
by Titikoma

Lelaki Dengan Sebuah Janji
“Alisa, aku mohon maafkan aku!” Laki-laki berpostur tinggi itu setengah bersimpuh di hadapan Alisa. Laki-laki itu sangat tampan dan karismatik. Tapi dia bukan Taufik suami Alisa. “Sudahlah, Reyhan. Aku mau kembali ke ruangan kerjaku, tidak enak dilihat orang!” Alisa bangkit dari tempat duduknya. Lalu berjalan meninggalkan laki-laki tampan bernama Reyhan itu. “Alisa, tunggu dulu, aku belum selesai bicara.” Reyhan menghentikan langkah Alisa dengan mengambil posisi berdiri di hadapan Alisa. “Jadi, kamu datang jauh-jauh ke tempat kerjaku cuma mau minta maaf dan mengungkit masa lalu?” Alisa menghela napas. “Sudah terlalu lama, Reyhan. Aku sudah menganggapmu masa lalu. Aku kan sudah bilang aku sudah menikah dengan Mas Taufik, kakak tingkat kita waktu kuliah. Dia melamarku dengan baik-baik, mana ada alasan untuk aku menolaknya. Aku juga tidak pernah mendapat kejelasan hubungan kita waktu itu, kamu pergi ke Malaysia tapi seperti pergi ke alam baka, kamu hilang bak ditelan bumi, tanpa kabar apapun.” Alisa berbicara dengan tatapan kosong, menerawang masa lalunya. Biar bagaimana pun, ada pedih mengiris hatinya. Ia teringat saat itu, saat ia menunggu seseorang yang berjanji akan setia padanya, tapi orang itu hilang bak ditelan bumi. “Maafkan aku, Alisa. Saat sampai di sana, aku mendapat musibah, hapeku jatuh di perjalanan, entah di mana. Semua kontakku hilang. Sialnya, aku belum sempat menghafal nomer hape kamu yang baru.” Reyhan menatap Alisa penuh harap. “Apa kamu tidak pernah pulang, sampai-sampai tidak ada waktu menemuiku?” “Aku pernah pulang ke Bandung saat ibuku meninggal, aku menyempatkan datang ke rumahmu di Jakarta, tapi kosong. Tidak ada siapa-siapa.” Reyhan masih menatap Alisa dengan lekat, seakan tidak bisa merelakan keadaan ini. “Lalu, apa gunanya kamu datang lagi sekarang? Aku sudah jadi istri orang, Reyhan!” “Aku hanya menepati janjiku untuk menemuimu kembali jika sudah sukses. Maafkan aku saat itu tidak cukup keberanian untuk melamarmu, aku bukan anak orang kaya. Aku harus berjuang keras dengan beasiswa. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, hanya akan menikahimu saat aku sudah tidak hidup sulit lagi, aku ingin membahagiakanmu. Sampai saat ini, hatiku tetap aku jaga. Kapanpun kamu mau kembali padaku, aku siap, Alisa. Ceritakanlah padaku jika Taufik menyakitimu.” Deggggg. Jantung Alisa seperti mau jatuh dari tempatnya. Kata-kata Reyhan seperti tepat menancap di sana. Seolah Reyhan tahu bahwa hidup Alisa dengan Taufik selama ini tidak bahagia, seolah Reyhan tahu bahwa Alisa saat ini sedang memperjuangkan kebahagiaannya. Enam tahun sudah aku tinggal di Malaysia, menyelesaikan studi S2 dan kontrak kerja di IIUM (International Islamic University Malaysia). Hanya sekali aku pernah pulang, saat ibuku meninggal dunia. Itupun sekitar pertengahan tahun pertama. Selebihnya aku tidak pernah pulang ke Indonesia, aku fokus studi dan kerja di sana. Aku juga hampir tidak pernah bermain sosial media, sehingga aku minim info. Aku memang tidak terlalu suka membuang waktu seperti itu. Aku fokus berjuang keras untuk meraih masa depan karena aku sadar aku tidak terlahir sebagai orang kaya. Sekarang kontrakku sudah selesai, aku ingin pulang ke Indonesia. Pulang kepada seseorang yang telah menungguku. Namanya Alisa. Aku sengaja ingin memberi kejutan padanya. Namun sampai di Jakarta, justru Alisa yang memberi kejutan padaku dengan statusnya. Betapa kagetnya aku saat mendengar Alisa betul-betul sudah menikah dan memiliki anak. Aku menerima kabar itu dari Berliana teman sekelas kami dulu. Berliana bilang bahwa Alisa sudah menikah lima tahun lalu, tapi sekarang ia sedang menggugat cerai suaminya. Ah, aku bingung ini sebetulnya kabar baik atau buruk. Ini sebetulnya sebuah keputusan atau harapan. Konon, perlu air mata untuk mengetes jika hati tidak mengeras. Sementara, air mata hanya akan mengalir dengan baik jika sebuah kesedihan menghantam ulu hati. Namun, bukankah rasa bahagia pun bisa menimbulkan air mata? Yang manapun, saat kita mudah menangis, artinya hati masih baik-baik saja.