hold me closer
Hold Me Closer

Hold Me Closer

Reads
98
Votes
0
Parts
20
Vote
by Titikoma

Butuh Waktu Lama Untuk Menyadarinya (rasyid Al Fatih)

Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa saya membutuhkan wanita seperti Sapna, yang begitu tegar sekaligus rapuh, kuat sekaligus butuh perlindungan, yang mandiri sekaligus ingin dimanja juga. Yang harus saya lakukan adalah, memeluknya, memberinya perlindungan dan juga memanjakannya tanpa berlebihan. Sekarang ini kami sedang double honeymoon bersama pasangan Alma-Gino di Jakarta. Biar saja orang bilang kalau pilihan berlibur kami begitu mainstream, kami hanya butuh tempat untuk menyegarkan diri. Menghilangkan penat dari segala masalah yang telah menerpa. Saya dan Sapna mengambil cuti seminggu, sementara rencana kami berada di Jakarta sampai lima hari. Kami masih punya waktu untuk istirahat setelah pulang dari sini. Ibu kota negara yang selalu macet setiap harinya ini akan tampak menyebalkan bila kita menikmatinya dalam keadaan hati yang biasa saja, tapi akan terlihat begitu indah dan menyenangkan bila dinikmati ketika hati kita sedang berbunga-bunga. Kami berempat sedang dilanda cinta. Benar kata Sapna, cinta yang telah melalui serangkaian ujian dan berhasil melewatinya akan terasa lebih indah dan manis. Seperti yang tengah kami berempat alami sekarang ini. Cinta kami telah berhasil melalui ujian tahap awal. Kini, kami tengah bersiap-siap untuk ujian selanjutnya. Saya sih yakin, saya dan Sapna akan berhasil melalui ujian apapun itu dan mengukuhkan cinta kami hingga akhir hayat, entah deh dengan pasangan Alma-Gino. Haha. Kami menyewa dua cottage kecil di pinggiran Anyer. Tentu saja saya tidak mau mengambil risiko dengan hanya menyewa satu cottage saja untuk dua pasang. Bisa-bisa kami tidak akan bebas jika ada Alma dan Gino. Seperti pagi ini, kami masih ingin bersantai, bergelung dalam selimut setelah salat subuh berjamaah, tiba-tiba saja Alma mengetuk pintu cottage kami dengan anarkis. “Kita jalan-jalan yuk, Na,” ajaknya pada Sapna yang terlihat masih malas dan mengantuk. Saya menyusul Sapna yang berdiri di depan pintu, lalu mengalungkan lengan saya di lehernya. “Kita mau berduaan aja di kamar, sana jalan-jalan sendiri,” usir saya.  Alma mencibir. “Sok mesra kalian ih, Gino lagi malas keluar, katanya nanti siang ada klien yang mau bertemu dengannya di sini.” Saya membelalak. “Gino masih bekerja? Hei, Non. Kita ini lagi liburan di sini, jangan biarkan suamimu meninggalkanmu demi pekerjaannya.” Sapna menyikut saya. “Sejak kapan suamimu jadi kayak gitu, Na?” sindir Alma kemudian. “Setahuku dulu, Mas Fatih yang kukenal itu orang yang kalem, sopan, dan cool.” “Farun aja yang dulu kalem dan bijaksana sekarang udah jadi orang yang hobi banget ngerecokin dan juga mancing-mancing emosi orang,” kata Sapna. “Loh, tunggu dulu. Apa maksudnya nih, kamu kok jadi bawa-bawa Farun segala?” saya makin nggak mengerti ke mana arah pembicaraan dua wanita ini. “Ya, maksud Sapna, Mas Fatih tuh bawa pengaruh buruk buat Farun. Mas kan yang suka ngajakin Farun main PS, padahal dulu dia hampir nggak pernah mainin tuh PS. Mas juga kan yang ngajari dia buat selalu ngerecokin aku, huh,” tuding Sapna. “Eh, enak aja. Bukan Mas yang bawa pengaruh buruk, tapi Farunnya aja yang udah nggak tahan kamu jadiin tempat sampah terus tiap hari,” balas saya. Baru saja Sapna akan membalas lagi, Alma menyela. “Kalian mau berantem lagi? Lanjutin deh, aku pamit aja. Biarkan diriku yang merana ini berjalanjalan menikmati ombak di bibir pantai sendirian.” Saya dan Sapna ternganga mendengar syair puitis yang diucapkan Alma tadi, lalu tertawa terbahak-bahak bersamaan ketika sahabat Sapna itu beranjak keluar dari cottage kami. Sapna sampai menggaplok lengan saya karena tertawa terlalu keras. Ah, saya yang dulu mana mungkin mau tertawa terbahak-bahak seperti ini. Tapi bersama Sapna, saya bisa jadi diri saya sendiri tanpa harus khawatir akan merusak citra sopan yang sudah saya bangun sejak masih remaja. “Sahabatmu, tuh, kayak gitu kelakuannya,” ucap saya setelah berhasil menghentikan tawa. Perut saya sampai kaku dan sakit karena tertawa tadi. “Eh, katanya dia adik barunya Mas Fatih, gimana sih?” Saya tertawa, lalu dengan gemas mencubit pipinya, kemudian mengecup bibirnya. Sapna selalu bilang saya suka curi-curi kesempatan, tapi menurut saya ciuman yang dicuri itu berbeda rasanya. Kali ini Sapna membalas ciuman saya. Dengan gemas saya memeluk tubuhnya, pura-pura ingin merontokkan seluruh persendiannya. “Mas,” panggilnya, membuat saya terpaksa merenggangkan pelukan. Saya bertanya dengan dagu. “Sapna boleh bertanya satu hal?” Saya pura-pura berpikir. “Boleh, dengan satu syarat.” “Apa?” “Setiap satu pertanyaan, Mas juga akan bertanya satu hal padamu. Gimana? Adil kan?” dia hanya mengangguk menyetujui syarat saya. “Sejak kapan Mas mulai jatuh cinta sama Sapna?” “Ngg… kapan ya, Mas nggak inget tuh.” “Mas... yang bener dong, gimana sih jawabnya nggak bener gitu,” protesnya. Saya tertawa. “Iya deh, apa tadi pertanyaannya? Sejak kapan Mas jatuh cinta sama kamu? Ng… sejak sebelum kita kenalan.” “Eh, serius, Mas?” “Itu dua pertanyaan, Sapna.” saya terkekeh. “Sapna cuma mau mastiin, Mas. Itu serius atau cuma bercanda,” sungutnya. Tawa saya memberikan jeda sesaat. “Iya deh, Mas jawab juga yang itu. Serius. Mas sudah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali melihatmu waktu menjemput Arsene. Kamu pasti lupa. Ya iyalah, orang waktu itu kamu cuma senyum doang lihat Mas, nggak nyapa, nggak ngajak ngobrol. Pasti deh, waktu itu Mas dikira papanya Arsene kayak pas kenalan.”  Sapna tersipu malu. “Maaf, deh. Abisnya kan aku emang belum pernah ketemu sama Kak Zayn. Ya, bukan salahku dong kalau aku nyangkanya kamu papanya Arsene.” “Dan yang paling lucu itu, pas Mas mau ngenalin diri, kamu malah nyela dan ngejelasin tentang parenting,” saya tertawa mengenang masa-masa perkenalan kami yang penuh dengan kesalahpahaman. “Oke, kita close pertanyaan itu. Sekarang gantian Mas yang kasih pertanyaan sama Sapna.” “Hmm... Mas mau tanya apa ya?” saya pura-pura berpikir. “Ah, iya. Jadi, kamu nerima lamaran Mas karena terpaksa oleh sumpah yang udah terlanjur kamu buat itu?” “Eh, kok Mas bisa nyimpulin gitu sih?” “Pertanyaan Mas butuh jawaban, Sapna, bukannya balik dikasih pertanyaan.” Sapna begitu manis saat tertawa, itu yang membuat saya jatuh cinta padanya dulu. Melihat tawa dan keceriaan yang ditularkannya pada anakanak. “Jadi gini, Mas. Dulu itu kan Farun bilang kalau Sapna mau move on, Sapna harus memaafkan Mas Rio. Nah, waktu itu Sapna bilang kalau baru bisa maafin dia pas Sapna udah nikah. Kalau Farun mau Sapna buru-buru maafin Mas Rio, artinya Sapna harus buru-buru nikah. Dengan siapa? Inilah kesalahan Sapna. Sapna bilang aja sama siapa pun yang datang melamar Sapna dalam waktu satu bulan. Eh, nggak tahunya beberapa hari kemudian Mas Fatih ngelamar Sapna.” Sapna bernapas sejenak. Tiga detik kemudian kembali melanjutkan kalimatnya, “Tapi, pas ketemu Mas Fatih pertama kali, pas kita kenalan dan salah paham itu, Sapna terus aja kepikiran Mas Fatih, bahkan sampai di rumah. Sapna ngerasa ada yang beda dengan cara Mas Fatih mendekatkan diri pada Sapna. Karena itulah Sapna mau nerima lamaran Mas.” “Jadi, kesimpulannya?” terus terang saya pusing mendengar penjelasan Sapna ini.  Dia menepuk dahinya pelan. “Sapna lupa kalau Mas Fatih suka nggak fokus pas dengerin orang ngomong panjang. Jadi, kesimpulannya, Sapna nerima lamaran Mas Fatih bukan karena terpaksa oleh sumpah itu. Memang sumpah itu jadi salah satu pemicunya, tapi Sapna nerima Mas karena murni Sapna ingin menikah dengan Mas.” “Kalau sekarang, kamu cinta nggak sama Mas?” Dia tersipu-sipu. Dari ekspresinya saja saya sudah bisa menebak jawaban dari pertanyaan saya ini. “Itu pertanyaan baru, Mas,” elaknya membalikkan kata-kata saya tadi. “Oke, oke. Satu lagi deh, janji ini yang terakhir.” “Apa?” “Sekarang udah bisa maafin Rio?” “Ugh, siapa tuh Rio? Nggak kenal tuh,” tawanya berderai. Jawaban itu sudah cukup bagi saya. Dia mencintai saya, dia sudah melupakan Rio, masa lalunya, dia sudah siap menjalani hidup baru bersama saya. Dan yang paling penting, dia akan bahagia bersama saya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices