Hold Me Closer

Reads
103
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Membimbing Istri Adalah Tugas Suami (rasyid Al Fatih)

Saya masih nggak habis pikir, apa sih yang membuat Sapna begitu sensitif? Setiap kata yang saya ucapkan rasanya nggak ada yang benar. Semua hal memicu amarahnya. Sedangkan saya sendiri, mana bisa saya mengalah terus-terusan? Apalagi untuk hal yang menurut saya benar. Saya hanya mau mengingatkannya. Sebagai suami, itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Yang saya heran, kenapa saya selalu saja mengeluarkan kata-kata yang tanpa saya sengaja menyinggungnya lagi. Lalu memicu pertengkaran kami. Sejak sebelum akad nikah berlangsung, kami bahkan sudah bertengkar. Malam itu, setelah resepsi, dia tidur memunggungi saya. Ingin sekali saya memprotesnya, tapi saya yakin itu pasti membuatnya marah lagi dan kami akan bertengkar lagi sepanjang malam. Maka yang saya lakukan malam itu adalah memeluk punggungnya dan mendapati dia berbalik memeluk saya keesokan paginya. Terkadang, sesuatu yang akan jadi buruk bila diucapkan dengan katakata bisa teredam dengan sebuah tindakan. Tapi tidak sepenuhnya benar karena pernah sewaktu kami bertengkar dan saya memaksa memeluknya untuk meredakan amarah, dia malah mendorong saya dan tambah marah. Seperti yang terjadi pagi ini. “Sapna pikir percuma juga merasa menyesal, toh kami sudah menikah. Tapi kalau begini terus, Sapna nggak tahan, Bu.” Saya mendengar dia mengeluh pada ibunya tentang saya. Saya memang mengalah untuk hal tinggal bersama orang tuanya sementara waktu, saya memberinya waktu seminggu dan dia meminta dua minggu. Sekarang sudah dua minggu dan dia masih enggan saya ajak pindah ke rumah kami sendiri. “Dia itu hobi banget nyalah-nyalahin Sapna. Kemarin itu parah banget, masa dia bilang Sapna kekanakan,” keluhan itu belum juga selesai. Saya lihat ibu hanya tersenyum menanggapi tingkah Sapna. Saya berada di ruang tengah dan mereka berada di dapur, kami hanya dipisahkan satu tembok dan satu pintu, tapi Sapna nggak sadar saya mendengar semua keluhannya.  “Lah, emang kan Mbak Sapna kekanakan,” timpal Farun yang sedang bermain PS dengan saya. Saya tendang kakinya pelan, lalu memberinya isyarat agar jangan menambah luka hati kakaknya. Dia malah ganti menendang kaki saya. “Mas Fatih tuh terlalu pengalah buat Mbak Sapna. Yang harusnya ngeluh itu Mas Fatih, bukannya Mbak,” katanya lagi. Saya memberinya tendangan sekali lagi tanpa mengeluarkan suara. “Terus aja belain, kamu kan emang CS-an sama dia, Run,” sungut Sapna. Saya nyaris terkikik mendengar kata CS-an. “Lagian, Mbak itu bukannya kekanakan, tapi drama queen.” Saya memutar bola mata, antara ingin tertawa dan gemas yang bercampurcampur. Farun, yang pada waktu Sapna mengucapkan itu sedang minum, tersedak minumannya. Setelah itu dia tertawa terbahak-bahak. Saya kembali menendang kakinya, menyuruhnya menghentikan tawa. Beberapa detik berlalu dengan tawa Farun sebagai latar belakang, Sapna muncul di pintu penghubung ruang tengah dan dapur dengan membawa spatula. Ekspresinya garang, ada kerutan dalam di dahinya yang menunjukkan bahwa dia benar-benar marah. Dia belum melihat saya karena terlalu fokus ingin menggetok Farun dengan spatula yang ada di tangannya. “Apa menjadi drama queen itu lucu bagimu, Farun Nazar?” tanyanya ketus. “Bukan lucu lagi, tapi lucu banget. Mbak nggak mau disebut kekanakan, tapi Mbak bilang sendiri kalau Mbak itu drama queen, apa bedanya coba?” Farun menjawab kakaknya sambil mengerling jahil. “Dulu Mbak pikir kamu itu beda sama anak cowok kebanyakan. Kamu lebih dewasa, lebih bijak, lebih cool. Ternyata kamu sama aja kayak Mas Fatih yang hobinya bikin orang naik darah. Kalau bukan karena kamu, Mbak nggak akan mau menikah sama Mas Fatih.” Saya mengernyit, sepertinya saya harus bertanya soal ini. Akhirnya saya berdeham agar Sapna mengetahui keberadaan saya di ujung sofa. “Apa maksudnya itu, Na?” Sapna menoleh dan mendapati saya sudah berdiri sejajar dengannya. Tampak sekali dia terkejut melihat saya, sepertinya memang sejak tadi dia tak menyadari keberadaan saya. Apa saya segitu nggak terlihatnya di  mata Sapna? Sejenak kemudian dia sudah menguasai keterkejutannya, lalu dengan pandangan menantang dia menghadap saya. “Ya, emang gara-gara Farun. Dia yang bikin aku ngucapin sumpah simalakama itu. Sampai akhirnya aku nerima Mas jadi suamiku.” “Sapna!” tegur ibu yang tiba-tiba sudah ada di antara kami. Teguran itu begitu keras hingga membuat Sapna semakin meradang. “Nah, lihat kan. Sampai Ibu aja ngebela Mas. Nggak ada di rumah ini sekarang yang sayang sama Sapna,” Sapna beranjak ke kamar dengan marah. Ibu mendekati saya, mengelus pundak saya penuh sayang. “Maafkan dia, Fatih. Ibu yakin itu hanya emosi sesaatnya karena belum siap berpisah sama orang tua dan adiknya. Karena yang Ibu tahu, dia adalah orang yang paling antusias saat menceritakan tentang kamu pada kami.” Saya menghela napas. “Saya nggak tahu di mana salah saya, Bu. Saya merasa apapun yang saya lakukan dan katakan nggak ada yang benar di mata Sapna.” “Ah, emang Mbak Sapnanya aja yang suka ngebesar-besarin masalah, Mas. Lagian yang bikin sumpah itu kan dia sendiri, kenapa jadi aku yang salah?” Farun menggerutu. “Sumpah apa sih, Run?” Didera penasaran, saya bertanya juga tentang sumpah itu. Sumpah yang selalu disebut Sapna sebagai Sumpah Simalakama. “Ah, itu. Sepulang dari pestanya Mbak Alma, Mbak Sapna marah-marah nggak jelas, terus ngeluarin sumpah yang intinya dia akan menikah sama siapa pun cowok yang melamarnya. Eh, nggak tahunya beberapa hari kemudian Mas ngelamar Mbak Sapna. Mungkin dia pikir masih di alam mimpi kali, dia belum percaya kalau dia bisa dapat suami yang jauh lebih tampan dan mapan dibanding Mas Rio,” Farun bersungut-sungut ketika menjelaskannya. “Rio?” “Mas Rio itu mantannya Mbak Sapna. Dia sih, gayanya aja yang selangit,  nggak ada apa-apanya kalau dibandingin sama Mas Fatih. Farun sebenernya bersyukur dia nggak jadi nikahin Mbak Sapna.” “Oh, jadi gitu? Kamu seneng Mbak ngerasa tersiksa selama ini karena pernikahan Mbak sama Mas Rio gagal?” Sapna sudah ada di antara kami dengan membawa koper besar. Saya lihat ibu di belakangnya hanya bisa menggeleng-geleng. “Tuh, kan. Bukan cuma sama Mas Fatih dia sensitif begini, sama Farun juga,” Farun tak menanggapi kemarahan Sapna, dia kembali asyik dengan PS-nya. “Na, udah dong. Kamu nggak capek apa marah-marah terus? Udah dari kemarin lho kamu kayak gini,” lerai saya. “Sapna kayak gini sejak pertama kali kenal Mas Fatih,”sungutnya. Saya mendesah, kemudian mendekatinya. Menguraikan kerutan di dahinya. “Iya, Mas emang salah. Sekarang udah ya, jangan marah-marah lagi.” Dia mendengus, lalu membawa kopernya ke depan. “Mas, jangan mau ngalah sama dia. Kalau Mas ngalah, dia bisa tambah nrunyam,” Farun mengompori saya. “Hus!” Ibu menggaplok lengannya. “Jangan ajari Masmu kayak gitu!” Cowok kelas dua SMA itu hanya nyengir. Saya terkekeh melihat reaksinya. Kemudian dengan satu tangan mengacak-acak rambutnya yang pagi ini bebas dari gel. “Sudah sana, ayahmu sudah menunggu dari tadi. Nanti kalau kelamaan Sapna ngamuk lagi.” Saya tak bisa menahan tawa mendengar katakata ibu tadi, tapi langsung saya bekap mulut saya karena kalau Sapna mendengarnya dia akan kembali salah sangka. Kami berpamitan dengan ibu. Sedangkan Farun ikut mengantar kami bersama ayah. Lumayan, mengurangi ongkos tip kuli panggul kalau ada Farun yang membantu. Haha.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices