Kepingan Hati Alisa

Reads
120
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Mukena Ibu

Mas, aku sangat bahagia. Alat ukur apapun tak akan mampu mengukur kadar bahagia yang ada di hatiku saat ini.” Tiba-tiba Metta mencium pipi Taufik, serangan dadakan, tanpa aba-aba sama sekali. Wajah Taufik memerah, terasa hangat, sepertinya dia grogi. Ini malam pertamanya sebagai suami Metta. “Hmmm iya, Metta. Aku juga bahagia.” Taufik menatap wajah Metta dengan kaku membuat Metta cemberut. “Masa masih Metta aja sih panggilannya, kita kan udah suami istri.” Metta memasang wajah kesal yang dibuat-buat. “Terus maunya dipanggil apa?” Taufik mulai memasang wajah menggoda, sambil mencubit pipi Metta, membuat Metta sedikit kaget. Ini tentu dimanfaatkan Metta untuk semakin menggoyahkan pertahanan Taufik, dia memeluk Taufik dengan manja. “Bagaimana kalau panggil sayang?” Metta mengencangkan pelukannya, sambil wajahnya menengadah ke wajah Taufik. “Emmm jangan, karena itu panggilan sayangku terhadap Alisa,” jawab Taufik. Taufik terdiam. Metta melepaskan pelukannya. Wajahnya menunjukkan ia kurang nyaman mendengar nama Alisa disebut. “Kenapa? Kamu cemburu, ya?” Taufik tersenyum usil. “Nggak kok, pede amat, Pak.” Metta menjawab asal. “Oke, jangan marah ya. Aku panggil kamu honey, setuju?” Metta tersenyum manja. Dia mengangguk. Taufik mengusap kepalanya. Mencium keningnya. Debaran kencang dari jantungnya pasti terdengar oleh Metta. Kini mereka saling menatap, hangat napasnya saling berlomba. Bibir mereka bertemu. Tentu saja mereka sudah paham ke mana kemesraan ini bermuara, mereka sudah sama-sama berpengalaman. Tapi, baru saja Taufik menyatukan bibirnya dengan singkat, tiba-tiba Metta mendorongnya. “Kenapa, honey?” Taufik heran “Salat dulu, Mas. Sudah nggak sabar ya, he-he.” Metta tertawa renyah. Asli, kali ini wajah Taufik merah sekali. Malu.  Sepulang dari acara pernikahan suaminya, Alisa merasa kurang enak badan. Ditambah usia kandungannya yang memasuki bulan kedua membuat mual dan pusing selalu dirasakannya. Malam ini, Alisa memutuskan untuk salat Isya dan menghabiskan malam di kamar almarhumah Ibu. Seminggu setelah wafatnya, kamar ini sangat sepi dan dingin. Alisa menggelar sajadah, memakai mukena cantik warisan almarhumah. Dia dirikan salat dengan khusyuk, sengaja ia berlama-lama di sujud terakhir, ia ingin tumpahkan segala perasaan yang tertahan di dadanya. Baginya cukup Allah sebaik-baik pelindung. Sajadahnya basah dengan lelehan air matanya yang tak bisa ditahan lagi. Dadanya sesak. Ia tak mampu membayangkan suaminya yang bertahun-tahun hanya mencintainya, kini tidur bersama wanita lain. “Allah … ikhlaskan aku, kuatkan aku. Imanku masih sangat lemah. Bahkan Aisyah saja pernah cemburu tatkala Rasulullah menyebut-nyebut nama Khadijah, lalu bagaimana denganku yang imannya tak ada setetespun dari iman Aisyah?” Alisa terisak dalam doa setelah salatnya. Airmata bercucuran. Matanya bengkak. Ia terlampau lelah, “Ibu … Ibu … Ibu … aku rindu.” Alisa meratap sambil meremas mukenanya yang setengah basah oleh air matanya, sampai-sampai ia tertidur di atas sajadah.  Akhirnya lepas sudah status ini. Status yang membuatku kurang nyaman selama bertahun-tahun. Aku hidup sendiri, menjadi seorang janda di usia muda, tepatnya janda tanpa anak. Siapa yang tidak risih dengan status ‘janda’ ini. Apalagi, bagiku yang berjabatan tinggi, beraset banyak, dan kata orang aku cantik di atas rata-rata. Laki-laki melihatku seperti bunga mawar yang merekah, mereka siap memetikku kapan saja. Tapi sayangnya duriku terlalu banyak, aku menghalangi diriku dari laki-laki manapun saat itu. Oh iya, sepertinya aku harus ceritakan sedikit tentang masa laluku. Mantan suamiku juga tampan, mungkin setara dengan Taufik, hanya kulitnya agak gelap sedikit. Dia putra mahkota pewaris perusahaan besar milik ayahnya. Awal pernikahanku baik-baik saja, sampai akhirnya aku tahu kebiasaan buruk mantan suamiku itu, hobi main ke bar, mabuk-mabukan, berjudi dan main wanita. Selain itu, dia juga ringan tangan, mudah sekali baginya memukulku. Aku tak tahan, sehingga kami berpisah di tahun kedua pernikahan kami. Tahun perceraianku itu menjadi tahun paling kelam di hidupku. Aku sempat trauma terhadap laki-laki. Bertahun-tahun aku menutup rapat hatiku untuk makhluk bernama laki-laki. Bahkan ayahku sering bolak-balik menawarkan calon suami baru untukku, namun aku bersikeras menolaknya. Untungnya, ayahku adalah orang yang baik, dia tidak pernah memaksakan kehendaknya padaku. Ia sangat penyayang terhadap anakanaknya, dia memilih membesarkan kami seorang diri tanpa mau menikah lagi setelah kepergian Ibu akibat kecelakaan pesawat. Ah, ayah memang laki-laki terbaik. Aku pikir, habislah sudah stok laki-laki baik di dunia ini, selain ayah. Bertahun-tahun aku bersikeras dengan pilihanku untuk sendiri. Sampai Taufik datang di hidupku. Ah, kalian tentu sudah tahu bagaimana awal perjumpaan kami. Sejujurnya, aku malu menjadi orang ketiga seperti ini. Tapi, aku takut tak ada lagi lelaki seperti Taufik di dunia ini, maka aku menjadi gila dan buta karena cintanya. Tolong kalian jangan membenciku. Kalian pasti tahu aku juga tidak berniat jahat pada Alisa. Aku berniat membantu ekonominya juga. Dia tidak usah lagi bekerja. Aku yakin kami bisa hidup bahagia, walaupun berada di bawah bendera poligami. “Honey, sudah bangun?” Suara lembut Taufik membuyarkan lamunanku. Dia memelukku dari belakang. “Sudah. Selamat pagi, Mas. Bagaimana tidurnya semalam?” Aku bertanya dengan sedikit menggodanya. Dia menghirup napas di pundakku dengan sangat dalam. “Luarr biasaaa.” Taufik tersenyum penuh arti. “Ayo mandi dulu, Mas. Jangan lupa keramas, kan mau salat subuh, hehehe.” Aku menangkap senyumannya yang berkembang, sepertinya dia sangat bahagia. Ah Tuhan, seandainya tak usah ada hari-hari lain lagi, aku ingin selamanya begini, selamanya bahagia. Hati perempuan jauh lebih hebat untuk memendam. Jauh lebih kuat untuk menahan. Jauh lebih tegar menghadapi cobaan.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices