio yang nggak bisa Mbak denger, tapi nama semua cowok,” kalimat panjang Farun sontak menohokku, melesak langsung mengenai hatiku yang rapuh. Aku nggak tahu lagi bagaimana bentuknya sekarang ini, apa hanya retak atau sudah menjadi remah-remah yang siap diberikan pada ikan-ikan di kolam depan. “Maafkan dia, Mbak, terus move on secepatnya.” “Mungkin selama Mbak belum menikah, Mbak nggak akan bisa maafin dia, Dek. Hidup Mbak hancur gara-gara dia. Mbak jadi seperti ini juga gara-gara dia. Kalau kamu mau Mbak maafin dia secepatnya seperti kata kamu tadi, supaya Mbak bisa cepat move on, Mbak akan menikah aja.” Farun tampak terkejut. “Sama siapa, Mbak?”serunya. “Sama siapa aja yang datang melamar Mbak dalam waktu sebulan ini.” “Mbak yakin?” kali ini Farun berbisik, seolah takut suaranya didengar oleh ibu atau ayah. Aku tersenyum jemawa. “Yakin. Kalau perlu Mbak akan bersumpah pada diri Mbak sendiri,” ujarku mantap. Kening Farun berkerut, aku bertanya dengan daguku. Adikku itu hanya menggeleng-geleng. “Mbak, sumpah yang diucapkan dalam keadaan marah biasanya justru akan jadi kenyataan,” ucapnya kemudian. Eh? Emang tadi itu bisa dikategorikan sumpah, ya? “Tapi nggak apa-apa sih, Mbak. Kan nggak mungkin ada orang yang nggak Mbak kenal datang melamar. Paling nggak, Mbak pasti kenal dong. Zaman sekarang ini...” Farun berujar sambil terkekeh. “Tapi, Dek. Emang yang kayak gitu tadi termasuk sumpah ya? Mbak rasa bukan deh,” mendadak aku gemetar membayangkan kalau apa yang aku ucapkan itu harus kulakukan. Menerima lamaran dan menikah dengan siapa pun orangnya. Lha terus kalau aku nggak kenal  sama orang yang ngelamar, gimana dong? Terus kalau ternyata orang yang ngelamar itu ternyata perampok atau bandar narkoba, gimana? Astaganagabonarjadidua! Simalakama ini namanya! Farun tertawa keras. Bahunya sampai berguncang beberapa kali. Dengan gemas kucubit pinggangnya hingga mengaduh. Sambil menyatukan tangan, cowok ABG itu meminta ampun dan berusaha menghentikan tawanya. “Kamu seneng ya, lihat Mbak terjebak sama kata-kata Mbak sendiri?” sewotku. Pura-pura kumanyunkan bibir dan melengos ke arah lain. “Maaf, maaf. Farun nggak bermaksud ngetawain, Mbak. Tapi lucu aja, Mbak sendiri yang ngomong, Mbak juga yang kalang kabut. Lagian sih Mbak, zaman sekarang mana ada sih, cowok yang mau ngelamar cewek yang bahkan kenal aja belum? Lha yang pacaran lama aja belum tentu dilamar kok.” Kupikirkan kalimat Farun itu dalam-dalam. Benar juga sih, nggak mungkin memang. Yah, asal aku nggak bikin pengumuman tentang ini aja. Kalau ada orang yang tahu tentang sumpah simalakama ini, terlebih kalau yang tahu itu Rio, pasti aku akan terlihat bodoh dan begitu putus asa. Untuk antisipasi, ada baiknya aku segera mengancam cowok di sampingku ini agar jangan sampai buka mulut pada siapa pun. “Dek, obrolan kita hari ini jangan sampai kedengeran siapa pun lho ya. Kalau sampai ada yang denger berarti kamu yang bocorin.” “Idih, emangnya Farun kayak cewek yang suka ngegosip?”cibirnya. “Mbak cewek, tapi nggak seneng ngegosip tuh,” balasku. “Iya, tapi kalau diajakin ngegosip nyahut juga kan? Apalagi kalau udah ketemu sama Mbak Alma. Bisa seharian nggak berhenti ngegosipnya.” “Kalau sama Alma kita nggak ngegosip, tapi curhat.” “Curhat kok seharian nggak berhenti. Kalau ditulis jadi novel mungkin curhatan kalian tuh bisa jadi satu seri novel, trilogi atau tetralogi, macam Laskar Pelangi gitu,” tawa Farun kembali menggema. Aku mencebik.  Tapi diam-diam aku memikirkan ide Farun yang sepertinya terdengar menarik. Daripada curhat sama Alma yang ember dan kemungkinan bocor ke mana-mana jauh lebih besar, lebih baik kutulis aja jadi novel. Buku yang dilabeli fiksi nggak akan mungkin digugat orang. Kalau perlu aku akan pakai nama pena biar nggak ketahuan kalau ini memang kisah nyataku. Kalau dikirim ke penerbit dan diterima kan lumayan, selain bisa lega karena berhasil curhat, dapat uang pula dari hasil curhatan itu. Ha! Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices