Kepingan Hati Alisa

Reads
114
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Buah Cinta

Di ujung koridor IGD rumah sakit, Ibu menangis sesenggukan. Bagi seorang Ibu yang lemah sepertinya, kejadian belakangan ini betul-betul membuat pikirannya berkecamuk. Satu bulan yang lalu ketika Alisa datang ke rumahnya membawa Fina, saat itu Alisa mengatakan ia ingin tinggal bersama Ibu untuk sementara waktu. Senang bercampur sedih. Di satu sisi, Ibu senang karena rumahnya menjadi semakin ramai dengan kehadiran putri dan cucunya. Tapi di sisi lain, Ibu sedih menyaksikan rumah tangga putrinya sudah di ujung tanduk. Hari-hari berlalu dengan sepi, Alisa berubah menjadi pendiam. Sepulang kerja ia hanya sedikit bicara dengan Ibu. Tak seperti dulu yang semua hal di tempat kerjanya ia ceritakan pada Ibu, tentang teman kerja yang jutek, tentang pegawai baru yang hobi dandan, tentang siswa-siswi di sekolahnya yang nakal, bahkan tentang petugas security baru yang sering memanggilnya nona cantik. Ah, ada-ada saja. Waktu penyakit maag kronis Ibu kambuh, sebetulnya Ibu sendiri yang menyebabkannya. Ibu sering telat makan, Ibu terlalu memikirkan Alisa. Di hadapan Alisa, Ibu kuat. Ah, lebih tepatnya Ibu pura-pura kuat. Padahal Ibu mana yang bisa tenang menyaksikan penderitaan putrinya. Ibu tahu banyak tentang rumah tangga Alisa tanpa harus Alisa menceritakan secara detail. Ibu kenal Taufik, Ibu tahu bagaimana Taufik bersikap padanya. Taufik sangat datar. Sorot matanya dingin terhadap Ibu. Itu terjadi di tahun-tahun belakangan ini. Taufik seperti tidak senang jika Alisa terlalu memprioritaskan Ibu. Tapi Ibu selalu berusaha bersikap wajar pada Taufik, bahkan Ibu sering membela Taufik di hadapan Alisa, semata-mata Ibu ingin rumah tangga anaknya baik-baik saja. Ibu sebetulnya merasa sangat bersalah. Seharusnya memang Ibu bisa mandiri, tidak merepotkan Alisa. Tahun lalu Ibu pernah memutuskan membuka usaha berjualan sayuran di depan rumahnya. Ibu ingin berjuang sendiri untuk kehidupannya dan dua anak laki-lakinya yang masih sekolah. Ibu ingin Alisa bahagia tanpa direpotkan olehnya. Namun usaha Ibu tidak berlangsung lama, karna Ibu sering kelelahan lalu sakit. Alisa tidak tega, ia melarang Ibu berjualan lagi. Alisa berjanji akan menafkahi Ibu apapun yang terjadi. Ia ingin menyekolahkan adik-adiknya sampai selesai. Sejak saat itulah Ibu hanya mengisi kegiatannya dengan mengasuh Fina dan mengajar pengajian anak-anak.  “Bu, Ibu nangis?” Alan, adik Alisa yang paling bungsu itu datang sambil menenteng makanan, Fina membuntutinya di belakang. Alan memang berpostur cukup tinggi untuk ukuran anak lelaki usia empat belas tahun. Kehidupan yang sedikit keras sepeninggal ayahnya pun membuat karakter Alan terbentuk lebih dewasa dari usianya. Ia sangat menyayangi ibunya. Baginya kini, tidak ada yang lebih utama selain kebahagiaaan ibunya. Ia percaya bahwa ridha Allah terletak pada ridha orang tua. “Eh, nggak. Ibu nggak nangis, Alan. Tadi Ibu nyariin kalian. Dari mana aja?” Ibu sedikit berbohong, sambil mengusap-usap kantung matanya, agar jejak tangisnya tidak nampak lagi. “Aku tadi keluar dulu cari makanan. Fina juga haus pengen minum. Oh iya, tadi Abang pamit keluar sebentar katanya ban motornya bocor, dia mau cari tambal ban dulu,” jawab Alan. Abang yang dimaksud adalah Aldo. Sama seperti Alan, Aldo adalah anak lelaki yang penurut, pintar, dan tidak mau merepotkan orang tua. Ia betul-betul bertekad untuk mengikuti jejak Alisa yang mandiri dan mengayomi keluarga. Jika kelak ia sudah lulus sekolah, ia sangat ingin kuliah sambil bekerja, dengan sebagian penghasilannya ia berikan untuk keluarga, meringankan beban kakaknya. “Oh iya, Ibu makan dulu, ya.” Alan menyodorkan nasi bungkus kepada Ibu. “Makasih Alan, tapi Ibu tidak lapar. Kamu aja makan sama Fina, ya.” Tatapan Ibu terlihat masih kosong. “Eyang harus makan, jangan nangis terus. Fina juga sedih Bunda pingsan kayak tadi. Tapi Fina tetap makan kok, Eyang. Kata Bunda, kita harus tetap makan biar nggak sakit. Kalau Eyang nggak mau makan, nanti Eyang sakit. Nanti jadi ada dua orang yang sakit. Jangan sampai, Eyang.” Fina tiba-tiba ikut bicara dengan lucunya. “Mau Fina suapin?” Mata Fina berbinar. Ibu Alisa tersenyum mendengar cucunya membujuknya dengan pintar. Alan senyum menang. “Ayo Bu, makan”. Ibu mengangguk. Lalu makan dengan perlahan. Sebetulnya Ibu tidak lapar, tapi Ibu tak ingin Alan dan Fina kecewa. “Eyang, ayah mana?” tanya Fina tiba-tiba.  “Uhukkk!” Ibu tersedak. “Minum dulu, Bu, ini.” Alan menyodorkan air mineral. Ibu meraih, lalu meminumnya. “Nanti, nanti ayahmu ke sini, Fina. Mungkin sedang di jalan.”  “Dokter ....” Suara lirih itu memecah keheningan ruangan IGD. “Eh syukurlah, Ibu sudah siuman.” “Apa yang terjadi? Kenapa saya ada di sini?” “Tadi di sekolah, Ibu pingsan. Pihak sekolah langsung membawa Ibu ke sini. Mereka tidak lama langsung kembali ke sekolah, karena sedang ada rapat. Sekarang sudah ada keluarga Ibu di depan.” “Ya Allah ... saya sampai pingsan begitu, Dok? Memang sih beberapa hari ini saya kurang enak badan. Sering pusing dan mual.” Alisa menjawab dengan suara masih lemah. “Itu gejala awal yang normal kok, Bu.” “Maksudnya?” Alisa bingung. “Lah, memangnya Ibu belum tahu, kalau Ibu sedang hamil?” “Ha-mil?” Alisa mengernyitkan dahinya. “Betul. Usia kandungan Ibu sekitar satu bulan.” Dokter itu tersenyum.  Alisa memandangi langit-langit dan dinding ruangan itu. Punggung dokter perlahan menghilang dari pandangannya. Alisa sedikit menggigil. Mungkin AC ruangan itu terlalu dingin, atau hatinya yang sekarang lebih dingin. Perasaannya campur aduk. Dia mau cerai. Sudah fix mau cerai. Surat gugatan sudah ia siapkan. Tapi kenapa ia harus hamil di saat seperti ini. Ia mulai ingat kejadian sebulan lalu, saat ia terakhir berhubungan suami istri dengan Taufik. Kenapa dia sampai lupa bahwa itu masa suburnya. Ya Allah, apakah ini jalan dari-Mu agar aku tidak jadi berpisah dengan suamiku? Apa ini juga jawaban dari doa suamiku yang sangat menginginkan anak laki-laki? Mungkinkah anak yang di dalam kandunganku ini adalah laki-laki seperti harapannya? Kepala Alisa terasa seperti berputar. Mungkin ia terlalu banyak menerkanerka. Ya, memang betul alasan Taufik selama ini kurang begitu dekat dan memperhatikan Fina, anaknya. Karena dari awal, Taufik sangat menginginkan anak laki-laki. Taufik pun tidak pernah tahu alasan kuatnya kenapa ia begitu mendambakan anak laki-laki hadir dalam kehidupannya. Namun, Alisa masih perlu waktu untuk bisa berpikir jernih. Ia meminta dokter tidak memberi tahu keluarganya dulu terkait kehamilannya. Ia tidak ingin kehamilan ini menjadi penyebab utama penghalang perceraiannya. Ia tidak ingin Taufik hanya iba melihatnya dalam kondisi hamil. Sejujurnya dalam hati kecilnya, Alisa sangat ingin diperjuangkan. Alisa sangat ingin Taufik menolak kembali perceraian ini, lalu berjanji padanya akan berubah, berusaha lebih keras lagi dan mulai lebih memperhatikan ia dan Fina. Sejujurnya, ia masih mencintai suaminya. Kemarin sepulang menemui Metta, tidak ada yang tahu kalau Alisa menangis sepanjang perjalanan. Hatinya hancur. Merasa dirinya kalah sebelum berperang. Metta punya segalanya. Satu senti saja Taufik jatuh hati padanya, ia akan selamanya terperangkap. Mana ada laki-laki normal yang menolak segala kelebihan yang ditawarkan Metta. “Syukurlah, Nak. Kamu sudah sadar.” Ibu, Fina, dan Alan berhambur masuk ke ruangan. “Alhamdulillah, Bu.” Alisa menjawab pelan. Lalu lidahnya terasa kelu, ia tidak bisa berkata apapun. Ia memastikan penglihatannya tidak salah, atau sekedar halusinasi. Suaminya berjalan mendekatinya, di belakangnya ada seorang wanita cantik yang ditemuinya kemarin sore, tapi wanita itu dua kali lebih cantik hari ini, ia memakai kerudung dan makeup-nya tidak setebal kemarin. “Mas ….” Alisa berkata lirih. Taufik tidak berkata apapun. Ia menggenggam tangan istrinya dengan erat. “Maaf Alisa, tadi aku yang minta ikut, aku pun ingin memastikan keadaanmu. Syukurlah kamu baik-baik saja.” Metta menjelaskan, khawatir Alisa salah paham. Semua yang ada di ruangan itu jadi canggung. Ibu pamit membawa Fina ke luar ruangan, dan Alan mengikutinya. Alisa menghela napas. Tangannya masih digenggam Taufik dengan sangat erat. Taufik seperti kehabisan kata-kata. Ia hanya menatap wajah istrinya yang kusut. Terlihat genangan di sudut mata Alisa. Alisa menguatkan untuk bicara. “Alhamdulillah, Metta. Kamu betul-betul serius pada suamiku. Kamu telah menerima syaratku.” Kali ini genangan di sudut matanya itu mendesak untuk turun. Pipi Alisa basah. “Emmmmm ini ... tidak, Alisa. Ini hidayah.” Metta memeluk Alisa. Wangi tubuh Metta tercium jelas oleh Alisa. Ah, jauh sudah Alisa merasa kalah dalam segi apapun. “Mas, aku sudah siapkan surat gugatan cerainya. Semoga semua berjalan lancar, ya. Aku berharap kamu akan jauh lebih bahagia nantinya.” Taufik menghela napas berat. Ia kini betul-betul kehabisan kata-kata. Perdu pun berganti musim. Gugur perlahan dedaun hijau, menyirat apabila akan ada masa bagi sebuah situasi berubah. Siap atau tidak, kita manusia hanya bisa menerima


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices