
by Titikoma

Pertengkaran Yang Terburuk (rasyid Al Fatih)
“Bertukar pasangan? Sapna, please. Yang benar saja. Kamu nggak mungkin berpikir saya akan menyetujuinya, kan?” saya tak menyangka sepulang dari reuni, Sapna akan mengatakan hal yang tidak masuk akal begini. Ini Indonesia, bukan Amerika atau Australia. Semua ada etikanya di sini, apalagi untuk orang beragama seperti kami. Tidakkah dia tahu halhal semacam itu bisa mengancam pernikahan kami? “Sapna sudah menduga, Mas nggak akan menyetujuinya,” ujarnya terdengar gusar. “Tapi Sapna udah terlanjur janji sama Alma, Mas. Kami juga sudah bikin surat perjanjiannya.” Saya mengusap wajah saya kasar. Kali ini saya benar-benar marah. Kami baru menikah, dan dia sudah membuat sebuah perjanjian aneh dengan sahabatnya. Apa untungnya dia bertukar pasangan dengan Alma? Sesuatu mengusik saya. “Atau jangan-jangan kamu melakukan ini karena merasa menyesal menikah dengan saya?” tebak saya. Kali ini saya tahu tebakan itu tepat sasaran. “Bukan, Mas. Sapna memang pernah merasa menyesal karena menikah dengan orang yang hobi banget mancing emosi, tapi penyesalan itu nggak cukup besar untuk membuat Sapna melakukan ini,” dia mencoba memberi penjelasan. “Lalu apa? Apa alasan kamu melakukan perjanjian konyol ini?” sergah saya tak sabar. “Sapna hanya ingin menguji hubungan kita.” “Menguji?” “Ya, Mas. Ada yang bilang cinta sejati itu cinta yang tahan uji. Sapna ingin membuktikannya.” Saya mendengus. “Terus, kalau dari ujian ini ternyata hubungan kita tidak terikat cinta sejati, apa yang mau kamu lakukan?” saya telah memberikan satu pertanyaan sulit yang membuat Sapna gelagapan. Sesekali, dia memang harus diajak berpikir panjang mengenai sebab akibat. Bahwa setiap hal pasti ada risikonya, dan kalau kita bisa memikirkan risiko itu lebih awal, kita nggak akan melakukan tindakan konyol. Macam dua sahabat itu. “Aku belum memikirkannya, mungkin kita bisa bercerai,” ujarnya tanpa berpikir. “Sapna!” seru saya. “Kamu sadar apa yang sudah kamu katakan barusan?” “Sadar, Sapna sadar sepenuhnya. Kenapa, Mas? Kalau memang hubungan kita nggak tahan uji, percuma aja kan dipertahanin,” sahutnya marah. Lho, bukankah seharusnya saya yang marah di sini? “Udahlah, Mas. Jangan ajak Sapna bertengkar sekarang. Yang jelas Sapna sudah tanda tangani perjanjian itu di atas materai. Gino juga sudah setuju. Besok, perjanjian ini akan dimulai. Sapna akan tinggal sementara di rumah Alma dan Alma akan tinggal di sini.” Mata saya membelalak maksimal. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu salah, Sapna?” seru saya. Sapna, yang tadinya akan beranjak ke kamar, kembali menoleh pada saya. “Saya belum menyetujuinya, tapi kamu sudah mengambil keputusan sendiri dengan menandatangani perjanjian itu. Lalu, apa gunanya saya ada di sini sebagai suami kamu? Suami istri seharusnya membicarakan dulu setiap keputusan yang diambil. Tapi kamu nggak, kamu selalu saja mengambil keputusan sendiri, nggak pernah kamu melibatkan saya. Apa seperti itu seharusnya seorang istri?” saya sudah kehilangan kendali dan kontrol emosi saya. “Saya sudah sabar menghadapi kamu yang kekanakan dan drama queen selama ini, tapi saya nggak bisa sabar kalau kamu melakukan hal ini tanpa izin dari saya.” Sapna tampak kaget, tapi hanya sebentar. Raut wajahnya berubah marah. Dahinya mengerut dalam, kebiasaannya ketika marah. “Sapna juga udah sabar menghadapi Mas yang selalu saja menuntut Sapna untuk berbuat lebih dan lebih lagi. Sapna mengambil keputusan sendiri karena Sapna tahu Mas nggak akan pernah menyetujui apapun yang akan Sapna lakukan.” “Tentu saja saya nggak akan menyetujui hal bodoh yang akan kamu lakukan, memangnya saya gila? Saya masih punya perasaan, Sapna. Kamu nggak pernah memikirkan perasaan saya ketika melakukan sesuatu.” “Memangnya Mas pernah?” dia berbalik menyerang saya. “Memangnya Mas pernah memikirkan perasaan Sapna? Apa yang Sapna inginkan dari seorang suami? Pernahkah, Mas?” Pertanyaan itu telak menohok saya. Selama ini saya memang selalu berusaha mengubah Sapna menjadi sosok ideal seorang istri yang saya inginkan, tapi saya nggak pernah tahu bagaimana kriteria ideal seorang suami untuk Sapna. “Mas lihat Gino? Dia begitu perhatian dan tanpa malu menunjukkan cintanya pada Alma di depan semua orang. Sementara Mas Fatih? Kita itu kelihatan banget kalau emang baru kenal, Mas.” “Gino? Kamu coba membandingkan saya dengan Gino?” kata-kata saya tersekat di kerongkongan, susah keluar. “Ya. Bahkan kalau Sapna bisa, Sapna akan membandingkan Mas Fatih dengan Mas Rio. Memang, seperti kata Farun, Mas Fatih jauh di atas segalanya dibanding Mas Rio, tapi Mas Rio jauh lebih memenuhi kriteria ideal sebagai suami Sapna.” Saya meradang. “Kalau gitu, kenapa kamu mau menerima lamaran saya?” sergah saya marah. “Oh, karena sumpah simalakama konyol kamu itu, ya? Dan kamu melupakan satu hal ketika membandingkan saya dengan Rio. Kamu tahu dia brengsek, dan saya sebaliknya. Kamu tahu benar tentang hal itu.” Sapna terkesiap. “Saya nggak akan pernah izinkan kamu keluar dari rumah ini walau cuma sejengkal. Nggak akan pernah, Sapna!” saya tinggalkan dia di ruang tamu. Semalaman kami tidak saling bicara. Saya memilih menghindari pertengkaran dengan mengurung diri di kamar kerja. Karena apapun yang akan saya katakan, pasti memicu pertengkaran yang lebih parah daripada tadi siang. Lagipula saya masih marah sekali karena dia membandingkan saya dengan Gino. Tidak masalah kalau dia membandingkan saya dengan Rio, mantan tunangannya itu, karena semua orang tahu saya lebih unggul daripada Rio. Tapi dengan Gino? Saya sebal sekali. Pagi ini saya lihat dia sudah membawa sebuah koper kecil ketika akan berangkat mengajar. “Kamu tetap mau pergi kan, meski saya sudah melarang? Saya sudah menduganya,” tegur saya. “Sapna akan pergi dengan atau tanpa izin dari Mas,” sahutnya ketus. “Sebenarnya saya ingin menjaga kamu, apalagi kamu seorang pengajar. Apa kata orang kalau tahu kamu melakukan hal seperti ini?” saya tahu ini akan memancing pertengkaran di pagi yang cerah ini, tapi saya tidak bisa berhenti begitu saja untuk mengingatkannya tentang risiko. “Peduli apa tentang kata orang? Sapna udah terlalu sering peduli sama perkataan orang. Sapna pengin sekali ini saja mengikuti kata hati Sapna,” dia melirik saya sinis. Saya menghela napas panjang. Kami bahkan belum melakukan hubungan suami istri sama sekali, dan dia sudah memutuskan untuk meninggalkan saya? Saya sama sekali nggak membayangkan hal seperti ini akan terjadi pada saya. “Kalau kamu memang tetap akan pergi, saya anggap kita sudah berpisah secara agama.” Dia membelalak. “Mas menceraikan Sapna?” “Seperti kata kamu kan, untuk apa mempertahankan sebuah hubungan yang tidak sehat seperti kita ini. Saya akan menjalankan perjanjian itu selama sebulan seperti tertulis dalam kontraknya, tapi setelah itu saya mau kita berpisah secara resmi agama maupun negara.” Saya dapat melihat bibir Sapna bergetar, seolah sedang menahan tangis. Sebenarnya saya juga nggak mau melakukan ini. Tapi saya harus. Setidaknya ini akan menghindarkan kami dari dosa yang lebih besar lagi. Dia tak lagi menjawab. Saya membantunya membawa barang ke rumah Alma. Sementara Alma, diantar Gino ke rumah saya. Dalam pikiran saya, suami macam apa Gino ini? Tega sekali membiarkan istrinya tinggal bersama lelaki lain dan dia masih bisa tertawa-tawa. Apa dia tidak merasa terbebani dengan tingkah konyol istrinya itu? Dan sepertinya, tugas saya akan jauh lebih berat dibanding menjaga Sapna.