kepingan hati alisa
Kepingan Hati Alisa

Kepingan Hati Alisa

Reads
106
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Firasat Hati

Di sebuah rumah sederhana, seorang wanita paruh baya berkerudung hitam, berbincang agak keras dengan putrinya yang sudah menjadi seorang istri sekaligus ibu. “Dia jodoh yang sudah menemanimu selama lebih dari lima tahun ini, Alisa!” tegas Ibu pada Alisa yang membuat Alisa sempat ragu mau menjawab apa. “Tapi dia egois, Bu. Dia tidak pernah memprioritaskan Alisa. A-alisa mau pisah darinya, Bu!” jawab Alisa sambil terbata dan menunduk, sedari tadi mencoba menahan air matanya yang menggenang. “Maksudnya, kamu mau minta cerai dengan Taufik hanya gara-gara dia menyuruhmu berhenti bekerja? Ibu pikir, bukan dia yang egois, tapi ....” “Tapi apa? Ibu mau menyalahkan Alisa? Ibu selalu membela Mas Taufik yang sudah jelas-jelas tidak pernah mau membahagiakan Alisa, anak Ibu sendiri!” Alisa terpaksa bernada tinggi untuk mengimbangi Ibunya, akhirnya bulir bening di sudut matanya tumpah juga. Setahu Alisa, selama ini Ibunya selalu membela dan menyayangi Taufik, betul-betul menganggap Taufik seperti anak kandung sendiri. Padahal Alisa tahu laki-laki itu bersikap biasa saja pada Ibu, bahkan kadang seperti menganggap orang lain, bukan mertua. Ibu selalu bilang pada Alisa, bahwa suami harus dihormati. Karena kedudukannya sangat tinggi. “Maafkan Ibu, Alisa. Ibu tidak ingin melihatmu menangis. Sejujurnya Ibu sedih sekali melihatmu begini, tapi sepahit apapun keadaan, kamu harus tetap berpikir jernih. Kamu ingat kan Sabda Rasulullah, yang bunyinya seperti ini, ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya’, Kamu ingat hadits itu kan, Alisa? Betapa tinggi kedudukan suami, Nak. Jangan kamu durhaka padanya.” Ibu menasihati sambil menyeka air mata putri satu-satunya itu. Ya, perempuan tegar bernama lengkap Alisa Mafaza itu, adalah anak perempuan satu-satunya karena kedua adiknya adalah laki-laki. Tiga bersaudara. Alisa anak sulung, yang menjadi tulang punggung semenjak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu. Dua adiknya masih sekolah dan perlu biaya, kedua anak laki-laki yang juga sangat Ibu cintai itu masih belum cukup dewasa untuk ikut menanggung beban. Aldomiri Nadhif, dipanggil Aldo, masih duduk di bangku sekolah kelas tiga SMA. Sedangkan yang bungsu, Alanshori Fadhil masih kelas dua SMP. Sedangkan Ibu pun kini tidak bekerja, hanya mengisi waktu dengan mengajar ngaji anak-anak kecil di Majlis Ta’lim. Karena kondisi itu lah, Alisa mengabdikan dirinya untuk mencukupi kebutuhan keluarga ini, semampu yang ia bisa. “Bu, Alisa mohon. Untuk kali ini saja, Ibu dukung Alisa. Alisa akan sangat terbantu dengan dukungan Ibu, supaya Alisa tidak sendirian melewati ujian ini,” pinta Alisa penuh harap. “Ibu akan dukung kamu, Nak. Apapun. Apapun. Asal bukan meminta cerai,” jawab Ibu sambil meninggalkan tempat duduknya. Ibu masuk ke kamar pribadinya, menutup pintunya. Ia berdiri di balik pintu, menangkupkan kedua tangannya, kemudian menangis sejadi-jadinya, tanpa ingin Alisa mengetahui.  Di lain sore menjelang magrib yang begitu mencekam, hujan besar disertai petir. Alisa termenung di ruang tamu rumah kontrakannya yang sudah ia tempati sejak menikah dengan Taufik. Alisa menunggu suaminya pulang. Seharusnya satu jam yang lalu Taufik sudah tiba di rumah. Namun, Alisa paham, jalanan pasti sudah banjir, itu menyulitkan Taufik mengendarai motornya. Hujan pun semakin besar. Tidak mungkin Taufik nekat menembusnya walaupun ia mengenakan jas hujan. Terlebih jarak pandang pengendara pun pasti sudah tidak aman, akan sangat beresiko jika tetap diterjang. “Nomor yang Anda tuju, untuk sementara tidak dapat dihubungi.” Suara operator telepon memecah keheningan. Klik. Alisa mematikan sambungannya. Ia menyimpan telepon genggamnya di atas meja, lalu bergegas mengambil wudu, sambil terus berusaha berpikir positif, Taufik pasti baik-baik saja. Ia hanya sedang berteduh, mungkin handphone-nya mati karena kehabisan baterai. Azan magrib masih lima menit lagi, setelah berwudu, Alisa masuk ke kamarnya yang bisa dibilang sempit, karna hanya cukup satu tempat tidur dan tempat salat saja, sedang lemari dan meja rias ditempatkan di kamar sebelah. Alisa menggelar sajadah dan mengenakan mukenanya. Ia tidak pernah secemas ini sebelumnya, perasaannya tiba-tiba tidak enak. Walaupun ia sedang kesal dan ingin meminta pisah dari suaminya, tapi rasa cemasnya tetap saja ada. Ia takut terjadi sesuatu dengan suaminya. Tiba-tiba ... Prakkkkkk! “Ya Allah, ada apa?” ucap Alisa setengah berlari menuju sumber suara. “Ma-maaf ... Bunda, Fina tidak sengaja menjatuhkan gelasnya.” “Loh, bukannya Fina tadi sedang tidur di kamar Fina?” “Iya Bunda, tadi Fina bangun karena haus, Fina mau ngambil sendiri minumnya di kulkas, eh gelas yang Fina pegang malah jatuh,” ucap Fina sedikit ketakutan. “Kenapa Fina nggak panggil Bunda, Sayang?” tanya Alisa sambil membelai menenangkan.  “Fina tadi lihat Bunda sudah pakai mukena, berarti mau salat, kan orang salat nggak boleh diganggu ya Bunda,” jawab Fina dengan kepolosannya, Fina yang baru berusia empat tahun itu memang bisa dibilang lebih pintar dan paham dari anak-anak seusianya. “Anak salihah. Anak pinter. Lain kali hati-hati, ya. Jangan pakai gelas kaca lagi, Fina kan punya gelas plastik. Yuk, sekarang Bunda bereskan dulu pecahan kacanya, Fina duduk saja di kursi, ya.” Alisa membereskan pecahan kaca dan serpihannya. Namun hanya tangannya saja yang bergerak, matanya menatap kosong. Melamun. Firasatnya semakin tidak enak.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices