
by Titikoma

Gadis Misterius
Besok paginya, aku mengantar Samuel ke bandara. “Take care, ya. Kalau sudah sampai di sana jangan lupa telepon aku,” kataku pada Samuel sebelum check in. “Kamu juga. Jaga diri baik-baik,” balas Samuel. Kami pun berpisah. Kupandangi punggung Samuel sampai lenyap dari pandangan. Selama dua minggu aku harus menjalani aktivitas tanpa didampingi Samuel. Lumayan lama dan pastinya aku akan merindukannya. Merindukan saat-saat bersamanya. Hubunganku dengan Samuel bukan hanya sebagai teman dekat, tapi lebih dari itu. Kami seperti sepasang kekasih. Terdengar aneh, memang. Seorang laki-laki menjalin hubungan khusus dengan laki-laki? Samuel mencintaiku, tapi bagaimana perasaanku terhadapnya? Entahlah, apakah aku juga mencintai Samuel? Aku tak bisa mengatakannya. Rasanya sulit bagiku mengartikan perasaan ini. Berbicara mengenai cinta, menurutku cinta itu tidak masuk akal. Deskripsi mengenai cinta itu luas pengertiannya. Cinta yang berlebihan disebut cinta buta. Cinta karena fisik adalah nafsu. Cinta karena hati adalah cinta suci. Cinta antara laki-laki dan perempuan adalah cinta putih. Tapi cinta sesama jenis disebut apa? Bahkan aku yang mengalami sendiri pun tidak tahu. Apakah rasaku pada Samuel juga disebut cinta? Ataukah hanya perasaanku saja? Ya, aku sayang padanya. Aku merasa nyaman bila di dekatnya. Aku merasa rindu bila jauh darinya dan aku penuh nafsu bila berada di sampingnya. Jika aku berhubungan badan dengannya, aku seperti berkaca pada diriku sendiri. Aku seorang lelaki bercinta dengan sesama lelaki? Papa dan Mama bercinta karena cinta, hingga lahir buah cinta mereka yaitu aku. Sementara aku dan Samuel bercinta lalu melahirkan apa? Hatiku seolah berwarna kelabu, yang tidak hitam juga tidak putih. Aku selalu seperti ini saat sedang sendiri. Pemikiran-pemikiran yang keluar dari otakku menimbulkan dilema tak berujung. Samuel memang luar biasa. Di usianya yang terbilang muda, dia mewarisi semua bisnis keluarganya, seperti di bidang property warisan almarhum papanya dan retail, warisan mamanya. Dengan kemampuan yang dia miliki, Samuel mampu membangun kerajaan bisnisnya. Dia membuka bisnis restoran yang sudah berjalan selama dua tahun dan otomotif yang baru berjalan satu tahun. Baginya apa yang bisa menghasilkan uang, akan dia lakukan. Itulah bisnis. Aku salut pada Samuel. Dia masih muda tetapi bisa mengurus semua perusahaan-perusahaannya. Sudah dua hari Samuel di Australia. Aku merasa kesepian. Di rumah tidak ada orang lain selain aku dan asisten rumah tangga. Itu pun kerjanya hanya pagi sampai sore. Malamnya pulang karena sudah berkeluarga. Menyebalkan! Hari ini aku tidak masuk ke kantor. Seharian hanya tinggal di rumah. Tetapi, lama kelamaan aku merasa bosan. Lantas kuputuskan untuk ke Pantai Kenjeran. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu. Pasti ramai sekali di sana. Di tengah perjalanan, ponselku berdering. Kutepikan mobil sebentar, lalu memasang headset bluetooth dan mengangkat telepon sambil menjalankan kembali mobil. “Halo, siapa?” tanyaku sembari tetap konsentrasi pada menyetir. “Lupa sama aku?” Dari suaranya, aku langsung bisa mengenali. “Samuel? Maaf, aku tidak tahu kalau kamu yang menelepon. Aku sedang menyetir,” aku menjelaskan. “Mau ke mana?” “Cari selingkuhan,” selorohku. Kudengar Samuel tertawa. “Kenapa tertawa. Tidak cemburu?” “No,” Samuel menjawab singkat. “Why?” “Apa yang dicemburuin dari kamu. Muka saja pas-pasan.” “Sialan. Memang aku sejelek itu apa?” “Just kidding. Ya sudah, selamat bersenang-senang,” telepon lalu terputus. Dia selalu bisa membuatku tersenyum. Aku tidak tahu hidupku akan jadi apa kalau tanpa Samuel. Samuel. Sosok seperti dia yang aku butuhkan saat ini. Orangnya baik, pengertian, dan bisa membuatku merasa nyaman bila di dekatnya. Aku jadi teringat ketika pertama kali saat bertemu dengannya beberapa tahun silam. Malam itu aku baru sampai di Surabaya setelah melakukan perjalanan dari Blitar-Surabaya. Aku tidak bawa apa-apa dari rumah karena dari awal niatku hanya satu, pergi jauh-jauh dari rumah. Malam semakin gelap. Aku tidak tahu harus ke mana. Aku tidak punya sanak-saudara di Surabaya. Tiba-tiba hujan turun. Ada sebuah pohon besar di pinggir jalan lalu aku berteduh di bawah pohon tersebut. Hujan semakin deras disertai petir yang menyambar-nyambar. Aku menggigil kedinginan. Beruntung sebuah mobil berhenti di depanku. Sang pemilik mobil lantas keluar. “Mas, tinggal di mana? Jam segini sudah tidak ada kendaraan umum yang lewat. Sebaiknya Mas ikut aku saja. Nanti aku antar ke rumah,” sang pemilik mobil menawariku bantuan. “Rumahku di Blitar. Aku ke Surabaya karena aku kabur dari rumah. Sekarang aku tidak tahu harus ke mana,” kataku sambil menggigil. “Ya sudah, Mas boleh ikut aku. Untuk sementara Mas tinggal di rumahku saja. Ayo masuk ke dalam mobilku.” Aku lalu masuk ke dalam mobilnya tanpa berpikir panjang. Kemudian ia bertanya, “Namanya siapa?” “Ari.” “Aku Samuel.” Itulah awal pertemuanku dengan Samuel. Dialah yang telah menolongku malam itu. Lalu aku dibawa ke rumahnya. Diberi pakaian dan tempat tinggal. Hingga seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat dan saling mengenal karakter masing-masing. Samuel sangat baik padaku. Dia mengerti aku. Dia percaya padaku. Sampai-sampai aku diberi pekerjaan di perusahaannya. Awalnya sebagai staf biasa, kemudian naik jabatan hingga aku dipercaya menjadi direktur utama di salah satu perusahaannya. Kebaikan yang dia berikan padaku, ketulusannya, perhatiannya menumbuhkan sebuah rasa di hatiku. Sehingga membuatku terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Ya, rasa yang membuat jantungku berdesir saat di dekatnya. Rasa yang mengikat hatiku dengan hatinya. Aneh memang. Sebagai sesama laki-laki, seharusnya perasaan itu tidak pernah ada. Bukankah manusia itu ada jenisnya, laki-laki dan perempuan? Dan perasaan itu timbul karena adanya hasrat antara dua makhluk yang berbeda jenis? Dan perasaan itu adalah cinta. Sementara perasaanku, apakah juga dinamakan cinta? Kadang aku lelah jika menginterpretasikan hatiku sendiri. Berkali-kali aku beragumentasi pada diriku, berkali-kali pula aku mengalami kesulitan dalam menguatkan hal itu. Aku menggelengkan kepala. Mengapa pikiranku melebar ke mana-mana? Padahal tadinya aku hanya mengingat kali pertama aku mengenal Samuel dan bukan memikirkan soal cinta. Untuk saat ini, aku hanya bisa menjalani apa yang ada sekarang. Lalu, kufokuskan lagi pikiranku pada menyetir. Mendadak, aku dikejutkan oleh seorang gadis yang tiba-tiba menyeberang jalan tanpa memperhatikan lalu lalang kendaraan. Jarak laju mobilku dengan gadis itu cukup dekat. Kuinjak pedal rem secara mendadak. Beruntung, gadis itu tidak apa-apa. Dia hanya berdiri mematung sambil memandang mobilku. Aku langsung turun dari mobil dan menghampiri gadis itu. “Hati-hati kalau mau menyeberang. Kalau kamu tertabrak bagaimana?” emosiku meluap. Gadis itu menoleh dengan tatapan kosong. Lalu berjalan kembali menelusuri kegelapan malam. Apa gadis itu sudah gila? Ditanya malah diam saja. Atau jangan-jangan... Bulu kudukku langsung merinding. Aku masuk ke mobil dan langsung tancap gas. Aku kepikiran gadis yang hampir aku tabrak tadi. Siapa gadis itu? Dia hampir mati tertabrak, tapi dia tidak bereaksi apa-apa. Tatapannya juga kosong. Apa jangan-jangan dia? Aku begidik. Tengkukku kembali merinding. Tak lama kemudian, sampai juga aku di Pantai Kenjeran. Bayang-bayang gadis tadi akhirnya pupus digantikan pemandangan Pantai Kenjeran yang sangat indah di keremangan malam. Kubuka pintu mobil, hembusan angin laut langsung terasa di kulit. Segar. Aku keluar kemudian duduk di atas kap mobil. Kulihat jam tanganku sudah pukul setengah sepuluh. Tapi pengunjung masih memadati bibir pantai. Makin malam makin ramai. Kuedarkan pandangan. Banyak pasangan muda-mudi berseliweran. Bahkan ada juga pasangan yang sudah lanjut usia dengan seorang pemuda. Aku meringis. Membayangkan apa yang akan mereka lakukan. Pasti setelah ini mereka akan mencari hotel, kemudian check in. Kalau ada Samuel di sini pasti seru. Bercengkerama bersama, bercanda, saling meledek satu sama lain. Aku merindukan Samuel. Padahal baru dua hari kita tidak bertemu. Ah, hanya dua minggu di Australia. Batinku menghibur diri. Entah mengapa selalu seperti ini perasaanku pada Samuel. Kadang aku merasa bosan dengannya, kadang merindukannya, kadang aku sayang, kadang bernafsu, tak tentu. Aku tidak bisa mengartikan perasaanku sendiri. Ketika aku sendiri terus berpikir dan berpikir, aku merasa bingung, mengapa aku menjadi seperti ini. Menjalin hubungan yang tidak lazim dengan sesama laki-laki. Padahal dulu aku tidak seperti ini. Kuambil laptop di dalam mobil. Setelah itu mencari tempat yang nyaman untuk menulis. Ya, menulis. Akhir-akhir ini aku mengisi waktu luang dengan menulis. Sebenarnya, sudah sejak lama aku suka menulis. Dimulai dari SMA. Aku sering mengisi mading sekolah. Lalu beranjak masuk kuliah, aku iseng mengirim tulisanku ke media lokal dan diterima. Tetapi semenjak terjadi konflik di rumah, rutinitas itu terhenti. Gara-gara terlalu asyik menulis, tanpa kusadari Pantai Kenjeran sudah sepi. Kulihat sekeliling, tak ada satupun pengunjung yang lalu lalang di pantai. Tinggallah aku sendiri. Jam di ponsel telah menunjukkan pukul setengah dua belas. Aku menerawang ke atas, menembus awan. Langit tampak temaram, bulan yang tinggal separuh bersinar redup. Bintang-bintang berkelapkelip didampingi deburan ombak, menjadikan suasana malam begitu romantis. Malam yang seperti ini yang ditunggu-tunggu para insan yang merajut kasih. Tetapi tak seperti diriku. Duduk sendiri dalam kehampaan. Merenungi nasib yang entah kapan akan berakhir