Kepingan Hati Alisa

Reads
111
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Emergency

Alisa pulang berdua dengan Aldo di bawah gerimis yang berkejaran. Sepanjang jalan ia seperti orang kebingungan, akibat cintanya yang kandas kepada Reyhan, atau lebih tepatnya terpaksa dikandaskan oleh keadaan. Aldo sudah menawarkan kepada kakaknya itu untuk turun dari sepeda motornya, pindah ke taksi saja. Aldo tidak mau kakaknya kehujanan, karena jas hujannya ketinggalan. Tapi Alisa tetap ingin di sepeda motor bersama Aldo. “Kak, pindah saja, ya? Aku khawatir hujannya semakin besar.” Aldo memperlambat laju motornya. “Tidak usah khawatir, ini cuma gerimis,” jawab Alisa. “Kakak kenapa menolak Aa Reyhan? Padahal dia selalu bilang dia siap menunggu sampai Kakak melahirkan. Katanya, menunggu beberapa bulan lagi itu perkara kecil, dulu dia menunggu Kakak sepuluh kali lipat lebih lama.” “Sudahlah, Aldo. Tolong berhenti membicarakan tentang dia, dan jangan lagi mengganggu hidupnya, dia akan segera menikah. Kakak mohon apapun yang terjadi, jangan hubungi dia lagi. Biarkan dia memulai hidup barunya dengan tenang.” Alisa berbicara sambil menengadahkan wajahnya ke langit, ia senang dengan guyuran gerimis yang menenangkannya. “Kak, aku pengen marah tapi aku nggak tega,” kata Aldo membuat Alisa heran. “Marah? marah sama siapa?” “Sama Kakak!” jawab Aldo. “Sampai kapan Kakak bertahan dengan laki-laki yang tidak pernah mau membahagiakan? Kakak telah melepas mutiara yang berharga seperti Aa Reyhan demi apa? Demi sebongkah batu bata yang keras dan jika dilempar, ia siap melukai?” Kali ini intonasi suara Aldo mendadak meninggi. Sepertinya ia emosi. “Maksudmu Mas Taufik?” “Betul, Kak!” “Sssttt ... sudahlah, Kakak tidak akan menjawabnya sekarang. Nanti waktu  yang akan membuatmu mengerti.” Alisa memegang pundak adiknya, masih di atas sepeda motor dengan guyuran gerimis yang lama-lama berubah menjadi hujan deras. Ia menikmatinya. Tidak peduli gamisnya kebasahan, kerudungnya juga semakin kuyup. Aldo diam seribu bahasa tak bertanya apa-apa lagi. Sejujurnya, Alisa tidak tahu alasan Aldo berkata seperti tadi, membandingkan Reyhan dengan Taufik, suaminya. Ia sungguh hanya bisa menduga-duga, mungkin sebagai seorang adik yang melihat kondisi kakaknya seperti saat ini, Aldo ikut terluka. Ada rasa kepada seseorang yang akan hilang begitu saja ketika kita jauh dari orang tersebut. Tapi tidak dengan rasaku pada Alisa, gadis yang pernah aku cintai bertahun-tahun lamanya, bahkan selalu aku tempatkan ia di hatiku, tak tergeser jarak, tak tergantikan oleh siapa pun. Bahkan hingga kini ketika ia sudah menjadi seorang ibu, bagiku ia tetaplah gadisku, tempatku berkeluh kesah dulu, meniti perjuangan di bangku pendidikan. Ia begitu indah, tak akan pernah berubah. Hatiku remuk redam saat kemarin aku harus menerima kenyataan ini, ia mengikhlaskanku menikahi Fatma. Fatma adalah sepupuku, aku tak bisa mencintainya, aku menganggapnya seperti adik sendiri. Tapi itu satu-satunya solusi yang ditawarkan oleh keluargaku mengingat umurku sebentar lagi menginjak kepala tiga, tapi aku masih betah sendiri. Jangankan calon istri, pacar saja aku tak pernah kenalkan pada mereka. Ya, karena memang tak ada. Aku hanya ingin Alisaku, dan itu tak bisa dimengerti oleh siapa pun. Keluargaku tahu tentang Alisa. Mereka tidak ingin aku terus menerus mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Aku harus memulai hidup yang baru, melupakan Alisa, dan bagi mereka, Fatma adalah solusi. Gadis cantik yang baru lulus S1 dua bulan lalu. Sekarang pekerjaannya mengajar TK. Fatma seorang anak yang penurut, ia mengangguk saja mendengar rencana pernikahan kami. Alisa, bolehkah aku bertanya padamu sekali lagi? mungkin ini yang terakhir kalinya sebelum aku pulang ke Bandung. Pesan itu kukirimkan, aku harap-harap cemas menanti balasannya. Satu ... lima ... sepuluh menit ... bahkan satu jam berlalu, tidak ada balasan. Aku berhenti menatap ponselku. Mungkin ia sudah melupakanku dan menghapus namaku dalam memorinya. Aku tak bisa apa-apa lagi. Harapanku sirna.  Tiga hari kemudian. “Alan, cepat hubungi Mas Taufik, ini gawat!” Perintah Aldo pada Alan yang sedang asyik mengasuh Fina. “Ada apa, Bang?” Alan kebingungan. “Pokoknya jangan banyak tanya, cepat hubungi Mas Taufik, suruh dia ke sini sekarang, bilang ini emergency!” Alan segera mengambil ponselnya, menghubungi Mas Taufik dengan pikiran masih bertanya-tanya. “Bang, nomornya nggak aktif.” “Aduh!” Aldo terlihat kebingungan. Ia berbalik masuk kamar Alisa. Lalu keluar lagi sambil membopong tubuh Alisa yang lemah. “Kakak, bertahan ya. Aldo akan bawa Kakak ke Rumah Sakit,” kata Aldo sambil gemetar. Diperintahkannya Alan memesan taksi online. Aldo membopong Alisa sampai halaman depan. Terlihat Fina menangis kencang. Aldo mengajak Alan untuk ikut. “Fina sayang, tunggu di sini sama Mbok Darmi ya, jangan khawatir, bundamu baik-baik saja.” Alan mencoba menenangkan. Terdengar bunyi klakson, taksi online yang dipesan Alan sudah tiba di depan rumah. Aldo dan Alan membopong tubuh Alisa menuju mobil. Wajah Alisa pucat. Matanya terpejam. Terlihat darah segar merembes di bagian bawah gamisnya yang berwarna abu muda. “Hati-hati di jalan, Den!” Mbok Darmi melambaikan tangannya sambil menggendong Fina yang belum berhenti menangis. Tak perlu ditebak, wajah Mbok Darmi kini menunjukkan kecemasan yang begitu dalam. ‘Oh, Non Alisa!’ Batinnya mengasihani. Sejatinya ikhlas ialah saat hati mampu melepas sebuah keputusan terberat dari sebuah pilihan. Saat hati mau memberikan yang paling kita sukai kepada orang lain. Namun, ‘memberikan’ suami kepada wanita lain, apakah juga bentuk keikhlasan sejati?


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices