
by Titikoma

Kejutan
Satu bulan berlalu, hubungan Alisa dan Taufik masih belum bisa dikatakan membaik. Metta semakin sering masuk di kehidupan mereka. Dua minggu lalu, Ibu Alisa masuk rumah sakit karena penyakit maag kronisnya kambuh, mereka tidak memiliki asuransi, uang simpanan pun tidak ada. Beruntunglah ada Metta yang mau membantu. Alisa tidak bisa berbuat banyak, lagipula tidak ada alasan menolak kebaikan Metta, karena dalam hal ini ia sepertinya membantu dengan tulus. Namun, dengan sikap Alisa dan Taufik yang welcome, membuat Metta salah paham, ia berpikir bahwa Taufik mulai membuka hati padanya. Tapi bagaimana pun, Metta tetap sadar ia masih perlu berjuang. Tidak semudah itu meluluhkan hati Taufik yang sangat mencintai Alisa. Sebaliknya, Metta juga tak ingin menyakiti hati Alisa. Dia semakin tersiksa dengan perasaannya yang ambigu. Tok tok tok. “Ya, masuk!” Metta merapikan bajunya. Dilihatnya sekali lagi wajahnya di cermin kecil di pinggir meja kerja, diraba bagian bawah bibirnya. Takuttakut lipstiknya berantakan sehabis minum teh barusan. Ia harus tampil maksimal, ia tahu yang datang ke ruangannya saat ini adalah seseorang yang belakangan ini menghiasi mimpi-mimpinya. Taufik membuka pintu perlahan, Metta berdiri dari tempat duduknya. Satu detik terasa lama, Taufik takjub dengan pemandangan yang dilihat di depan matanya. Ia seperti melihat bidadari turun dari persembunyiannya di kahyangan. Atau mungkin dia sedang bermimpi. Taufik terpesona, matanya tidak berkedip. “Eh, Mas Taufik kenapa? Saya terlihat aneh, ya?” tanya Metta spontan. Sejujurnya dalam hatinya, ia merasa senang menyaksikan ekspresi Taufik. Ia bisa melihat perasaan kagum mulai tampak dari cara Taufik menatapnya saat ini. Taufik terkejut. “Oh engg ... enggak, kamu terlihat beda.” Taufik keceplosan, dan langsung menunduk, malu. Untuk apa dia bicara begitu barusan. Takutnya Metta jadi besar hati. Tapi, siapa yang tidak terpesona saat melihat kejutan ini. Ya, kejutannya adalah … Metta wanita yang mencintainya itu kini terlihat lebih cantik dan anggun, dalam balutan hijab. Sepertinya Metta baru saja melakukan perubahan besar dalam hidupnya. Siapapun tak akan menyangka bahwa dia akan berhijab secepat ini. Saat kemarin sore ia masih mengenakan rok di atas lutut, kemeja tangan pendek yang bahkan dua kancing paling atas dengan sengaja ia biarkan terbuka. Tapi hari ini, keputusan berhijab telah mengubahnya hampir total. Seluruh tubuhnya rapi tertutup kain, tunik tangan panjang berwarna biru dongker, kerudung biru muda bermotif bunga-bunga kecil menambah manis penampilannya, dan celana panjang hitam, longgar, menjuntai sampai kakinya. “Lebih cantik mana, Mas. Aku yang kemarin atau yang hari ini?” celoteh Metta polos. “Emmm … hari ini,” jawab Taufik singkat sambil tersenyum manis, membuat wajah Metta memerah, ia tersipu malu. Tapi bahagia tak terkira. Taufik kebingungan. Salah tingkah. Akhirnya ia mencoba menetralkan suasana. “Emmm … itu … tadi katanya, saya dipanggil ke sini. Ada apa, ya?” “Ohhh itu … kemarin aku bertemu Alisa,” jawab Metta sambil mempersilakan Taufik duduk di kursi yang berhadapan dengannya, kini mereka hanya dibatasi oleh meja kerja Metta. Taufik duduk, lalu menghela napas. “Oh ya, apa yang kalian bicarakan?” Taufik nampak penasaran. “Alisa menceritakan semuanya padaku, termasuk masalah keluarga kalian.” Metta nampak membetulkan duduknya. “Apa termasuk masalah keuangan?” Taufik bertanya hati-hati “Betul. Alisa menceritakan semuanya. Seperti kamu pernah cerita padaku tempo hari,” jawab Metta. Taufik ingat dulu ia pernah terpaksa menceritakan masalah keuangan keluarganya kepada Metta, karena ia butuh pinjaman uang. “Tapi bukan hanya tentang keuangan.” Metta menambahkan. “Apa lagi?” Taufik heran. Metta nampak sedikit menunduk karena malu. “Alisa ingin aku menggantikan posisinya, dia bilang dia sudah mantap akan mengajukan cerai, dia tahu hatimu sudah terbagi.” “Eh, kata siapa.” Taufik heran “Mungkin masalah itu dia hanya menduga saja, karena kamu beberapa kali menceritakan tentang aku kepadanya.” “Ya ampun ….” Taufik memegang kepalanya. “Aku bilang padanya, bahwa ia tak perlu mundur, aku siap jadi yang kedua. Tapi dia bilang, bahwa keputusan ingin berpisah itu sudah jauh-jauh hari ia pikirkan. Bukan hanya karena kehadiranku, tapi dia ingin hidup sendiri saja. Mengurus ibunya, anaknya, adik-adiknya yang sangat membutuhkan dia. Dia tidak mau berhenti bekerja. Aku lihat Alisa wanita yang hebat, Mas.” Metta menahan bulir bening di matanya, ia terharu pada ketegaran Alisa. “Iya, Alisa wanita yang hebat.” Taufik menutup wajahnya dengan tangannya. Ia mengingat Alisa. Ia sangat merindukannya. Terakhir semenjak malam itu, satu bulan yang lalu, ia tidak pernah lagi memadu cinta dengan Alisa selayaknya pasangan suami istri. Alisa memilih pulang ke rumah Ibunya. Taufik tinggal sendiri di rumah kontrakannya. Alisa meminta waktu untuk menenangkan diri, sebelum mengambil keputusan yang berat, kembali pada Taufik atau melepaskannya. Sesekali Taufik masih mendatangi rumah Ibu, untuk menemui Alisa dan Fina buah hatinya. Namun, Alisa semakin dingin. Ia jarang tersenyum. “Tapi Alisa meminta satu syarat dariku jika aku menggantikan posisinya kelak.” Metta membuyarkan lamunan Taufik. “Syarat?” Taufik heran. “Iya, syarat. Dia minta aku berhijab. Tadinya aku tertawa, sama sekali tidak peduli dengan permintaannya itu. Sampai semalam aku mimpi bertemu dengan mendiang Ibuku, dia memakaikan hijab padaku, lalu mengajakku salat berjamaah, tak jauh dari sana aku melihat Alisa tersenyum padaku.” Air mata itu kini jatuh membasahi pipi Metta. “Mungkin, ini yang dinamakan hidayah. Sejak subuh tadi aku terbangun, aku mantap berhijab dan tak akan meninggalkan lagi salat lima waktuku.” Taufik terharu. Ia betul-betul tak bisa menutupi kesyukuran di wajahnya atas hidayah yang telah dirangkul oleh Metta. “Alhamdulillah, Metta. Saya turut bahagia.” Taufik tersenyum. Sampai tiba-tiba bunyi dering hapenya mengagetkan. Dilihatnya nama caller-id nya. IBU ALISA CALLING. Taufik mengangkatnya. “Assalamu’alaikum, Ibu. Ada apa?” “Wa’alaikumsalam, Taufik. Cepat ke RSUD! Alisa masuk rumah sakit.” Tut-tut-tuuuttt ... sambungan terputus. Ibu Alisa mematikan sambungannya. Taufik merasakan napasnya sesak. Alisa kenapa? “Ada apa, Mas?” tanya Metta. “A-Alisa masuk rumah sakit, saya izin meninggalkan pekerjaan, saya harus segera ke sana.” Taufik beranjak keluar ruangan Metta. “Tunggu! Aku ikut.” Metta meraih tas jinjingnya, lalu berjalan menyusul Taufik yang terlihat semakin kebingungan.