Hold Me Closer

Reads
122
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Ingin Dia Kembali (sapna Kanaya)

Entah apa sebutan yang tepat untuk orang sepertiku. Bodoh atau naif, keduanya memiliki ambang batas yang nyaris tak terlihat. Sudah tahu Mas Fatih marah padaku sejak hari pertama kulangkahkan kaki keluar dari rumah, masih saja aku berharap pada apa yang diucapkannya kemarin. Seharusnya aku mengerti, tidak mungkin dia akan menahanku. Ponselku bahkan nyaris saja kulempar kalau tak ingat itu adalah benda pertama yang kubeli dari hasil keringatku sendiri, setelah menabungkan honor mengajar yang tak seberapa selama berbulan-bulan. Menghubungi nomor Mas Fatih, itulah yang kulakukan sejak semalam, tapi tak satu pun dari panggilan yang kulakukan bisa tersambung dengannya. Hanya suara perempuan yang sangat kukenal yang menjawab panggilanku: nomor yang anda tuju sedang sibuk, bla, bla, bla… Menyebalkan! Sebenarnya siapa sih yang sedang meneleponnya sampai-sampai nomornya sibuk melulu? Aku tidur dengan perasaan sebal, dan perasaan itu terbawa hingga pagi harinya. Gino malah tertawa-tawa melihatku yang uring-uringan. Hari ini dia membiarkanku menguasai dapur yang peralatannya tidak selengkap dapur di rumahku. Wajar sih, Alma nggak terlalu suka memasak, dapat suami macam Gino yang saking demennya manjain istri sampai nggak boleh capek karena memasak. Sementara aku, memasak adalah hobiku yang lain selain mengoleksi bunga-bunga subtropis yang indah-indah itu. Dapat suami yang suka banget dimanjain lidahnya sama masakan istri plus hobi berkebunnya sudah sampai di tahap kronis. Beberapa kali aku mengancam Gino dengan mengacungkan pisau yang tengah kupegang, dia malah menyodorkan kepalanya yang tertutupi kopyah putih, seolah minta dipenggal. Beberapa hari setelah kejadian malam itu, dan setelah aku bicara dari hati ke hati keesokannya, tampak ada kemajuan pada Gino. Meski masih bolong-bolong, dia sudah mau menjalankan kewajiban beribadahnya. Pagi ini dia malah membangunkanku untuk salat subuh berjamaah. “Kenapa sih, Na? Pagi-pagi tuh yang ceria, senam wajah, terapi tertawa, biar jantungmu kuat plus mencegah penuaan dini,” ceramahnya.  “Kamu mau bilang kalau wajahku sudah penuh keriput kan?” bentakku. “Ya, emang sih aku nggak pernah dapat perawatan mahal kayak istrimu itu yang tiap minggu hobinya facial di salon.” Gino tertawa lagi. “Tuh, kan, sewot lagi. Kamu tuh nggak bisa diajakin bercanda emang, ya? Jangan bikin semua hal jadi rumit dengan memasukkan setiap kata dari lawan bicaramu ke hati.” Aku merengut. Dia ini, setan apa yang nyambet ke tubuhnya pagi ini hingga membuatnya mendadak jadi motivator begini. Kutempelkan telapak tanganku ke dahinya, segera ditepisnya tanganku. “Apa sih?” sergahnya sebal. “Bukan apa-apa sih,” jawabku sambil menghidangkan seporsi sandwich tuna bayam untuknya. “Aku cuma takut kamu kesambet aja,” imbuhku sambil terkekeh puas. “Yeh, dibilangin serius malah ngatain orang kesambet,” dia menyuapkan roti isi ke dalam mulutnya. “Sana, telepon Fatih lagi sana! Mumpung masih pagi!” Mataku membelalak. “Kamu...” “Cuma orang bodoh yang nggak bisa melihat rindu di matamu itu,” ledeknya. Lalu dia buru-buru menjauh begitu melihat aku bersiap mengambil centong nasi. Dia lalu menyenandungkan lagu Kangen milik Dewa 19 sambil tertawa-tawa. Dengan jengah segera kulepas celemek yang melekat menutupi baju bagian dada dan juga rokku. Aku meninggalkannya makan sendirian, membawa roti isiku ke kamar, bersiap makan di kamar saja biar nggak lagi diganggu oleh makhluk usil yang suka mendadak jadi romantis itu. Gino benar, jam segini Mas Fatih pasti belum berangkat kerja, kalau aku meneleponnya sekarang kemungkinan besar pasti diangkat. Setelah menghabiskan sarapanku, aku kembali menimbang-nimbang. Haruskah kutelepon Mas Fatih? Haruskah, haruskah? Kalau terlalu lama aku menimbang, nanti Mas Fatih keburu berangkat. Kulirik jam di layar ponsel. Masih pukul enam lebih lima belas menit. Ada waktu sekitar lima belas menit sebelum aku berangkat mengajar, atau kalau aku mau sedikit terlambat datang ke sekolah kami bisa ngobrol selama setengah jam.  Lalu aku terkaget-kaget hingga nyaris melemparkan ponsel itu ketika sebuah panggilan masuk dan refleks jariku menyentuh layar untuk menerimanya. Mas Fatih. “Ha-halo,” sapaku mendadak gagap. “Assalamualaikum, Na.” Jantungku rasanya mau copot ketika mendengar suaranya. “Waalaikumsalam, Mas...” takut-takut kubalas salamnya. “Apa kabar, Na?” Air mataku langsung tumpah ketika dia malah menanyakan kabar. “Setelah dua minggu berpisah, Mas malah nanyain kabarku?” sergahku gusar. Aku tak bisa lagi menyembunyikan tangis. Sambil tergugu aku terus mengomeli Mas Fatih. Omelanku justru terdengar seperti racauan orang yang sedang teler dan tidak sadarkan diri. “Na, jangan nangis. Oke, Mas yang salah. Mas minta maaf. Tapi, please, jangan nangis!” suaranya terdengar panik. “Sapna nggak bisa berhenti nangis, Mas. Sapna mau ketemu Mas Fatih, Sapna mau nangis di pelukan Mas Fatih,” sambil terus terisak, aku meracau tidak jelas. Lalu percakapan kami terjeda cukup lama, hingga aku berhasil menguasai diri. “Mas?” panggilku, memastikan telepon masih tersambung. Aku bahkan mengecek keadaan ponselku, masih terhubung. Tapi ke mana Mas Fatih? “Hmmm...,” sahutnya. Suara itu membuatku terkesiap. Suara dehaman yang terdengar bergetar, seolah tengah menahan sebuah emosi yang siap meledak kapan saja. “Mas kenapa?” “Mas nggak apa-apa, Na. Mas cuma kangen kamu.” Tangis yang tadinya sudah berhasil kuredam berkat jeda cukup panjang dari percakapan kami tadi, kembali tumpah saat mendengarnya bilang rindu. Aku juga, Mas. Sapna juga kangen sama Mas Fatih. Ingin sekali  kuteriakkan kata itu, tapi sekarang ini percuma saja aku bicara. Karena aku malah menangis menggerung-gerung, tidak ada kata-kata yang terucap di antara kami berdua. Hanya terdengar tangisku dan suara Mas Fatih yang mencoba menenangkanku. “Mas, Sapna pengin pulang,” akhirnya aku berhasil mengucapkan kalimat itu. Meski susah payah karena napasku yang tersengal-sengal karena terlalu banyak menangis. “Nanti malam Mas akan jemput kamu, kita pulang.” Sesuatu di dadaku berdesir. Desiran yang membuatku lega. Aku akan pulang!


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices