
by Titikoma

Hari Berbagi Cinta
Lama sekali aku memandangi wajahku di cermin, kulihat bayangannya memantul. Seorang wanita yang mungkin sudah tidak diinginkan siapapun. Ayah dan ibunya telah pergi, bahkan hari ini ia harus merelakan suaminya melaksanakan pernikahan dengan wanita lain. Wanita mana yang tidak sakit. Pastilah sakit. Hanya berbeda tipe sikap saja. Ada tipe yang meluapkan amarahnya, ada tipe yang diam saja, dan aku tipe kedua, memilih diam agar semuanya berjalan baik-baik saja. Amanat ibuku sebelum kepergiannya, akhirnya aku laksanakan, aku membatalkan proses perceraianku. Memang sulit dipahami secara akal, Ibu memintaku tetap menjadi istri Taufik, itu artinya aku harus rela dimadu. Tapi, aku paham alasan Ibu. Ibu tak ingin anak-anakku merasakan hidup tanpa sosok ayah, menjadi korban perceraian, broken home. Karena Ibu juga pernah jadi korban broken home. Dari kecil, ia tidak terlalu mengenal sosok ayah karena orang tuanya alias kakek dan nenekku bercerai. Nenek bekerja siang malam, berjuang menghidupi keluarga, sedang mantan suaminya seperti lupa akan kewajibannya. Jika Ibu bercerita tentang hal itu, tentu saja air matanya mengalir beranak pinak di pipinya. Ia selalu bilang, “Jangan lagi, Alisa. Jangan lagi ada yang mengalami kepahitan seperti Ibu.” Ah, Ibu, Rasanya hari ini aku ingin bicara pada Ibu, bahwa tidak ada jaminan aku akan lebih bahagia dan tidak merasakan kepahitan jika tetap menjadi istri Taufik. Aku bertahan hanya karena Ibu, demi amanat Ibu. Jangan tanya rasanya menjadi aku saat ini. Jika kalian goreskan pisau tajam di tangan, aku rasa tetap tak bisa mengimbangi rasa sakitku saat ini. Aku menatap wajahku di cermin, getir, bulir bening berdesakan meminta turun dari mataku, aku melarangnya. Aku tak ingin terlihat sedih. Lihatlah Metta, aku harus sebahagia dia hari ini. “Saya terima nikahnya Metta Angelina binti Rano Wijaya dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Aku mengucapkan ijab qabul dengan sedikit gemetar, tanganku dingin, aku tak tahu perasaan apa ini. Hamdallah bergemuruh di ruangan. Pertanda aku kini telah sah menjadi suami Metta, sekaligus sah menjadi pelaku poligami. Luar biasa! Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jujur ketika pertama kali mengenal Metta, aku tak tertarik padanya. Aku hanya menganggapnya sebatas atasanku di kantor. Aku pernah meminjam uang padanya karena kebutuhan keluarga yang mendesak. Aku lepas kontrol menceritakan permasalahan rumah tanggaku sehingga dia semakin intens memasuki ranah pribadiku. Dia menginginkanku. Hari ini, kulihat Metta sangat bahagia. Senyumnya berkembang, berbalut haru di wajahnya. Dia terlihat sangat cantik dengan riasannya. Dia pengantinku. Dadaku berdesir saat memasangkan cincin di jarinya yang lembut. Desirannya sama seperti pertama kali aku menyaksikannya berhijab. Ah, sesederhana inikah jatuh cinta. Tiba-tiba desiranku berhenti, saat teringat seseorang. Seseorang yang belum sempat aku bahagiakan, yang hidupnya selalu penuh ujian. Dia Alisa, istriku, istri pertamaku. Tempatku melabuhkan cinta pertama kali. Cintaku padanya saat itu jauh lebih sederhana lagi. Dia membalas dengan keterbukaannya. Saat aku belum punya pekerjaan tetap, dia membantuku. Dia relakan semua miliknya menjadi milikku. Kini Aku merasa menjadi pengkhianat. Mataku mencarinya ke setiap sudut, tidak kutemukan. Padahal tadi pagi di ruang make up, dia bilang dia akan hadir di ruangan ini menyaksikan ijab qabul. Ah, betapa bodohnya aku. Harusnya aku tahu bahwa saat ini dia pasti sedang menangis. Tamu-tamu menyalamiku satu per satu, menghujaniku dengan ucapan selamat dan doa-doa. Aku tak bisa berkonsentrasi, tak juga kutemukan Alisa menghampiri, memberi ucapan selamat, atau sekedar membersamai kami. Aku izin ke toilet, padahal aku mencari Alisa ke kamar yang menjadi ruang make up. Pintu kamar itu kubuka perlahan. Kulihat Fina anak kami sedang terisak di pelukan bundanya. Aku mendekatinya dan menciuminya. “Maafkan ayah, Nak.” Kugenggam tangan Fina dengan erat, Fina melepaskan pelukan bundanya, beralih ke pelukanku. “Ayah tetap menjadi ayah Fina, ‘kan?” Aku menatapnya lekat. Aku tak berani menatap bundanya. Aku malu. “Fina takut menjadi yatim seperti si Farrel teman sekelas Fina di PAUD.” Fina menangis makin kencang. Aku tersentak. Yatim? Bukankah aku masih hidup? Jangan-jangan selama ini Fina memang sudah ‘yatim’ meskipun ayahnya masih hidup. Aku ayahnya, tapi tak begitu peduli padanya. Dia kehilangan sosokku. Aku merasa sangat bersalah. Kudengar Alisa menjelaskan tentang definisi yatim kepada Fina. Sedang aku menatap lantai yang dingin, sedetikpun tak berani menatap Alisa. “Selamat ya, Mas,” kata Alisa. Ia tiba-tiba meledakkan tangis di pelukanku. Aku kaget. Aku merasakan wajahnya panas, air matanya membasahi jas pengantinku. “Mas minta maaf, Alisa.” Aku membelai kepalanya dengan penuh sayang. “Aku senang Mas sekarang sudah bahagia, Metta punya segalanya. Mas tidak akan kesulitan lagi. Mas akan naik jabatan. Aku senang sekali, Mas.” Lelehan air matanya tetap mengiringi. “Tapi hari ini aku tidak sebahagia ketika menikahimu, Alisa.” “Tidak usah sama, Mas. Adil itu tidak harus sama.” Aku mendekap istri dan anakku dengan erat. Kusampaikan kata-kata cinta yang bertubi-tubi. Aku tidak ingin mereka bersedih. Aku sudah cukup jadi pengkhianat. Alisa menatapku hening, air matanya tumpah tak tertahankan.