
by Titikoma

Rahasia Gino (sapna Kanaya)
Waktu menjadi begitu cepat berlalu saat aku bersama dengan Gino. Dia tahu benar bagaimana caranya memanjakan seorang perempuan. Dia membanjiriku dengan perhatian dan hadiah-hadiah, sama seperti yang dia lakukan untuk Alma. Ah, gadis itu, apa kabarnya dia, ya? Sayang sekali kami dilarang saling menghubungi selama masa kontrak ini, kalau misalnya boleh teleponan nih, aku pasti sudah mendengar keluhan kesalnya sepanjang hari. Dia pasti menyesal sudah menyetujui perjanjian itu. Aku jadi kepikiran Mas Fatih. Setelah beberapa hari sejak kuhabiskan malam untuk menangis itu, aku sudah jauh lebih baik. Jarang mengingat Mas Fatih adalah keadaan yang kusebut jauh lebih baik. Meski tidak sepenuhnya benar. Tidak mengingat Mas Fatih rasanya jauh lebih menyakitkan ketimbang harus mengingatnya. Tapi rasa sakit itu terobati karena tiap kali aku tidak mengingatnya, itu karena Gino selalu membuatku sibuk. “Na, kamu siap-siap ya.” Kukernyitkan keningku heran. Dia mau mengajakku ke mana lagi? Setiap hari selama seminggu ini dia selalu mengajakku makan di luar. Padahal aku selalu menawarkan untuk memasakkannya sesuatu. Dia bilang, untuk apa repot-repot memasak kalau masih ada restoran yang buka setiap hari? Terus terang, aku sedikit tersinggung untuk yang satu ini. Seolah kemampuan memasakku hanya sebatas rata-rata dan tidak bisa mengalahkan masakan restoran. Padahal kalau Mas Fatih, dia akan rela tidak makan siang di kantor demi bisa merasakan masakanku setiap harinya. “Kita mau makan di luar lagi?” tanyaku kemudian. Gino mengangguk, wajahnya tampak riang dan semringah seperti baru saja menang undian. Yah, dia memang selalu seperti itu sih setiap hari. Sepertinya, dia ini tercipta untuk selalu berwajah semringah seperti ini. “Sekali-sekali makan di rumahlah, Gin. Biar aku yang masak. Masakanku nggak kalah kok sama masakan restoran,” tawarku. “Nggak perlu, ntar kamu capek lagi. Lagian ada sesuatu yang mau sekalian aku beli di mal,” senyumnya terkembang, tampak mencurigakan. Aku sama sekali nggak masalah dia memberiku hadiah macam-macam, toh selama seminggu ini hadiah darinya belum pernah kubuka. Masih utuh di kamar. Tapi rasanya kalau tiap hari dihujani hadiah kok bosan, ya? Membayangkan membuka hadiah itu setiap hari sudah membuatku lelah sendiri. Gino menggenggam tanganku. “Malam ini ada yang spesial soalnya, aku nggak mau kamu capek.” Tubuhku merinding. Cepat-cepat aku menarik tangan dari genggamannya. Aku heran karena malam ini Gino mengajakku makan malam di rumah saja. Padahal ini malam Minggu, harusnya dia mengajakku nonton ke bioskop atau apalah yang sering dia lakukan di hari-hari biasa. Tadi siang kami makan di luar dan membungkus dua porsi lagi untuk kami makan malam ini. Dia menyiapkan makan malam romantis, dengan penerangan temaram dari lilin tinggi di meja makan dan di beberapa sudut ruangan. Dia mematikan lampu utama, hingga aku tak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Tapi sekilas tampak olehku sebuah seringai muncul di bibir Gino. Suasana jadi terasa canggung. Kami makan dalam bisu, hanya dia yang sesekali mengajakku bicara, aku hanya menanggapi seperlunya. Bagiku, suasana romantis seperti ini sangat menakutkan jika dinikmati bersama orang lain yang bukan suamiku. Takut-takut, aku segera berpamitan setelah selesai makan. “Kenapa buru-buru sih, Na?” tanyanya. Suara Gino berubah dalam dan serak. “Aku punya sesuatu untukmu, bukalah!” dia menyodorkan sebuah kotak berbungkus kado padaku. “Gin, nggak perlu. Hadiah darimu yang kemarin-kemarin aja belum kubuka,” tolakku halus. Sungguh, aku ingin sekali pergi dari sini secepatnya. “Aku tahu, satu ini aja buka di sini ya,” pintanya. Entah karena temaram atau aku yang ketakutan, kulihat sorot mata Gino berubah. Bukan Gino yang biasanya. Matanya seolah menelanjangiku. Aku mendesah. “Oke, satu ini kubuka di sini,” kurasa tak ada salahnya menuruti permintaan Gino ini. Ketakutanku ini pasti tak beralasan. Untuk apa Gino ingin melukaiku? Kalau dia ingin melakukannya, pasti sudah sejak beberapa hari lalu. Kubuka kertas pembungkus hadiah itu perlahan. Dahiku mengernyit begitu kotaknya terbuka, dengan hati-hati kuangkat sesuatu yang ada di dalamnya, lalu membelalak kaget. Saking kagetnya tanpa sadar aku melempar benda itu dan langsung mendarat tepat di muka Gino. Aku histeris sendiri. “Kenapa sih, Na?” Gino buru-buru menghampiriku. Kutepis tangannya yang melingkar di pundakku. “Apa maksudmu memberikan barang kayak gitu buatku?” tanyaku gemetar. “Lah, emang buat apa lagi? Ya, buat kamu pakai dong,” Gino merentangkan kain tipis yang tadi kulempar padanya. Sebuah lingerie transparan berwarna merah kombinasi hitam bergaya loligothic. “Ya, maksudku dipakai buat apa? Kamu mau aku pakai begituan dan berkeliaran di rumah ini?” sergahku sebal. Kadang-kadang orang tampan itu bodoh ya? Seharusnya, sesekali mereka menerima sebuah ketukan di kepala pakai centong nasi seperti yang dilakukan Dayang Sumbi pada anaknya, biar sampai tua mereka akan tetap ingat hal bodoh apa yang pernah mereka lakukan. Ah, tapi itu sepertinya hanya berlaku untuk Gino, karena Mas Fatihku tampan juga, tapi nggak pernah melakukan hal-hal bodoh seperti ini. “Ya, kalau kamu mau sih, bolehlah dipakai berkeliaran di rumah,” jawabnya dengan nada polos. Kuambil napas dalam, tanganku sudah bersiap mengambil centong nasi kalau sekali lagi dia mengatakan hal yang tidak masuk akal. Dia tidak pernah diajari tentang sindiran, sarkasme, atau satire, ya? “Kalau nggak mau, cukup pakai itu di depanku di dalam kamar.” Pletakk! Aku benar-benar memukul kepalanya dengan centong nasi yang refleks kuambil begitu saja. Aku nggak habis pikir, barusan dia makan apa sih, sampai bicara ngawur begitu. “Aduh!” serunya sambil memegang kepala, tepat di bagian yang kupukul tadi. “Kenapa kamu memukulku sih?” “Ya biar kamu sadar. Sejak tadi kamu kesambet, kan? Ngomong aneh dan nggak jelas gitu,” balasku. Aku bersiap dengan posisi kuda-kuda dan centong nasi di tangan sebagai senjata. “Aku nggak kesambet, Na. Aku serius,” Dia mendekat padaku. Semakin dia mendekat, semakin aku mundur hingga punggungku menabrak lemari pajangan. Mentok. Dia mengunci tubuhku dengan kedua tangannya. “Lupakan perjanjian konyol itu, toh kalau kita langgar peraturannya nggak akan ada yang tahu. Alma maupun Fatih, nggak akan pernah tahu apa yang terjadi di antara kita. Sama seperti kita yang juga tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka.” Aku terkesiap. Gino benar. Aku nggak tahu apa yang sekarang sedang dilakukan oleh Alma dan Mas Fatih. Tapi peraturan? Peraturan mana yang harus kami langgar saat ini? Aku membelalak saat Gino dengan ringannya mengangkat tubuhku, menggendongku hingga ke... tunggu, untuk apa dia membawaku ke kamarnya? Seolah baru saja tersadar, aku segera meronta dan melepaskan diri dari gendongan Gino. Centong nasi yang masih ada di tanganku segera kumanfaatkan. Sekali lagi aku menggetok kepala Gino. Gendongannya langsung longgar karena satu tangannya memegang kepala, Gino meringis. Aku segera memanfaatkan kesempatan itu untuk melesat ke kamarku. Jantungku berdegup kencang, seolah aku baru saja menyelesaikan lari maraton sepanjang seribu meter. Kupandangi centong nasi di tanganku lalu tanpa aba-aba, air mataku menderas. Jadi... baru saja dia mengajakku melanggar peraturan nomor berapa? Yang pertama atau kedua? Atau malah dua-duanya? Pintu kamarku digedor, aku bersyukur sudah menguncinya. Tapi bukan tidak mungkin Gino punya kunci cadangan, ini kan rumahnya. Lebih parah lagi kalau sampai dia mendobrak pintunya. Lalu, dengan sisa-sisa tenagaku, kugeret beberapa furniture di dalam kamar untuk menghalangi pintu. Meja rias, kursi, lemari pendek, kalau aku bisa mungkin lemari pakaian yang besar itu juga akan kupindah. Apa ini? Aku seperti tengah berlari dari sebuah rencana pemerkosaan. Padahal dia ini suami dari sahabatku sendiri, dan aku pun sudah menganggapnya teman. Tak habis pikir kenapa dia sampai tega melakukan ini padaku. Jangan-jangan ini sudah direncanakannya sejak semula. “Sapna! Aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama! Nggak mungkin kamu bisa menahan nafsu alami manusia selama ini. Kamu pasti juga sedang merindukan sentuhan suamimu, kan?” Aku mengernyit, tak mengerti. Apa maksudnya nafsu alami manusia itu? Dia ini sedang mabuk atau gimana sih? “Ayolah, Sapna. Sekaliiii... aja. Anggap aja kamu sedang membantu temanmu ini mengatasi masalahnya.” “Masalah? Masalah apa, Gin? Kalau kamu kayak gini malah akan bikin masalah baru!” Aku mencoba mengajaknya bermediasi dari balik pintu, tentu saja aku tidak bodoh dan mengambil risiko dengan membukakan pintu untuknya. “Masalah yang hanya bisa diselesaikan berdua, biasanya Alma akan dengan senang hati menyelesaikannya. Membuat kecemasanku menghilang di ranjang,” Gino mulai meracau. Dari racauan itu pelan-pelan aku mulai sadar satu hal. Ada yang disembunyikan Alma dari suaminya ini yang tak pernah diceritakannya pada orang lain, termasuk aku. Sesuatu yang besar, yang bila diketahui orang kemungkinan akan menghapus semua citra baik yang ditampilkan Gino di luaran. Sesuatu; kelainan; berhubungan dengan seks; berhubungan dengan kejiwaan Gino. Semakin lama, racauan Gino semakin menguatkan asumsiku. Buru-buru kukeluarkan semua hadiah yang pernah diberikan Gino padaku. Kubuka semua hadiah itu dengan perasaan gusar. Aku harus membuktikan spekulasiku. Aku menahan napas saat semua hadiah itu terbuka. Ada satu setel kostum perawat berukuran ekstra mini lengkap dengan stetoskopnya. Ada lagi kostum polisi, lagi-lagi berukuran ekstra mini. Lalu ada beberapa jenis lingerie yang ekstra mini juga, masih ditambah dengan ekstra transparan pula. Jantungku berdegup kencang, nyaris semaput aku melihat semua hal yang kini tersebar di atas ranjang itu. Racauan Gino sudah berhenti, suaranya tak lagi terdengar, entah dia berada di mana. Mungkin saja sedang menyelesaikan hasratnya sendiri. Bagaimana mungkin Alma bisa bertahan dengan semua ini? Kupikir selama ini, kehidupan pernikahankulah yang tidak bahagia dengan suami yang hobi sekali memancing amarah plus menyebalkan sedunia. Tapi ternyata, suami Alma yang terlihat baik dan sempurna di luaran, memiliki sesuatu seperti ini. Sejauh dari yang kuperhatikan, tidak ada sex toy di antara hadiah-hadiah itu, hanya kostum-kostum dan lingerie saja. Kusimpulkan, Gino memiliki fantasi seksual yang tinggi. Bagaimana mungkin Alma menyembunyikan hal sebesar ini dariku? Aku ini sahabatnya, kan? Aku tergugu membayangkan bagaimana Alma menghadapi semua ini. Kalau aku, mungkin aku sudah nggak tahan lagi menghadapi suami yang seperti Gino. Memang sih, Gino perhatian dan romantis, tahu benar bagaimana caranya memperlakukan istri, tapi kalau selalu dituntut memuaskannya di atas ranjang dengan berbagai kostum dan aneka riasan, aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Aku menggeleng berulang kali. Ini pertama kalinya aku bersyukur memiliki suami seperti Mas Fatih. Lalu rasa syukur itu tiba-tiba membuat hatiku mencelus. Sadar satu hal, setelah perjanjian ini selesai, aku nggak akan lagi bergelar Nyonya Rasyid Al Fatih. Yang lebih menyakitkan, aku akan berpisah selamanya dengan Mas Fatih.