Kelabu

Reads
55
Votes
0
Parts
6
Vote
by Titikoma

Mama

Proses pemakaman selesai. Satu per satu pelayat meninggalkan pusara Papa. Hanya aku dan Samuel yang masih tetap di pemakaman. Kutaburkan bunga yang masih tersisa di keranjang sampai habis. “Ikhlaskan kepergian Papamu, Ri. Agar beliau tenang di alam sana,” Samuel merangkul pundakku sembari menarikku menjauh dari pusara. Pada saat keluar dari area pemakaman, aku menengok ke makam Papa yang telah jauh dari pandangan. “Sudahlah, Ri. Yuk kita pulang,” ajak Samuel. Sekilas aku melihat seorang wanita memakai pakaian serba hitam dan berkerudung memasuki area pemakaman. Sebelum sempat mengenali wanita itu, Samuel sudah menarikku masuk mobil.  Aku masih penasaran dengan sosok wanita yang kulihat di pemakaman Papa. Siapa dia? “Sam, apa kamu melihat wanita yang ada di pemakaman tadi?” tanyaku pada Samuel setelah sampai di rumah. “Aku tidak melihatnya. Itu mungkin perasaan kamu saja. Aku tahu kamu masih belum bisa menerima kepergian Papa kamu. Jadi pikiran kamu ke mana-mana,” Samuel meragukanku. “Aku sudah mengikhlaskan Papa, Sam. Tapi sungguh, aku tadi melihat ada wanita di pemakaman,” terangku dengan suara yang sedikit sengau. “Itu hanya halusinasimu saja, Ari. Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat dulu,” Samuel mendorongku ke kamar. Tok tok tok! Terdengar suara pintu diketuk. Aku dan Samuel mengakhiri debat kecil kami dan memusatkan pendengaran pada suara itu. “Sepertinya ada tamu,” kata Samuel. Bersamaan dengan itu, Bi Ina keluar dari dapur. “Biar aku saja yang buka, Bi. Sebaiknya Bibi menyiapkan makan siang untuk Ari,” pinta Samuel. Bi Ina mengangguk sembari kembali ke dapur. Sementara, Samuel berjalan menuju pintu utama. Aku tetap berdiri mematung di depan pintu kamarku. Beberapa saat kemudian kudengar Samuel berbicara dengan seorang wanita. Aku curiga. Suara itu. Apa jangan-jangan…. Penasaran, aku langsung menuju ruang tamu. Sesuai dugaanku, itu suara Mama. Amarahku tiba-tiba meledak begitu melihatnya. “Kenapa Mama kemari? Puas sekarang Papa sudah tidak ada? Ini kan yang Mama inginkan?” “Maafkan Mama, Nak,” tiga buah kata meluncur dari bibir Mama. “Maaf Mama bilang? Segampang itu Mama minta maaf setelah apa yang  sudah Mama lakukan? Mama jahat!” “Mama menyesal, Nak. Tolong maafkan Mama.” Mama mengulurkan kedua tangannya. Mungkin dia hendak memelukku. Wajahnya sayu seolah memendam kerinduan yang luar biasa antara ibu dan anak. Ya, kerinduan. Memang sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu. Tapi, itu tak cukup untuk melumpuhkan kebencianku terhadapnya. Justru aku merasa muak. Tidak mudah memaafkan orang yang telah membuat Papa meninggal. Aku menepis tangan Mama dengan kasar. “Ini semua salah Mama!” hujatku lalu berpaling. Mama mengejarku. “Nak, tunggu... Mama mau menjelaskan semuanya,” kata Mama yang terus membuntutiku. Aku masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu dengan keras dan menguncinya. Aku tidak mau bertemu dengan Mama. Hatiku terlanjur sakit. “Nak, buka pintunya. Izinkan Mama masuk,” Mama mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Tapi, aku tetap tak menghiraukannya. “Apa kamu begitu membenci Mama sampai tega tidak ingin menemui Mama?” Aku tetap diam. Menurutku, sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Beberapa saat kemudian, tak kudengar lagi suara mama. Yang ada hanyalah keheningan tanpa rasa.  “Ri, ini aku. Buka pintunya,” panggil Samuel sambil mengetuk pintu kamar. “Maaf, Sam. Saat ini aku ingin sendiri,” aku menyahut dengan suara keras. “Ri, sampai kapan kamu mengurung diri di kamar? Apa kamu tidak kasihan sama Mama kamu?” “Kalau kamu hanya ingin membahas soal Mama, sebaiknya kamu pergi dan jangan ganggu aku.” “Ri?” “Please, Sam. Kali ini saja. Biarkan aku sendiri!” nada suaraku meninggi karena Samuel tetap memaksa. Sepi. Aku menghela napas dalam-dalam.  Pukul setengah dua dini hari. Aku tak bisa tidur. Dari tadi siang aku berada di dalam kamar. Berkali-kali Mama memintaku keluar. Mama ingin sekali berbicara denganku dan jawabanku masih sama. Aku tidak mau berbicara dengannya. Jangankan berbicara, menatap mukanya saja aku tidak mau. Kebencianku pada Mama tak bisa kuhapus begitu saja. Entahlah. Seolah sudah mendarah daging. Aku teringat sesuatu. Kubuka laci meja sebelah tempat tidurku lalu mengambil sesuatu di dalamnya. Ada beberapa tumpukan buku. Ada juga sebuah foto lengkap dengan bingkainya. Aku ambil foto tersebut. Kupandangi foto itu. Foto yang diambil ketika liburan ke Singapura dulu. “Papa....” aku mendesah. Tanpa sadar, kelopak mataku mulai terasa basah. Wajah Papa yang tersenyum merekah, mengiris hatiku. Senyuman itu yang selalu aku rindukan. Ketika masih berjaya, Papa sering mengajak aku dan Mama liburan ke luar negeri. Ya, ketika keluarga kami yang dulu masih utuh dan bahagia. Tiba-tiba saja pandanganku beralih pada foto Mama. Rasa benci itu kembali merasuki jiwaku. Aku mendesah keras. Lagi-lagi Mama selalu merusak suasana. “Aku benci Mama!” aku berteriak sembari membanting foto yang kupegang sampai bingkainya pecah berkeping-keping. Mengapa selalu Mama dan Mama? Mengapa? Aku sudah tidak tahan. Ingin rasanya aku segera keluar dari rumah ini. Aku tidak mau bertemu Mama lagi. Sudah cukup Mama membuatku kehilangan Papa. Aku harus pergi malam ini juga.  Usai mengemasi pakaian, aku keluar kamar. Lampu di beberapa sudut ruangan padam. Semua orang di rumah sudah tidur. Ini kesempatanku untuk membangunkan Samuel. Aku segera masuk ke kamarnya. “Sam... Sam... bangun,” aku membangunkan Samuel yang tertidur lelap di balik selimut dengan suara setengah berbisik. Samuel bergeming. Anak ini memang susah dibangunkan, tapi paling dulu bangun pagi. Aku coba membangunkannya sekali lagi. Tetap saja Samuel tidak mau bangun. Malah ganti posisi tidur. Dia tengkurap, membuatku mulai geregetan. Dengan kesal aku menggoyah-goyahkan tubuh Samuel sampai dia benar-benar terbangun, atau setidaknya matanya terbuka. “Ada apa?” akhirnya Samuel menyahut meski dalam keadaan setengah sadar. “Ayo balik ke Surabaya.” “Sekarang?” “Iya.” Samuel melirik jam di meja sebelah tempat tidur. “Kamu gila, ya? Ini masih jam dua pagi, Ari. Nanti saja. Aku masih mengantuk,” gerutunya. Aku menarik lengan Samuel agar dia terjaga. “Bangun!” hardikku. Tibatiba Samuel menarikku hingga tubuhku menimpanya. Tubuh kami saling merapat. Samuel memelukku. Erat. Kalau sudah begini, aku tak berdaya. Jantungku berdegup tak karuan. Tubuhnya yang setengah telanjang membuatku ingin mencumbunya. Tapi aku berusaha menahan diri karena sedang tidak memiliki hasrat untuk melakukannya. Samuel membuka matanya. Ia menatapku lekat-lekat. Tatapannya teduh. Mata yang sipit khas keturunan Tionghoa benar-benar membuat kembang kempis dadaku. “Lima menit saja,” bisik Samuel lembut. Aku terhipnotis. Benteng pertahananku jebol. Pagi itu, kembali aku melakukannya. Lagi. Perbuatan yang tidak lazim untuk dilakukan.  Azan subuh berkumandang. Aku terjaga dan teringat kalau harus segera berkemas. Hampir saja aku lupa dengan rencanaku itu. Godaan untuk melakukan hubungan intim tadi membuatku tidak bisa berpikir apa-apa. Aku tidak bisa mengendalikan birahiku saat sedang berdekatan dengan Samuel. “Sam, ayo bangun. Sudah subuh,” ujarku saat membangunkan Samuel. Samuel menggerutu. Ia menyanggupi permintaanku. Beberapa menit kemudian, aku dan Samuel sudah keluar kamar. Kami berjalan menuju pintu utama. Kulirik kanan-kiri untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihat, khususnya Mama. Sampai di ambang pintu utama, aku dikejutkan oleh suara seseorang dari belakang. “Aden mau ke mana?” Suara itu datang dari Bi Ina. Aku langsung mengenalinya. “Bibi, mengagetkanku saja. Mama mana?” aku balik bertanya dengan setengah berbisik. “Masih di kamarnya. Den Ari mau ke mana bawa koper segala?” Bi Ina masih penasaran. “Mau balik ke Surabaya,” jawabku. “Bapak baru kemarin dimakamkan. Tidak baik kalau Aden pergi sebelum tujuh harinya Bapak. Biasanya selama empat puluh hari, orang yang baru saja meninggal arwahnya masih ada di rumah. “Itu mitos, Bi,” sergahku. “Tapi tetap saja, Den. Kasihan Bapak, apalagi Den Ari adalah anaknya. Nanti malam juga ada tahlilan di rumah.” “Aku tidak mau tinggal selama Mama ada di rumah. Begini saja, Bi. Ini aku kasih Bibi uang buat kebutuhan tahlilan. Nanti kalau kurang aku kirim lagi, Bi,” aku mengambil beberapa uang ratusan ribu dari dalam dompet. “Tapi, Den…” Bi Ina berusaha mencegahku. Aku tahu niat Bi Ina baik, tapi aku tetap akan pergi selama Mama masih  ada di rumah ini. Aku benar-benar sudah muak bertemu Mama. “Sudah tidak apa-apa, Bi. Di manapun dan kapan pun aku terus mendoakan Papa. Nanti kalau aku sudah sampai di Surabaya, aku janji akan mengadakan pengajian juga di sana. Jadi, Bibi tidak usah khawatir ya.” “Tapi bagaimana dengan Ibu kalau menanyakan Den Ari? Apa perlu Bibi membangunkan Ibu?” “Jangan, Bi. Kalau Mama tanya, bilang saja aku keluar. Ya sudah, Ari berangkat dulu. Jaga rumah baik-baik ya, Bi,” pamitku sembari mencium tangan Bi Inah. Bi Ina adalah orang yang mengasuhku sejak aku berusia lima tahun. Karena itu dia tahu watakku seperti apa. Sekali aku punya kemauan, maka tidak ada satu pun orang yang bisa menghalangiku. “Kalau begitu, hati-hati di jalan, Den.” “Aku tidak habis pikir, mengapa kamu begitu membenci Mamamu? Padahal dia adalah ibu kandung kamu sendiri,” Samuel mulai membuka topik pembicaraan. “Kalau kamu hanya ingin membicarakan Mama, sebaiknya kamu diam. Aku tidak mau mendengar apapun tentang wanita itu!” Samuel menepikan mobilnya kemudian mematikan mesin. Dia menoleh ke arahku. “Ari, kamu seharusnya bersyukur. Kamu masih punya orang tua yang sayang sama kamu,” mata Samuel begitu tajam menatapku. Tatapan mata elang Samuel yang belum pernah aku lihat. Begitu menusuk. “Sayang katamu? Kamu tidak tahu apa-apa tentang Mama. Dia yang telah membunuh Papa!” aku geram dengan kata-kata Samuel yang sok tahu. Selama ini, aku memang belum pernah menceritakan tentang keluargaku pada Samuel. Itu masa lalu yang tak perlu aku ceritakan pada siapa pun, termasuk pada Samuel. “Membunuh? Begitu piciknya pikiran kamu. Mengapa kamu tega menuduh Mama kamu? Padahal dia begitu menyayangimu.” “Ada apa denganmu, Sam? Semenjak dari rumah sikapmu jadi aneh. Kenapa sekarang kamu tiba-tiba mencampuri masalah keluargaku?” emosiku meletup. “Aku bukannya ikut campur. Aku tidak tega melihat Mamamu bersedih. Apa kamu tidak kasihan?” tatapan Samuel semakin tajam seolah ingin menghujamku dengan anak pisau. Aku heran, apa yang membuat Samuel berubah? “Sam, asal kamu tahu. Mama itu jahat. Mama tidak pernah peduli sama aku dan Papa. Dia lebih mementingkan pekerjaan dibanding keluarganya. Ketika Papa sakit, ke mana Mama? Apa dia peduli? Tidak! Sampai Papa meninggal pun, Mama juga tidak peduli. Buktinya Mama tidak ada di samping Papa. Apa itu yang dinamakan sayang?” “Tapi tetap saja dia itu ibu kandungmu. Ibu yang telah melahirkanmu. Kalaupun Mamamu tidak peduli sama kamu dan Papamu, dia tidak mungkin datang ke pemakaman lalu menemuimu. Dia punya alasan  mengapa berbuat demikian.” “Alasan apa? Pekerjaan? Bisnisnya yang semakin maju? Memang Mama sekarang sudah jadi orang sukses. Wanita karier. Wanita super sibuk. Saking sibuknya sampai-sampai lupa sama keluarganya. Itu kan alasannya?” “ARI!” Aku terkejut. Suara Samuel begitu keras sampai-sampai memekakkan telinga. Tapi, aku tak gentar. Aku tetap bersikukuh dengan pendapatku. Apapun yang diupayakan Samuel supaya aku kasihan pada Mama. Mau membela Mama sampai mati pun, tidak akan berpengaruh terhadapku. “Apa?” tanyaku menantang. “Tega kamu berkata seperti itu pada Mamamu. Aku tidak menyangka ternyata kamu setega itu. Kamu benar-benar sudah kelewatan. Kamu pikir apa yang kamu lakukan sudah benar? Lalu bagaimana dengan kamu sendiri, Ri? Apa kamu juga peduli sama keluargamu? Saat Papamu sakit, apa kamu ada di sampingnya? Di akhir hayatnya pun, apa kamu juga ada di sampingnya? Kamu itu tidak lebih baik dari Mamamu!” Samuel berupaya memadamkan api kebencianku yang telah lama berkobar dalam dadaku. Tapi dia tidak akan pernah berhasil. Justru aku semakin muak. Ingin rasanya aku menyumpal mulut Samuel. Apa yang sudah dilakukan Mama terhadapnya, sampai-sampai Samuel percaya dengan omongan wanita itu? Bahkan, sekarang dia lebih memercayai Mama daripada aku. “Cukup, Sam! Kalau kamu terus membela Mama, sebaiknya aku turun. Aku naik bis saja,” ancamku untuk mengakhiri pertikaian ini. Percuma saja aku marah-marah. Pada akhirnya, Samuel tetap saja membela Mama. Sejenak aku dan Samuel terdiam. Kemudian dia menggeleng. “Jalan atau aku turun sekarang!” sekali lagi aku mengancam dengan memegang daun pintu mobil. Tanpa menoleh ke arahku, Samuel menjalankan kembali mesin mobilnya.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices