
by Titikoma

Tak Berakhir Menyakitkan (sapna Kanaya)
Kami sampai di rumah sekitar pukul sembilan malam. Mas Fatih tidak melepaskan tanganku sejak kami turun dari motor. Ketika aku pamit untuk ke kamar mandi, dia pun masih enggan melepas genggamannya. “Aaahh....” aku menjerit saat Mas Fatih tiba-tiba memelukku dari belakang. Wajahnya tenggelam di antara lekukan tengkukku. Senyumku terkembang ketika menyadari bibirnya menciumi leherku. Lalu aku tersadar sesuatu. Mas Fatih sudah mengucapkan kata talak, dan kami sudah berpisah ranjang sejak dia mengucapkannya. Itu artinya akad pernikahan kami sudah tidak lagi sah dalam agama. Itu artinya kalau aku terus membiarkan Mas Fatih melakukan ini, meski aku juga menikmatinya, ah, akhirnya aku tahu apa yang dimaksud Gino dengan nafsu alami manusia itu, kami akan berdosa. Kami akan dianggap telah berzina. Kurenggangkan pelukannya di perutku, lalu berbalik menatapnya. Matanya tampak sayu, jakunnya naik turun. Aku belum pernah melihat Mas Fatih seperti ini sebelumnya, entah kenapa bulu romaku jadi berdiri semua. “Ada apa, Na?” tanyanya dengan suara parau. Aku berdeham, berkali-kali kuembuskan napas perlahan demi meredam gejolakku sendiri. Ya Allah, sekali lagi kami harus menundanya. “Kita nggak bisa melakukannya sekarang, Mas,” ucapku jengah. “Kenapa enggak?” kali ini Mas Fatih sudah kembali menguasai dirinya. “Mas ingat pernah mengucapkan talak pada Sapna di hari terakhir Sapna di rumah ini?” dia hanya mengangguk. “Bukankah itu artinya kita sudah resmi berpisah secara agama? Kalau kita melakukannya sekarang, itu bisa masuk zina, Mas.” “Tapi baru talak satu, Na. Begitu kita melakukannya, talak itu bisa gugur.” Aku menggeleng. “Nggak mau, Sapna mau memastikan pernikahan kita ini sah atau nggak dulu, baru melakukannya.” Mas Fatih tampak ingin protes lagi, sebelum kudorong tubuhnya keluar dari kamar. “Malam ini, Mas tidur di kamar sebelah dulu ya,” pintaku. “Astaga, Na. Kamu tega sama Mas? Sudah dua minggu Mas tidur di sana, Mas pengin tidur sama kamu,” rengeknya. “Nggak sebelum akad pernikahan kita diperbarui!” segera kututup pintu kamar, menghindari risiko aku akan luluh karena melihat wajahnya. “Oke, oke. Besok sepulang Mas kerja, kita ke rumah Papa, minta tolong Papa untuk memperbarui akad pernikahan kita. Sekarang biarin Mas tidur di sini, ya?” “Nggak, Mas. Besok aja, besok. Setelah dari rumah Papa!” aku terkikik geli membayangkan muka Mas Fatih yang harus menerima keputusan pahit ini. Aku masih bisa mendengar dia mengembuskan napas berat, lalu mendumal. “Apa gunanya Mas jemput kamu malam ini kalau ternyata Mas masih harus tidur di kamar sebelah lagi.” “Buat apa sih kalian memperbarui akad nikah? Kayak nggak ada kerjaan aja,” Papa menggerutu saat kami tiba dan mengatakan tujuan kami. Semalam aku sudah menelepon Farun untuk datang ke rumah mertua demi menjadi waliku. Aku nggak mau mengambil risiko dengan memberi tahu ayah, bisa-bisa ditanyai macam-macam dan kalau aku salah menjawab pasti akan kacau. “Ada sedikit masalah kemarin dan nggak sengaja Fatih ngucapin talak. Baru talak satu, tapi Sapna mau memastikan kalau pernikahan kami benar-benar masih sah.” “Yailah, Mbak. Jangan aneh-aneh deh, bikin repot orang aja,” gerutu Farun yang langsung mendapat sambutan kepalan tangan dariku. Dia malah mencibirku. Ah, adikku ini, rasanya sudah bertahun-tahun aku nggak bertemu dan bertengkar dengannya seperti ini. Padahal sih baru dua atau tiga minggu saja. “Ya udah, kalau nggak karena permintaan Sapna, Papa sudah pasti akan menolaknya,” aku terkikik saat mendengar gerutuan panjang papa. Kemudian papa memanggil Kak Zayn yang kebetulan baru pulang dari Australia, calon suami Rani dan seorang tukang kebun keluarga Mas Fatih untuk menjadi saksi. Mahar yang sama dengan saat akad nikah dulu juga sudah disiapkan Mas Fatih di atas meja. Setelah semuanya siap, Mas Fatih lalu menjabat tangan papa yang sudah terulur di hadapannya. “Saya nikahkan engkau, Rasyid Al Fatih bin Mustofa Basri dengan Sapna Kanaya binti Muhammad Kamil dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas seberat sepuluh gram dibayar tunai.” Mas Fatih langsung menyahut cepat. “Saya terima nikahnya Sapna Kanaya binti Muhammad Kamil dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” dalam satu helaan napas, Mas Fatih berhasil menyelesaikan ijab qabul itu dengan baik. Senyumku terkembang tak henti-henti. “Cieee... yang ijab dua kali, ciee...,” goda Rani. “Aku sekali aja belum, kalian udah dua kali. Dasar curang!” Aku tertawa mendengarnya. “Ya, cepetan dong. Mumpung orangnya udah di sini, minta Papa nikahin kalian sekalian sana.” “Jangan mulai deh, persiapan masih kurang 40 persen lagi nih,” jawabnya. Aku terkaget-kaget. Sudah selama inikah aku nggak berkomunikasi dengan Rani, sampai dia mau menikah pun aku nggak tahu. “Nggak usah kaget gitu dong, udah sejak lama aku nyiapin ini, tapi nunggu Mas Fatih dulu. Lha kalau Mas Fatihnya udah, ngapain aku nunda lagi.” “Selamat ya, Ran. Duuh, kenapa kamu nggak bilang sih kalau udah persiapan pernikahan? Kan aku bisa bantu-bantu.” “Aku nggak butuh bantuan dari pengantin baru. Kalian fokus aja bikin anak,” Rani tertawa saat mengatakan itu. Bikin anak? Dikira anak itu kue apa, gimana sih dia. “Udah pulang sana, Mas Fatih nungguin tuh,” dia menyenggolku dengan sikunya. “Pokoknya awas kalau ada apa-apa dan kamu nggak ngabarin aku,” ancamku sebelum menemui Mas Fatih. Dia juga sedikit aneh sore ini, matanya berbinar-binar, senyumnya diumbar ke mana-mana. Untung yang ada di sini semua saudara, kalau nggak aku pasti sudah memprotesnya sejak tadi karena lesung pipit kebanggaanku jadi konsumsi publik. “Kita langsung pulang, yuk, Na.” dia langsung meraih pinggangku dan merapatkan diri begitu aku mendekat. Aku tahu dia sudah menahan diri sejak malam kemarin, tapi rasanya nggak sopan kalau kami langsung berpamitan. “Sebentar lagi deh, Mas. Kasihan Mama masih kangen tuh.” “Mas lebih kangen sama kamu, tahu,” ujarnya manja. “Tapi kamu tetap milik mamamu sampai kapan pun, tahu,” balasku yang langsung membuatnya bungkam. Mataku melirik sekeliling kami, saat melihat tidak ada orang, aku lalu mengecup pipinya sekilas. Terlihat sekali dia kaget dengan tindakanku barusan. Dia sampai memegangi pipinya yang memerah. “Kamu udah mulai berani ya, Na. Siapa yang ngajarin, hah, siapa?” dia meraih tubuhku kemudian menggelitiki pinggangku hingga terasa kaku di perut. Aku membalas menggelitikinya. Kami lalu tertawa-tawa seperti anak-anak. Rasa sakit yang kemarin menyiksa kami, seolah luruh dan menghilang begitu kami bersama. Tidak seperti biasanya, kali ini aku memercayai fenomena cinta pada pandangan pertama yang terjadi padaku. Meski kata itu sudah kuhapus dari kamus hidupku, tapi dia muncul dan justru membuatku hidup. Kali ini cinta pada pandangan pertama itu tidak berakhir menyakitkan, meski tetap ada bagian yang menyakitkan.