bahagia. Walau sekarang aku telah menemukan seseorang yang telah merubah hidupku menjadi lebih baik dan membuat diriku menjadi berarti, tetapi itu belum cukup. Setelah sekian lama kujalani hidup bersamanya, aku mulai meragukan diriku. Apakah jalan yang kupilih ini dapat membuatku bahagia? Ah, lagi-lagi aku berpikiran yang tidak-tidak. Kasihan Samuel kalau aku berpikir tidak memperoleh kebahagiaan bersamanya. Dia mencintaiku. Dia sayang padaku. Dia juga memberiku segalanya. Bukankah itu lebih dari cukup? Meski terdengar aneh. Aku yang laki-laki dicintai oleh seorang laki-laki? Aku tak lagi menatap langit. Pandanganku sekarang kualihkan pada laut. Sekilas, aku menangkap sosok seorang gadis dari kejauhan. Kupikir hanya ilusiku saja. Karena dia berjalan menuju laut. Terus berjalan hingga tubuhnya mulai tergenangi air. Jangan-jangan dia mau bunuh diri? Tidak. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Naluri kemanusiaanku tumbuh. Aku harus menyelamatkannya. Tanpa berpikir panjang, aku lari secepat mungkin menuju laut dan menceburkan diri ke dalam air untuk meraih gadis itu. Dia hampir saja tenggelam. Beruntung aku bisa menyelamatkannya. Kugendong tubuhnya yang basah kuyup menuju bibir pantai. Dia tak sadarkan diri. Kuperiksa denyut nadinya. Masih berdenyut. Syukurlah dia masih hidup. Tetapi aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tidak ada satu pun orang di pantai yang bisa kumintai bantuan. “Aduh, bagaimana ini?” gumamku cemas sambil mondar-mandir. Aku tiba-tiba teringat acara di televisi tentang bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Langkah-langkah yang harus dilakukan saat menyelamatkan seseorang yang tenggelam adalah, pertama, menekan-nekan perutnya supaya air yang tertelan bisa keluar. Kedua, memberikan napas buatan. Kulakukan langkah pertama. Menekan-nekan perutnya lalu memberi napas buatan. Tetapi, dia belum sadar. Kuulangi lagi langkah pertama dan kedua. Masih tetap sama. Kuulangi sekali lagi dan akhirnya dia bereaksi. Air yang tertelan keluar. Dia tersadar. Mata gadis itu perlahan-lahan terbuka. Sesaat dia memandangku. Kemudian pingsan lagi. Ya ampun! Malam semakin larut, tidak mungkin aku berlama-lama di pantai menunggu gadis itu tersadar. Hawa dingin mulai menyerang. Aku lalu menggendong tubuhnya menuju mobil untuk membawanya ke apartemen. Sesampainya di apartemen, kubawa gadis itu ke kamar. Pakaiannya basah. Aku harus bagaimana? Mana mungkin aku melepaskan seluruh pakaiannya? Tetapi kalau kubiarkan, gadis ini akan sakit. Aku mondar-mandir. Berpikir dan berpikir. Ah, sudahlah. Aku harus mengganti pakaiannya apapun resikonya. Keselamatan gadis ini lebih penting. Akhirnya, aku pun melucuti pakaiannya yang basah dengan menutup mata. Lalu menggantinya dengan piyamaku. Selesai. Aku bernapas lega. Selang beberapa menit kemudian, kuperhatikan gadis itu. “Lho, ini kan gadis yang nyaris tertabrak tadi?” gumamku. Aku duduk di tepi ranjang, memandanginya lekat-lekat. Cantik. Rambutnya panjang, hitam dan lurus. Bibirnya tipis. Sempat aku terpesona dengan kecantikannya hingga membuatku melupakan kebencian terhadap seorang wanita yang tertanam di hatiku. Tetapi, aku segera sadar, tidak mungkin aku suka pada wanita, karena bagiku wanita itu sama saja. Hanya membuat sakit hati. Aku terus memandangi gadis itu. Sepertinya dia bukan gadis sembarangan. Wajahnya bersih terawat. Kulitnya mulus. Lalu apa yang membuatnya nekat bunuh diri? Tanganku secara spontan menyentuh pipinya. Kulit wajahnya halus sekali. Hatiku bergetar. Inikah perasaan laki-laki saat bersentuhan dengan perempuan? Masihkah aku disebut laki-laki normal? Sementara ketika aku bersentuhan dengan sesama laki-laki, nafsuku malah membara. Pertanyaan itu berputar-putar dalam benakku. Aku kaget saat gadis itu tiba-tiba terbangun. Sontak saja kutarik tanganku dari pipinya. “Kamu mau apa?” gadis itu langsung menyerang sambil menjauhkan tubuhnya dariku. Dia tampak terkejut ketika membuka selimutnya dan mendapati dirinya sudah tidak mengenakan pakaiannya lagi. “Apa yang sudah kamu lakukan? Mana pakaianku?” gadis itu melontarkan pertanyaan lagi yang membuatku geram. Aku bisa memaklumi. Dia pasti kaget melihat dirinya di dalam kamar seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. “Tunggu dulu, Nona. Jangan salah paham. Aku tidak berbuat macammacam. Aku hanya mengganti pakaianmu yang basah dengan piyamaku. Tapi sungguh, aku tidak melihat apa-apa,” terangku sembari bangkit dari tempat duduk. “Bohong!” “Aku berani bersumpah atas nama Tuhan. Lagi pula aku tidak suka sama ce….” aku langsung menutup mulut dengan tangan. Hampir saja keceplosan. “Maksudku, aku masih punya hati nurani. Jadi, tidak mungkin berbuat macam-macam pada gadis yang tidak berdaya seperti kamu.” “Aku tetap tidak percaya! Pasti kamu mencari kesempatan dalam kesempitan. Jangan-jangan kamu sudah menyentuhku di saat aku tidak sadarkan diri, ngaku!” Gadis itu masih bersikeras dengan muka bersungut. Gigi gerahamku mengatup keras. Kesal dituduh terus-menerus. “Apakah wajahku ini seperti wajah orang mesum? Dasar gadis aneh. Sudahlah, terserah kamu mau ngomong apa. Yang penting aku tidak seperti yang kamu tuduhkan. Kamu tadi hampir saja mati tenggelam. Karena kamu pingsan, aku membawamu ke apartemenku lalu mengganti pakaianmu yang basah supaya kamu tidak sakit. That’s it!” giliranku yang naik pitam. “Sekarang aku mau bertanya. Mengapa kamu ingin bunuh diri? Apa kamu sudah bosan hidup?” “Bukan urusan kamu. Lagi pula, kenapa kamu menyelamatkanku?” jawabnya sinis sembari membuang muka. Gigi gerahamku kembali mengatup. Gadis itu makin lama makin menyebalkan. Sudah ditolong bukannya berterima kasih malah marahmarah. Tahu begini, kubiarkan saja dia mati tenggelam. “Dasar gadis stres. Ditolong bukannya berterima kasih malah menuduhku yang bukan-bukan. Kamu beruntung aku selamatkan. Kalau tidak, mungkin sekarang kamu sudah mati dimakan hiu!” tukasku kesal. “Ya sudah, aku mau tidur. Kalau kamu lapar atau apa, di kulkas banyak makanan. Ambil saja. Selamat malam,” tambahku sambil berlalu keluar. Aku keluar kamar sambil membanting pintu. Lalu kuhempaskan tubuhku di sofa. Aku masih kesal dengan sikap gadis itu. Bagaimana tidak, sikapnya sangat menjengkelkan. Aku menyesal, Kenapa aku tadi menyelamatkan dia dan membawanya ke apartemen? Kenapa aku tidak membawanya ke rumah sakit saja biar dokter yang merawatnya. “Kenapa aku malah memikirkan gadis itu terus?” gerutuku sambil gelenggeleng kepala. Suara alarm yang cukup keras dari ponsel membuatku terjaga. Ada yang janggal. Tubuhku terasa hangat. Ketika bangkit dan menyentuh kain tebal, aku baru sadar bahwa rasa hangat itu efek dari selimut tebal yang membungkus tubuhku. Selimut? Seingatku, setelah keluar kamar, aku pergi ke ruang tamu. Mengerjakan berkas-berkas kantor hingga ketiduran. Apa jangan-jangan gadis itu.... Ah, sudahlah. Pasti dia yang melakukannya. Aku tersenyum tipis. Di balik sikapnya yang menyebalkan, ternyata dia baik juga. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Aku harus ke kantor. Pagi ini, ada rapat dengan dewan direksi. Aku bergegas ke kamar mandi. Setelah mandi, aku menuju ke kamar untuk mengambil pakaianku. Aku mengetuk pintu. “Gadis stres, sudah bangun belum? Aku mau masuk.” Sepi. Aku mengetuk pintu lagi. Tetap tidak ada suara yang menyahut. Apa gadis itu masih tidur? Aku mengetuk sekali lagi. Jika tidak ada jawaban, aku akan langsung masuk. Gadis itu tidak menjawab juga. Ah, mengapa aku harus minta izin masuk pada gadis itu. Ini kamarku. Jadi aku berhak keluar-masuk. Aku menekan handle pintu lalu mendorongnya. Dugaanku benar. Gadis itu masih tidur. Syukurlah. Aku tidak akan mengganggunya. Kalau dia terbangun, malah membuatku kesal. Aku hanya ingin mengambil pakaian lalu berangkat ke kantor. Setelah berganti pakaian di kamar sebelah, aku kembali ke kamarku untuk memeriksa keadaan gadis itu. Masih tidur. Aku mendekatinya. Membawakan selimut yang tadi kupakai lalu melakukan hal yang sama seperti yang dia dilakukan padaku semalam. Aku baru sadar kalau wajah gadis itu pucat. Kutempelkan punggung tangan pada keningnya. Astaga, dia demam. Bagaimana ini? Walapun dia sudah membuatku kesal, tapi tetap saja, aku tidak mungkin meninggalkannya dalan kondisi sakit. Aku buru-buru menghubungi sekretarisku untuk memintanya membatalkan rapat pagi ini dan menunda semua agenda lain. Hari ini aku tidak jadi ke kantor. Sembari menunggu gadis ini bangun, aku membuat bubur sumsum untuknya. “Gadis stres, ayo bangun. Ini aku buatkan bubur. Makan dulu.” Gadis itu terbangun. Aku membantunya bersandar ke dinding. Dia menatapku. Aku mengalihkan pandangan dengan pura-pura mengaduk bubur. Entah mengapa aku merasa canggung saat bersitatap dengannya. Telah terjadi sesuatu dengan diriku. Ah, mengapa aku menjadi salah tingkah? Ari, kamu harus tenang. Kendalikan dirimu. Oke. Jangan terlihat gugup dihadapan gadis ini. Sesekali aku mencuri pandang. Sial. Dia terus menatapku. Kualihkan perhatianku dengan mengaduk kembali buburnya. Aku mengambil satu sendok kemudian meniup-niup bubur supaya cepat dingin. Ini salah satu cara untuk mengendalikan diriku yang sudah mengeluarkan keringat dingin. “Boleh aku meminjam bahumu?” pinta gadis itu tiba-tiba. Sesaat aku melongo. Ha? Meminjam bahuku. Untuk apa? “Bo-boleh,” kataku tergagap. Dengan satu gerakan, gadis itu memelukku sambil menangis. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku seolah membeku seketika. Tanpa sadar, tanganku melingkar di tubuhnya. “Kenapa kamu menangis?” tanyaku lagi sambil mengusap-usap punggungnya. “Maafkan aku. Aku telah bersikap kasar padamu. Aku pikir sudah tidak ada lagi orang yang peduli padaku. Sementara kamu? Meski aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan, tapi kamu tetap baik.” “Aku sudah memaafkanmu,” aku menarik tubuhku dari pelukannya. “Sekarang hapus air matamu. Lalu makan bubur ini mumpung masih hangat. Setelah itu minum obat,” aku mengambil sesendok bubur lalu menyuapinya. Dia menatapku, lalu tersenyum tipis. Berbeda sekali dengan sebelumnya. Senyumnya manis. Ada lesung pipi di wajahnya. Aku menyuapi gadis itu. Entah kenapa hatiku bergetar. Jantungku berdegub semakin kencang. Akhirnya, setelah dua hari, keadaaan gadis itu sudah membaik. Dia sudah bisa beranjak dari tempat tidur. Selesai mandi, kulihat dia tidak ada di kamarnya. “Pagi, Pak,” tegur gadis itu ketika aku berjalan ke arah dapur. Aku terkejut. Gadis itu memasak? “Jangan panggil aku ‘Pak’. Aku masih muda,” candaku. Aku tahu mengapa dia memangggilku dengan sebutan ‘Pak’. Kemarin sekretarisku datang ke apartemen untuk menyerahkan berkas-berkas kantor. Kemungkinan dia mendengar percakapan kami. “Lalu aku harus memanggilmu apa? Sudah dua hari aku di sini tapi aku tidak tahu siapa namamu.” “Sandiago. Tapi cukup panggil aku Sandy.” “Ya, Pak… eh, Sandy.” “Kalau kamu?” “Marsya.” “Nama yang bagus,” pujiku sembari mendekati Marsya yang masih sibuk dengan masakannya. Dia menarik kedua ujung bibirnya ke samping membentuk senyuman. “Masak apa?” tanyaku. “Sayur lodeh,” jawab Marsya sambil mengaduk sayur lodeh yang sudah mendidih. “Lodeh? Aku suka sayur lodeh.” “Oh ya? Kebetulan sekali. Selera kita sama.” Setelah masakannya selesai, Marsya hendak mengangkatnya ke meja makan. Bersamaan itu, aku juga hendak membantu mengangkat mangkok tersebut. Tanpa sengaja, tangan kami bersentuhan. Kami saling memandang. Lagi-lagi jantungku berdegup kencang. Sesaat, kami terdiam lalu saling membalas senyum. “Biar aku saja,” tawarku tanpa lepas dari pandangannya. Marsya mempersilakannya. Aku lalu membawanya ke meja makan. Selang beberapa menit, kami sudah berada di meja makan untuk bersiap menyantap masakan Marsya. “Kita seperti pasangan suami istri, ya?” kataku di sela-sela makan. Sengaja aku berkata seperti itu untuk memancing reaksi Marsya. Aku ingin tahu apa tanggapannya. Marsya tersenyum tipis. “Tapi bagaimana dengan pacar kamu, apa dia tidak cemburu jika melihat kita berdua?” Makanan yang baru saja masuk ke mulutku seolah tertahan begitu saja sehingga membuatku tersedak. “Kamu tidak apa-apa, San? Ini minum dulu,” Marsya menyodorkan minuman. Aku meraih minuman itu lalu meminumnya. Sejenak aku menarik napas, lalu membuangnya. “Tadi kamu bilang apa? Cemburu? Siapa pacarku?” ucapku sembari meletakkan gelas ke meja. “Iya pacar kamu,” ulang Marsya. Pacar? Siapa pacarku? Aku bertanya pada diriku sendiri. Apakah Samuel? Bukankah dia orang yang paling dekat denganku. Orang yang mencintai aku apa adanya? Orang yang sering mengajakku bercinta? Bagaimana mungkin dia? Sementara kami sama-sama laki-laki. Apakah itu wajar bila dia disebut pacar? Dan tentu saja aku tidak mengatakannya. Meskipun pada kenyataannya Samuel adalah pasanganku. “Cemburu katamu?” aku tertawa renyah. “Belum punya pacar?” “Menurutmu?” aku menggantungkan pertanyaan. Marsya hanya mengangkat alis sembari menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.