Kepingan Hati Alisa

Reads
117
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Surat Dari Aziza

Hidupku belakangan ini terasa begitu damai dan tentram. Aku bisa menjalani segala aktivitasku seperti manusia normal pada umumnya. Pikiranku tidak lagi kacau. Aku bisa melakukan banyak kegiatan yang lebih produktif, bekerja seperti biasa, berkumpul dengan keluargaku, jalan-jalan ke mana pun aku suka dan yang paling asyik adalah aku bisa mengusir kebosanan dengan menulis karya-karyaku. Beginilah hidupku sekarang, single parent yang jauh lebih bahagia daripada sebelumnya. “Kak, tas yang ini diisi makanan aja yang banyak, ya,” kata Aldo sambil memasukkan beberapa makanan ringan, buah-buahan, dan minuman kaleng ke dalam tas berwarna cokelat tersebut. “Ya ampun, Aldo. Nggak usah banyak-banyak bawa makanannya. Di sana kita bisa membeli lagi, kok. Kan berat bawa-bawanya kalau isinya terlalu banyak.” “He-he, nggak masalah, Kak. Tas seberat apapun nggak usah khawatir bawanya, kan ada Mbok Darmi yang tenaganya kayak Samson.” Aldo cekikikan. Mbok Darmi tertawa geli. Ya, beginilah kami setiap mau jalan-jalan akhir pekan. Tertawa lepas tanpa banyak beban. Mbok Darmi selalu setia membersamai kami. Walaupun aku sudah tidak lagi menjadi istri Taufik, tapi Mbok Darmi tidak mau berhenti bekerja di rumahku, ia tetap ingin di sini. Tentu saja kini aku membayarnya sendiri, tanpa campur tangan Metta. Ah, indah rasanya hidup dalam kemandirian.  Tepat satu bulan Taufik resmi menjadi mantan suamiku. Kini aku bukan lagi siapa-siapa, hubunganku dengannya hanya sekedar ‘demi’ Fina. Kulihat ia begitu berubah, sikapnya sangat manis. Senyumnya kembali menawan. Setiap berkunjung ke rumah, ia seperti mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai dari pakaian yang rapi, modis, dan mungkin mahal. Rambutnya selalu klimis, parfumnya sangat wangi. Oleh-oleh yang selalu ia bawa untukku dan Fina bukan main banyaknya. Entah aku yang terlalu ‘geer’ atau bagaimana, yang pasti aku rasa ia bermaksud menggodaku. Tidak, tidak akan pernah kutarik segala ucapanku, tak akan aku mundur walau sejengkal. Perpisahan ini sudah final untukku, bukan sekedar basa basi. “Fina, mau nggak kalau besok Ayah ajak jalan-jalan?” tawarnya kepada Fina di malam minggu yang cerah. Sebetulnya aku agak risih jika dia datang berkunjung di malam hari begini, apalagi sudah dua kali dia datang di malam minggu. Dengan penampilan seperti yang aku ceritakan di atas, bukan tak mungkin orang lain menganggap ia sedang ‘ngapelin’ mantan. Aduh! “Mau banget, Ayah. Fina mauuuu,” jawab Fina dengan polosnya, tentu ia tak bertanya pendapatku terlebih dulu, aku mau atau tidak, aku keberatan atau tidak. “Nah, bagus kalau Fina sudah setuju, tapi Ayah ada satu syarat buat Fina.” “Syarat apa, Ayah?” “Hmmm Fina harus bisa bikin Bunda tertarik untuk ikut.” Taufik mendelik ke arahku. Sungguh, aku tidak nyaman. “Maaf, Mas. Aku tidak bisa. Kamu berdua saja ya sama Fina. Aku ada janji sama editor. Alhamdulillah, novel pertamaku segera terbit bulan ini.” Aku langsung menjawabnya secara to the point. Taufik memasang tampang kasihan. “Ayolah, Alisa. Aku bisa menunggu kamu selesaikan urusan dulu kok. Sampai jam berapa pun aku tunggu. Setelah itu baru kita jalan-jalan. Kasihan kan Fina, dia pasti ingin sekali jalan-jalan bersama ayah dan bundanya.” “Maaf, Mas. Urusanku bisa seharian. Maaf.” Aku membalikkan badanku, hendak masuk kamar. Aku merasa lelah, perlu istirahat.  Tiba-tiba Taufik mengejarku, lalu menarik lenganku. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan. Aku segera menepis tangannya. “Maaf, Mas. Jangan lancang. Aku mengizinkan kamu datang ke sini cuma untuk Fina, bukan untuk macam-macam padaku.” Ia terlihat malu dan merasa bersalah. “Maaf banget, Alisa. Aku tidak bermaksud .…” Ucapannya belum selesai, langsung saja kupotong. “Sudahlah, aku capek, mau istirahat. Oh ia, jangan terlalu malam! Tidak enak sama tetangga!” Nada bicaraku seakan mengusirnya dengan halus. Ia mengangguk. Aku bisa merasakan kekecewaannya. Mungkin ia menyesal telah bersikap memalukan seperti tadi, mungkin ia menyesal telah membuatku kecewa, dan yang paling mungkin adalah … ia terlihat sangat menyesal telah melepaskanku dari hidupnya. Ah, mungkin ia baru menyadarinya. Hari ini aku tersadar, rupanya benar kata pepatah ini : Carilah selainku, menjauhlah dariku, maka kau akan temukan kebaikanku. “Mas, aku minta maaf jika selama ini aku menyembunyikan semua ini darimu,” Metta merangkul suaminya dengan penuh kegundahan hati. Taufik terdiam sesaat. Matanya sengaja ia pejamkan. “Ayolah, Mas. Bicaralah! Jangan buat aku semakin merasa bersalah!” Taufik mencoba membuka matanya yang tampak kemerahan. “Jadi, aku hanya akan punya satu anak seumur hidupku, dan itu Fina. Aku tidak bisa mewujudkan keinginanku memiliki anak laki-laki. Itu berat, Metta. Kenapa kamu tidak pernah membicarakan hal ini sebelumnya?” Taufik meremas-remas surat hasil pemeriksaan dari Dokter, yang menyatakan Metta memiliki kelainan infertilitas, atau istilah umumnya sulit punya anak. Bahkan bisa jadi, ia tidak bisa punya anak sepanjang hidupnya. Sebetulnya, Metta sudah pernah memeriksakan hal tersebut dengan mantan suaminya dulu, tapi Metta tak mau berterus terang pada Taufik, karena takut Taufik tidak bisa menerimanya. “Bukankah kita masih bisa memintanya kepada Allah, Mas?” Metta terisak pelan di pelukan suaminya. “Tidak ada yang tidak mungkin ‘kan jika Allah berkehendak?” Metta terus bicara. Taufik diam seribu Bahasa. “Mas! Jawab!” Metta mengencangkan tangisannya. Taufik bergeming. Yang bisa ia ingat saat ini adalah bagaimana Allah Maha Adil atas setiap takdirnya. Bayangan Alisa menari-nari di kepalanya. Dosanya terlalu besar pada wanita ini beserta kandungannya saat itu. Kini, Allah sedang menunjukkan keadilannya.  Hampir satu tahun berlalu, Alisa betul-betul menjadi single parent yang mandiri. Ia berhasil menjadi kepala keluarga yang tangguh. Aldo sudah kuliah sambil bekerja. Karya-karya Alisa melejit di pasaran. Bahkan novel pertamanya sudah naik cetak ulang. Alisa mulai populer. Banyak orang mengenalnya. Ia pun sibuk bukan main. Banyak laki-laki yang datang padanya, tapi ia masih betah dengan kesendiriannya. Jangan tanya tentang Taufik, dia paling sulit move on. Tapi, pertahanan Alisa kini sangat kuat. Taufik betul-betul kewalahan.  Hari Senin yang cerah, pagi ini Alisa sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, tempat kerjanya. “Assalamu’alaikum.” Terdengar suara orang datang di depan. “Wa’alaikumsalam.” Alisa menghampirinya. “Eh Bu Sinta, ada apa? Tumben pagi-pagi datang ke sini. Ayo masuk, duduk dulu.” “Terima kasih, Alisa. Saya ke sini cuma mau menyampaikan ini, kemarin malam ada Pak Pos datang ke rumah, nitipin surat ini buat Alisa. Katanya pas dia ke sini, rumahnya sepi. Mungkin udah pada tidur.” “Su-rat?” Seingatnya, Alisa tidak menunggu surat dari siapa pun. “Ya, betul. Ini suratnya. Saya pamit dulu, ya. Assalamu’alaikum.” “Ya, Bu. Terima kasih. Wa’alaikumsalam.” Bu Sinta berjalan pulang. Alisa meraih surat itu. Kepalanya dipenuhi tanda tanya. Siapa yang berkirim surat? Untuk keperluan apa? Dibacanya nama pengirim yang tertulis di amplop depan : From Aziza. “Masya Allah, Aziza.” Alisa kaget dan terharu. Alisa mengingat sesuatu. Ia hanya punya satu teman bernama Aziza. Pastilah ini orangnya. Aziza, si pendiam berwajah bidadari. Teman satu kamarnya di Pondok Pesantren Putri Asy-Syafi’iyah. Dulu, Alisa kelas satu Aliyah dan Aziza ini baru masuk kelas satu Tsanawiyah. Ada dua orang lagi yang sekamar dengannya saat itu, yaitu Andara kelas dua Aliyah, dan Maryam kelas tiga Tsanawiyah. Tapi mereka tidak terlalu dekat dengan Alisa. Hanya Aziza yang sangat dekat seperti saudara sekaligus sahabat. Perlahan, Alisa membuka surat itu. Kenapa jantungnya seperti hendak meloncat keluar. Firasatnya aneh. Aziza sudah tidak pernah memberi kabar semenjak hari perpisahan yang tidak diinginkan itu, kenapa baru hari ini. Dari mana dia tahu alamat Alisa. Mungkin bisa jadi karena ia sudah lumayan terkenal. Maka informasi kontak dan alamat dia tercantum dimana-mana. Atau mungkinkah Aziza mencari-cari tahu tentangnya. Aduh, hentikan berprasangka, Alisa! Batinnya mengomando. Teruntuk, Kakakku tercinta, Sahabatku terbaik, Teman seperjuanganku di Ponpes ALISA.  Assalamu’alaikum Wr. Wb. Genap dua belas tahun sudah kita tak berjumpa. Apakah Kakak merindukanku? Hanya delapan bulan bersamamu memang terasa singkat, tapi syarat makna di hidupku. Hingga saat ini aku tidak pernah lupa semua jasa-jasamu. Saat hari-hari pertama aku masuk Ponpes, aku selalu menangis tak henti-henti, sampai bengkak mataku, lalu kamu datang kepadaku, membelaiku, dan menasihatiku tentang arti perjuangan. Hari-hari kita lalui penuh cerita. Susah senang, suka duka, tangis dan tawa kita lalui. Sampai tibalah hari itu. Hari dimana kebahagiaanku terenggut, aku harus pergi meninggalkan pesantrenku untuk selamanya, juga meninggalkan dirimu dengan segala kebaikanmu. Aku pun tak sempat pamit, karena mobil ambulance lebih cepat membawaku pergi. Saat kutahu hari itu aku mengidap Tuberculosis dan sudah parah, aku berpikir aku akan mati. Tapi ternyata Allah masih sayang padaku. Allah menyembuhkanku. Aku bisa melanjutkan hidupku di kampung, aku sekolah di sekolahan umum, karena orang tuaku tak mau penyakitku kambuh lagi jika aku kembali tinggal di pesantren. Dan hari ini, penyakitku datang lagi. Ia lebih kebal dari sebelumnya. Pengobatanku enam bulan tidak membuahkan hasil, kini aku menjalani pengobatan lanjutan. Kata Dokter, harapanku untuk sembuh sangat tipis. Bakteri yang ada di tubuhku sudah sangat kebal obat. Dan entah kenapa, aku merasa sebentar lagi Izrail akan mendatangiku. Alisa tak mampu menahan tangis, ditutupnya sekilas surat itu. Ia menghela napas panjang, teringat perjuangan Aziza melawan penyakitnya ketika di pesantren dulu. Ia sempat merasa terpukul atas kehilangan gadis manis yang menjadi roommatenya itu. Setelah kepergiannya yang tanpa pamit itu, baru hari ini Alisa mendapatkan kabar darinya lagi, dengan cukup dejavu, karena penyakit yang sama itu kembali menghampiri Aziza. Sesaat kemudian Alisa mengumpulkan kembali kekuatan, lalu ia kembali membuka dan melanjutkan membaca suratnya. Melalui surat ini, aku ingin menitipkan suamiku yang sangat aku sayangi. Ketika menikah dulu, aku dalam kondisi sehat, tak pernah menyangka penyakit ini akan datang lagi, sehingga aku sangat yakin bisa menemani dan mengabdi kepadanya. Ternyata, hanya satu bulan kebahagiaan itu kami rasakan, sampai tiba aku sakit dan sering batuk. Kupikir, ini batuk  biasa. Dengan telaten, suamiku merawat dan mengurusi. Setelah diperiksa dokter, ternyata aku positif terkena TB Paru lagi, sama seperti ketika di pesantren dulu. Sebetulnya, aku tak ingin suamiku tahu, cukuplah aku saja yang menanggung semua rasa sakit ini. Tapi, apa daya vonis dokter harus diketahuinya juga, akhirnya ia yang mengabdikan hidupnya untuk merawatku, sampai hari ini. Aku tahu Kak Alisa sekarang sedang sendiri. Jika nanti aku pergi lebih dulu, bisakah kau buka hatimu untuk suamiku? Aku sangat menyayanginya. Aku tak akan mau dia hidup kesepian sepeninggalku, temanilah ia, menikahlah dengannya. Aku tahu kamu wanita terbaik untuk kujadikan penggantiku, aku juga tahu suamiku adalah lelaki terbaik yang pernah kutemukan di bumi ini. Kalian akan saling melengkapi. Kumohon kabulkanlah amanatku, hanya itu permintaanku. Alisa menutup wajahnya dengan gemetar. Berita macam apa ini? Ia masih tidak mengerti. Apakah ini cara Tuhan mengirimkan jodoh kembali untuknya? Di bagian bawah surat, Aziza menuliskan nama sebuah rumah sakit. Kamis, 12 Rajab. AZIZA Ruang Melati Rumah Sakit Paru Dokter Goenawan Cisarua, Bogor Alisa melipat kertas surat itu. Ia berpikir ke sana ke mari. Tentang takdir apa lagi yang akan ia hadapi. Hari ini ia izin tidak masuk kerja. Disiapkannya bekal perjalanan menuju Bogor. “Tunggu aku, Aziza!”


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices