
by Titikoma

Antara Cinta Dan Dilema
Sudah satu minggu Marsya tinggal di apartemenku, membuat kami semakin dekat. Baru kali ini aku benar-benar dekat dengan seorang perempuan. Di kantor banyak perempuan cantik. Beberapa di antara mereka mencoba mendekatiku. Sayangnya, aku berusaha menghindar. Alasannya? Aku tidak tertarik pada mereka. Sementara Marsya? Ada yang berbeda dengan perasaanku. Apakah aku mulai ada rasa padanya? Seperti rasa yang dianugerahkan Tuhan terhadap makhluk-Nya yang saling berpasangan? Aku belum yakin. Yang aku tahu saat ini, aku merasa nyaman saat berada di dekat Marsya. Bahkan jauh lebih nyaman dibanding ketika aku bersama Samuel. Marsya mampu membangkitkan api cinta yang seharusnya berkobar pada lakilaki terhadap perempuan. Normal. Tunggu. Benarkah aku tertarik pada Marsya? Ah, sudahlah. Aku mengetuk pintu. Cukup lama menunggu. Aku mengetuk sekali lagi. Tetap tidak ada jawaban. Perasaanku tidak enak. Apa Marsya meninggalkan apartemen? Atau jangan-jangan dia mau bunuh diri lagi? Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku merogoh kantong celana. Syukurlah aku membawa kunci cadangan, lalu kubuka pintu itu. Kudapati Marsya tengah berdiri di pagar balkon. Dia naik ke pagar balkon. Dugaanku benar! Sontak, aku lari ke arah Marsya dan menyambarnya, membuat dia begitu terkejut. Aku yang tak bisa mengendalikan diri ikut terjatuh, membuat Marsya jatuh menindih badanku. Kami berdua sama-sama ambruk di lantai. Waktu seolah berhenti berputar ketika tubuh Marsya menindihku. Wajahnya begitu dekat. Saking dekatnya sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya. Jantungku berdegup sangat cepat. Mungkin juga Marsya merasakan hal yang sama. Cukup lama Marsya menindihku. Aku mulai sesak napas dan tak bisa berbuat apa-apa. Yang kurasakan, denyut jantungku berpacu dengan denyut jantungnya. “Sorry,” kata Marsya sembari bangkit. “Kamu mau bunuh diri lagi, ya?” tanyaku mengurangi ketegangan. “Sembarangan kalau ngomong. Siapa yang mau bunuh diri? Aku masih doyan nasi, tahu!” sergah Marsya. “Lalu kenapa kamu memanjat pagar segala?” “Aku hanya ingin melihat ke bawah. Memang tidak boleh?” “Aku kira kamu mau loncat,” aku meringis sembari garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Hari demi hari berlalu. Hubunganku dengan Marsya semakin dekat. Meski tinggal satu apartemen, tapi tempat tidur kami terpisah. Apartemen ini adalah kado ulang tahun dari Samuel. Ruangannya cukup luas dengan fasilitas yang lengkap. Ada ruang tamu, dapur dan dua kamar tidur lengkap dengan kamar mandi. Selama Marsya tinggal di apartemen, dia yang selalu mempersiapkan segala keperluanku. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, bahkan mencuci pakaian. Aku tidak memintanya melakukan semua itu. Aku sudah memberitahunya bahwa pihak pengelola apartemen sudah menyediakan fasilitas layanan jasa service room untuk membersihkan tiap unit apartemen. Untuk makan, tinggal telepon saja. Nanti ada yang mengantar sendiri. Tapi dasar Marsyanya saja yang tidak mau tinggal diam. Katanya tidak mau menganggur. Aku sudah cukup senang dengan keberadaannya di apartemenku. Marsya, gadis yang selama satu minggu lebih mengisi hari-hariku. Gadis yang membuat hidupku menjadi berwarna. Gadis yang mengubah pandanganku terhadap wanita. Dialah yang mampu menggetarkan hati dan jiwa hingga tumbuh benih-benih rasa yang sulit kupahami. Mungkin ini yang dinamakan cinta. Cinta yang bersumber dari hati. Bukan dari syahwat atau nafsu. Secepat itukah aku mengartikan perasaanku? Ya, aku mulai menyukainya. Karena itulah yang aku rasakan saat ini. Cinta itu telah mengusik batinku. Menembus jantung hatiku. Membuat pikiranku menjadi tak menentu. Aku sempat meragukannya. Apa mungkin yang kurasakan itu adalah wujud kepedulianku pada seseorang wanita. Tapi tidak untuk Marsya. Semakin sering kami bertemu, semakin tumbuh perasaan itu. Aku semakin yakin bahwa mulai mencintainya. Saat aku disibukkan dengan urusan cinta, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang di kantorku. “Samuel?” aku terperangah. “Surprise!” kata Samuel sambil menyunggingkan senyuman. Lalu dia menghampiri dan memelukku. Aku masih belum sadar dari keterkejutanku. “I miss you so much,” katanya lagi sambil mencium pipiku. Samuel melepaskan pelukannya, “Kok bengong? Tidak suka kalau aku pulang?” Samuel melambaikan tangannya di depan mataku. Aku tersadar. “Bukan begitu, mengapa kamu tidak bilang kalau kamu pulang hari ini? Telepon atau SMS dulu kek supaya aku bisa menjemputmu.” “Namanya juga kejutan.” Aku senang Samuel datang, tapi kedatangannya itu di saat yang tidak tepat. “Katanya kamu di Australia dua minggu, kenapa sudah balik?” Samuel menempelkan punggung tangannya di keningku. “Tidak panas.” “Apa, sih?” lirihku geram, lalu menyingkirkan tangannya dari keningku. “Perhatikan kalendernya. Sudah lewat dari dua minggu malah. Waktu di bandara sana, pesawat sempat delay dua jam. Menyebalkan, bukan? padahal aku ingin segera bertemu kamu. Apa kamu tidak kangen?” “Kangen? Tidak sama sekali,” aku menjawab singkat, tetapi terdengar tidak serius. “Sudah dapat selingkuhan?” canda Samuel sambil menatapku manja. Tatapan yang menyimpan hasrat yang terpendam, seolah ingin melakukan sesuatu padaku. “Maybe no maybe yes….” Samuel tertawa ringan. Memang lucu? “Ini aku membawakan oleh-oleh buat kamu,” Samuel menyerahkan kantong belanjaan. “Banyak sekali. Ini semua buat aku?” aku menerima barang-barang dari Samuel yang banyak sekali, sampai-sampai aku tidak bisa membawanya. Ada sekitar sepuluh paper bag ukuran medium. Gila. Ini orang ke Australia dalam rangka pekerjaan atau belanja? “Ya. Semuanya buat kamu, bebas ongkos kirim,” candanya. Aku tertawa. Ada-ada saja ini orang. “Kenapa tidak sekalian kamu borong satu toko?” “Ide bagus. Sayangnya, koperku tidak muat.” Samuel mendekat dan semakin mendekat. Jarak kami hanya beberapa senti saja. Dia menatapku lekat. Aku terhipnotis oleh tatapannya yang membakar birahiku, sehingga aku tak kuasa saat Samuel mulai melakukan serangannya. Hari beranjak malam, aku menghabiskan waktu bersama Samuel. Aku tidak kuasa menolak ajakannya. Malam ini dia ingin menginap di apartemen tetapi aku menolaknya dengan berbagai alasan. Untung saja, Samuel tidak curiga. Bisa gawat kalau sampai dia tahu aku menyembunyikan seorang gadis di apartemenku. Malam itu, Samuel menuntaskan hasrat kerinduannya. Kembali dia mengajakku bercinta. Dan kali ini, justru aku tak bergairah. Entahlah. Semenjak aku mengenal Marsya, rasanya aneh jika aku berhubungan intim dengan Samuel. Nafsu birahiku tak menggebu seperti dulu. “Sorry, Sam. Aku sudah membuatmu kecewa. Aku merasa capek. Seharian ini, kita sudah menghabiskan waktu bersama. Jalan-jalan keliling kota, shopping. Sekarang perutku sakit gara-gara kebanyakan makan,” ujarku setelah selesai dari kamar mandi dan kembali ke ranjang. Dari tadi aku memang bolak-balik ke kamar mandi. Aku pura-pura sakit perut dan itu satu-satunya cara supaya aku bisa lepas dari gejolak nafsunya yang telah membara. “Tidak apa-apa, Sayang. Asal kamu selalu ada di sampingku, aku bisa mengerti,” kata Samuel. Aku tahu Samuel berkata seperti itu untuk menutupi kekecewaannya. Samuel membelai rambutku sembari mengucapkan kata-kata cinta padaku. Kemudian dia hendak mengecup keningku. Tapi aku berusaha menghindar dengan mengalihkan pembicaraan tentang proyek di Australia. Beruntung Samuel tidak tersinggung. Kali ini aku merasa jijik diperlakukan seperti itu. Aku berusaha untuk menghindar, melakukan sesuatu supaya Samuel gagal mengecup keningku. Ada perasaan yang mengganjal ketika Samuel bersikap romantis padaku. Entahlah. “Beribu kali aku mengatakan cinta padamu, bahkan lebih. Tapi aku tidak pernah mendengar kata cinta dari bibirmu. Apa kamu juga cinta aku?” tanya Samuel. Cinta? Aku mendengus. Haruskah aku menjawab pertanyaannya? Apakah aku juga mencintai Samuel? Mungkin saja. Tapi cinta yang bagaimana? Aku ragu dengan perasaanku. Apakah perasaanku padanya selama ini bisa disebut cinta? Aku memang sayang padanya. Dan aku benar-benar tulus. Tapi kalau aku ditanya seperti itu, aku menjadi dilema. Apakah aku mencintai Samuel? Pertanyaan yang sulit kujawab. Perasaanku padanya seperti warna gray, yang tidak hitam juga tidak putih, dan itulah cintaku. Ya, gray. Seolah warna itu yang mewarnai seluruh perasaan dalam hatiku. Ada cinta yang tidak bisa aku ungkapkan dan ada cinta yang justru membuat hatiku menjadi bimbang. Lalu, cinta macam apa kalau di antara sesama laki-laki memiliki hubungan khusus? “Perlu aku jawab?” Samuel mengangguk. “Aku sayang kamu. Kamu begitu berarti dalam hidupku.” Mata Samuel berkaca-kaca. Lalu dia memelukku erat. “Thanks.” Suara nada dering ponselku cukup nyaring hingga membuatku terjaga. Kulihat di layar ponsel, tertera nomor dari apartemenku. Marsya? Kulirik Samuel. Dia masih tertidur. Syukurlah. Kemudian aku menuju kamar mandi untuk mengangkat telepon. “Halo,” tegurku pelan. “Kamu di mana? Semalam kenapa tidak pulang? Aku khawatir terjadi apaapa,” Marsya menyahut dari seberang sana. “Aku di kantor. Semalam aku lembur. Maaf, aku lupa mengabarimu,” aku terpaksa berbohong pada Marsya. “Ya sudah tidak apa-apa. Nanti pulang jam berapa?” “Jam makan siang aku usahakan pulang,” aku lalu mematikan telepon. Takut ketahuan. Setelah menerima telepon dari Marsya, aku membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati supaya tidak bersuara. Syukurlah, Samuel masih terlelap dalam tidurnya. Aku menghela napas lega. Aku harus balik ke apartemen sekarang. Marsya pasti menungguku. Dengan berat hati, kutinggalkan Samuel. Aku merasa bersalah pada Marsya karena membuatnya khawatir. Sementara, aku malah enak-enakan bermalam bersama Samuel. Ada apa denganku? Pada saat bersama Marsya, dalam sekejap aku bisa melupakan Samuel. Tetapi, ketika aku bertemu kembali dengan Samuel, aku lupa diri dan tidak memikirkan Marsya sama sekali. Beberapa pertanyaan pun menggelayut di benakku. Apa yang terjadi denganku? Apakah aku mencintai keduanya? Sehingga aku tidak bisa mengambil sikap untuk memilih. Mengapa aku tidak konsisten? Saat aku sudah mulai dekat dengan Marsya, aku punya keinginan untuk berubah. Aku ingin hidup normal. Mencintai dan dicintai wanita. Tetapi, aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. “Sandy?” Marsya menyambutku hangat ketika aku tengah berada di depan pintu. “Katanya pulang pas jam makan siang? Aku belum menyiapkan makanan buat kamu.” Entah kenapa saat aku melihat Marsya, hasratku terdorong untuk memeluknya. Tanpa sadar, mataku mulai berkaca-kaca. “Maaf karena aku sudah membuatmu khawatir. Pasti kamu menungguku semalaman?” “Tidak usah dipikirkan. Aku tidak apa-apa,” Marsya melepaskan pelukanku. Dia menatapku. Dia melihat air mataku terjatuh lalu mengusapnya. “Kenapa kamu menangis?” tanyanya bingung melihatku menitikkan air mata. “Sya....” aku menyentuh kedua pipi Marsya yang halus dan terawat. “Ada sesuatu yang harus kamu tahu. Sebenarnya aku....” entah mengapa suaraku tertahan di tenggorokan. Sulit sekali untuk mengatakan bahwa aku sayang padanya. Sementara Marsya masih menungguku berbicara. “Sya, aku....” tiba-tiba bayangan Samuel hadir di pikiranku. Aku tidak menyangka mengapa aku teringat Samuel. Teringat saat-saat aku bersamanya. Sial. “Iya. Ada apa?” Marsya angkat bicara. Aku langsung memeluknya lagi. Mataku sudah tak mampu menahan bulir-bulir air mata yang kembali menetes. Marsya melongo karena aku menangis lagi tanpa menjawab pertanyaannya. Marsya kemudian mengusap air mataku lagi. Dia tampak kebingungan dengan sikapku saat ini. “Tidak apa-apa,” kilahku. Aku menyunggingkan senyuman untuk menghindari pertanyaanpertanyaan lain dari Marsya. Aku tidak mau dia semakin bingung dengan sikapku. Sebenarnya aku ingin mengatakan pada Marsya kalau aku mencintainya. Ah, sudahlah. Mungkin belum saatnya untuk mengatakannya. Marsya lalu mengajakku masuk ke dalam. “Kamu duduk saja di sini, aku akan memasakkan makanan spesial buat kamu,” Marsya mendorongku untuk duduk di sofa. Tetapi aku tidak bisa diam saja. “Mau aku bantu?” “Memang kamu bisa masak?” “Bisa, dong.” “Masak apa, coba?” “Masak air,” candaku. “Ah kamu. Ya sudah, ayo kita ke dapur.” Sadar atau tidak, Marsya menyeretku dengan menggandeng lenganku menuju dapur. Aku benar-benar dilema dengan perasaanku sendiri. Aku tidak pernah membayangkan akan seperti ini. Berjumpa dengan Samuel, kemudian menjalin hubungan yang tidak wajar. Setelah itu, aku berjumpa dengan gadis yang hampir saja mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri, kemudian aku menyelamatkannya. Lalu, sekarang aku memiliki perasaan padanya. Aku mulai tertarik pada sosok yang namanya ‘WANITA’. Bahkan, aku sampai jatuh cinta. Dialah Marsya, gadis yang mampu merontokkan kebencianku pada wanita. Ah, aku tidak yakin yang kurasakan ini benar-benar cinta. Apa benar aku mencintai Marsya? Apakah perasaan ini hanya sesaat saja? Bagaimana dengan perasaanku pada Samuel? Bukankah aku juga sayang padanya? Lalu apa bedanya sayang dengan cinta? Aku sayang pada Samuel tetapi aku juga sayang pada Marsya dan aku mencintainya, meskipun aku belum tahu pasti apakah marsya juga mencintaiku. Aku bingung harus bagaimana. Haruskah aku memilih antara Samuel atau Marsya? Rasanya sulit bagiku memilih di antara keduanya. Samuel, orang yang paling berjasa dalam hidupku. Orang yang banyak menolongku tanpa pamrih. Orang yang sangat baik yang menerima aku apa adanya. Sementara, Marsya yang mencoba mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri, tapi dia justru membuatku jatuh cinta. Hingga mengubah cara pandangku terhadap wanita dan menyadarkanku apa itu mencinta dan dicinta. Kedua-duanya sama-sama berarti dalam hidupku. Tidak. Untuk sementara ini aku tidak bisa memilih. Aku jalani saja apa adanya. Ya. Aku harus menjalani ini semua.