Hold Me Closer

Reads
101
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Bertukar Suami (sapna Kanaya)

Kuhabiskan waktu semalaman di rumah Alma untuk menangis. Sudah kutahan tangis itu sejak pagi dan sekarang tak bisa kubendung lagi. Di tengah tangis aku tertawa miris. Jadi segini aja nih, kisah cinta yang tertulis untukku? Kehidupan pernikahanku hanya bertahan tiga minggu saja. Aku jadi janda yang masih perawan. Betapa ironisnya itu. Kalau saat ini aku nekat mengakhiri hidupku, kira-kira nanti aku bakal jadi hantu gentayangan nggak ya? Hantu perawan yang mendamba sentuhan pria, kayak drama Korea Oh My Ghost itu. Duuhh... kenapa malah keinget sama drama sih di saat begini? Mas Fatih benar-benar ingin berpisah. Sejak tadi siang kuhubungi ponselnya nggak bisa. Mungkin dia benar-benar marah. Mau bagaimana lagi, aku terlanjur tanda tangan di atas materai. Pilihanku cuma dua: menjalani kontraknya atau membayar denda sebesar lima juta rupiah. Aku dari mana dapat uang sebanyak itu agar bisa membatalkan perjanjiannya? Tabunganku nggak sampai segitu, bilang sama Mas Fatih kok kesannya kayak dia yang harus berkorban. Aku tahu saat ini aku salah. Seharusnya aku bertanya dulu padanya sebelum menyetujui kontrak itu. Tapi waktu itu aku sudah terlanjur senang. Paling nggak aku akan merasakan dapat limpahan perhatian dan kasih sayang dari Gino kayak Alma. Kuakui, waktu mengambil keputusan, aku memang nggak berpikir panjang. Pintu kamarku diketuk. Ini peraturan pertama dalam perjanjian tertulis kami. Tidur secara terpisah di kamar berbeda. Dengan malas aku beranjak membukakan pintu. Begitu terbuka, tampaklah wajah Gino yang menunjukkan raut keterkejutan yang begitu kentara, cenderung berlebihan menurutku. Memangnya dia belum pernah lihat orang habis menangis? Yang berleleran ingus dan air mata bercampur jadi satu. Yang mata dan hidungnya bengkak memerah seperti habis disengat tawon. Yang rambutnya acak-acakan, tubuhnya bungkuk dan lelah, serta ekspresi wajah yang seolah sedang mengatakan “Aku ini mayat hidup, yang hidup segan, mati pun enggan”. Oh, tentu saja belum pernah. Alma nggak akan membiarkan orang lain  melihat wajah menangisnya, sekali pun itu suaminya sendiri. Dia tipe yang berusaha menyembunyikan wajah sehabis menangis dalam riasan tebal. Ah, tapi bisa jadi karena Gino belum pernah membuatnya menangis seperti ini. “Ada apa?” pertanyaan pertama yang keluar dari bibir Gino sejak siang tadi. Ya iyalah, dia baru pulang sekitar habis magrib tadi, mana sempat tanya macam-macam. “Maksudku, kamu kenapa?” ralatnya kemudian. Ingin sekali aku memaksakan sebuah senyum, tapi yang terjadi aku malah menubruknya dan menangis menggerung-gerung di dada Gino. Lelaki itu kalang kabut menenangkanku. Dia nyaris menelepon Alma kalau saja tidak kucegah dengan mengatakan kebohongan terbesar dalam hidupku. “Aku nggak apa-apa. Cuma kangen sama ibuku,” itulah yang kukatakan. Gino mengurungkan niat menelepon Alma, kemudian mengambilkan segelas air untukku. Kuminum air itu hingga tandas, tapi sepertinya kerongkonganku masih belum basah. Rasanya seolah tengah berada di gurun pasir bersuhu 43 derajat celcius. Lalu aku baru sadar kalau hanya ada segelas saja air minum yang tersisa, dan kini sudah habis kutandaskan. Tanpa sadar aku menangis lagi. “Na, youre not okay. Let me know what was happened?” Aku menggeleng. “Bukan apa-apa, Gino. Jangan khawatir,” bohong lagi. Aku sama sekali nggak baik-baik saja. Rasanya lebih sakit dibanding ketika baru saja dicampakkan Mas Rio dulu. Gino mendesah, dia lalu mengelus bagian belakang rambutku. “Kita teman, kan? Cerita aja apa yang bikin kamu sedih. Fatih nggak mau kamu di sini?” Aku menoleh cepat. “Gimana kamu bisa tahu?” aku menyuarakan pikiranku. Kemudian tersadar, buru-buru kubekap mulutku. “Jadi benar dia nggak mau kamu di sini?” ulang Gino. Kali ini aku mengangguk. Sudah tertangkap basah, mau apa lagi? Gino meraihku dalam peluknya, refleks, aku mendorong tubuhnya menjauh. “Maaf... aku cuma mau menenangkanmu,” ucapnya.  “Aku udah nggak apa-apa kok,” kali ini aku nggak bohong. Kupasang senyuman tipis untuk meyakinkan Gino. Lalu dengan satu tangan, kuusap mataku hingga tak ada lagi air mata yang tersisa di sana. “Mau kuambilkan sesuatu?” tawarnya. Aku mengangguk. Sepertinya midnight snacks cocok untuk situasiku saat ini. Mumpung besok Minggu, aku bisa begadang. Kami lalu menonton DVD koleksi Gino, bukan jenis favoritku sih, tapi masih bisa kutonton, sambil makan beberapa batang cokelat simpanan Alma. Pagi ini aku bangun dengan perasaan yang sudah cukup membaik, yah, dibandingkan semalam sih. Lalu mood baik yang terbangun sejak bangun tidur seolah mendapat boost charge ketika mendapati Gino sudah menyiapkan sarapan yang cukup mewah, nasi goreng dengan beberapa telur mata sapi. Sebenarnya aku lebih suka telur dadar sih, tapi itu nggak jadi masalah. Melihat sarapan sudah siap ketika aku terlambat bangun sudah cukup membuat senyumku melebar. “Selamat pagi,” sapa Gino saat melihatku muncul di ruang makan. Dia sudah terlihat rapi. Padahal semalam kami sama-sama begadang, tapi dia sama sekali tidak tampak masih mengantuk. Sementara aku, kalau tadi nggak ingat untuk salat subuh, mungkin sekarang aku masih bergelung dalam selimut. “Kamu mau ke mana hari Minggu begini?” tanyaku penasaran. Nggak mungkin dong dia akan pergi bekerja. Gino tersenyum. “Sarapan dulu deh, abis itu kamu siap-siap. Aku mau ajak kamu jalan-jalan,” dia membukakan piring yang masih tertelungkup di meja di hadapanku. “Ke mana?” aku antusias mendengar kata ‘jalan-jalan’. Dengan segera kusendokkan nasi goreng ke piringku. “Terserah, kamu sukanya ke mana? Kalau Alma hari Minggu begini paling suka diajakin ke Bonbin atau nongkrong di Mc. D yang deket sama TP itu.” Aku mengangguk-angguk. Jadi, ini ritual hari Minggu mereka? Aku sih boro-boro. Mas Fatih bakalan lebih suka mengajakku bersih-bersih rumah daripada pergi jalan-jalan. “Terserah deh ke mana. Aku ikut aja.” “Oke, kalau gitu abis ini kamu siap-siap, ya.” Kami makan sambil sesekali mengobrol dan bercanda. Selesai sarapan aku segera mengikuti saran Gino untuk bersiap-siap. Entah ke mana dia mau mengajakku, tapi sepertinya ide bertukar pasangan ini tidaklah terlalu buruk. Biarlah kunikmati dulu apa yang belum pernah kurasakan bersama Mas Fatih. Urusan nanti setelah sebulan masa perjanjian ini, biar kuurus nanti. Tapi, kalau mengingat setelah ini aku akan menjadi janda muda yang masih perawan, tiba-tiba kesenangan akan jalan-jalan itu memudar perlahan.  Ya Allah, apa sebenarnya dosa besar yang telah hamba lakukan sampai Engkau tega menghukum hamba seperti ini? Apa memang yang hamba lakukan sekarang ini salah? Apa memang benar yang dikatakan Mas Fatih tentang pernikahan? Bahwa tugas seorang suami adalah membimbing istrinya ke jalan yang benar? “Na, udah siap?” Aku hampir saja menangis lagi jika Gino tak memanggilku. Kuusap wajahku kasar, untuk mencegah air mata yang sudah menggenang itu menetes aku mendongak. Setelah merapikan riasan, buru-buru aku keluar kamar. Gino benar, kalau aku terus-terusan mengurung diri di kamar dan nggak melakukan apapun, bisa-bisa aku akan merusak diriku sendiri dengan menangis terus-terusan. Kuembuskan napas kasar. Baiklah! Akan kunikmati hidupku mulai saat ini!


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices