
by Titikoma

Seperti Gelas Tanpa Isi
Hari sudah semakin siang, perjalanan tidak selancar pagi tadi, macet dimana-mana. Mungkin karena ini adalah hari senin, hari yang sangat sibuk. Alisa terpaksa pindah dari taksinya menuju ojek online, agar ia bisa segera sampai di Stasiun Jatinegara. Ia memilih KRL agar bisa lebih cepat sampai. Sebetulnya Alisa sudah mempunyai mobil pribadi walaupun beli bekas, yang penting tunai bukan kredit. Begitu pikirnya. Ia membelinya dengan penghasilan dari royalti buku-bukunya, ditambah gaji bulanannya sebagai kepala Tata Usaha di sekolah terpadu yang sedang berkembang. Namun, Alisa ragu jika menyetir sendiri ke Bogor, ia merasa dirinya belum terlalu mahir. Sehingga ia memilih kendaraan umum saja. Pukul setengah sebelas, ia baru bisa duduk manis di kereta KRL. Menjelang zuhur, ia tiba di Stasiun Bogor, lalu bergegas mencari musala, hendak istirahat di sana sambil menunggu azan. Tiba-tiba … BRUKKK! Seseorang menabrak Alisa saat berjalan. “Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Saya buru-buru.” Seorang perempuan bercadar membungkukkan tubuhnya, sambil membereskan buku-buku yang berjatuhan. Alisa memperhatikan orang itu, ada yang aneh dari bahasa tubuhnya. Ia berpakaian serba hitam, sorot matanya tajam. “Tidak apa-apa, Mbak.” Alisa mengulurkan tangan, wanita itu menolaknya, lalu segera berjalan secepat kilat meninggalkan Alisa yang masih mematung. Alisa termenung memikirkan sesuatu, ia mengingat seseorang dengan sorot mata itu. Tapi, ia menepis kembali prasangkanya. Tidak mungkin dia ada di sini, mungkin matanya cuma mirip. Ah, aku terlalu banyak menduga-duga! Alisa berjalan kembali, ia menanyakan kepada petugas tentang lokasi musala di Stasiun Bogor yang kini sedikit berubah tata letaknya. Dulu terakhir dia ke sini waktu masih kuliah, saat itu ia hendak mengikuti seminar di IPB bersama teman-temannya, termasuk Reyhan. Duh, Alisa jadi senyum-senyum sendiri mengingat kenangan itu. Jadi ingat Reyhan, apa kabar ya dia sekarang? batinnya. Semenjak menikah, Reyhan sudah tak pernah memberi kabar lagi. Mungkin ia sudah move on dan berbahagia dengan rumah tangganya. Alisa tentu saja ikut senang. Tapi tak bisa dipungkiri, sesekali kenangan itu mampir di hatinya. Rindu kadang tidak perlu alasan, untuk tiba-tiba datang dan pergi begitu saja. “Itu, Teh. Musalanya sebelah sana. Mangga, perlu saya antar?” Suara petugas kebersihan stasiun itu membuyarkan lamunan Alisa. “Oh, tidak perlu, Pak. Terima kasih infonya.” Selesai salat berjamaah, Alisa merapikan kerudungnya. Ia menengok kanan kiri, takutnya ada laki-laki lewat, mengingat musala ini tidak terlalu besar, batas antar laki-laki dan perempuan begitu bias. Tiba-tiba pandangannya terhenti pada sosok perempuan yang tadi bertabrakan dengannya. Ia sedang melaksanakan sholat, cadarnya dibuka. Ya Allah! hampir saja Alisa berteriak. Kaget merasuk dasar hatinya. Kali ini ia betul-betul tak salah lihat. Dugaannya tepat. Hanya saja, perempuan itu wajahnya sedikit berubah, karena bekas luka bakar di area pipi sebelah kanan bersambung ke hidung dan dagunya. Tak terasa, Alisa meneteskan air matanya. Sekitar pukul dua siang lewat sepuluh menit, Alisa tiba di RSPG Cisarua Bogor. Rumah sakit ini tidak terlalu megah, bangunannya tampak biasa saja. Di depan pintu masuk, terdapat kerangka ilustrasi paru-paru, menegaskan rumah sakit ini memang menjadi rujukan pengobatan paruparu dari berbagi daerah, terutama Jabodetabek dan sekitarnya. Alisa turun dari mobil taksi online yang disewanya. Kini ia berada tepat di lobi utama rumah sakit. “Permisi, Pak. Ruang Melati di sebelah mana, ya?” tanya Alisa kepada petugas. Tampak petugas itu memberi informasi dengan rinci. Alisa mengangguk-angguk tanda mengerti. Ruang Melati 1A. Tulisan di depan pintu itu dibacanya. Alisa merasa lega. Akhirnya ia menemukannya juga setelah lebih dari sepuluh menit berjalan menyusuri koridor demi koridor. Ternyata letak ruang melati memang berada hampir paling ujung. Rasa penasaran dan rindu berkejaran di dadanya. Alangkah beruntungnya ia bisa kembali ditakdirkan bertemu dengan sahabatnya, Aziza. Namun, kesedihan tak bisa disembunyikan, mengingat pertemuan pertama setelah belasan tahun ini harus terjadi di sebuah rumah sakit dalam kondisi Aziza yang menyedihkan. Alisa membuka pintu perlahan. Ruangan sangat sepi. Hanya terlihat seorang pasien yang sedang tertidur pulas. Alat infus dan oksigen terpasang di tubuhnya. Alisa mendekat. “Aziza, apakah ini kamu?” Alisa tak kuasa membendung tangisnya. Air matanya mengalir menganak sungai. Dipandanginya tubuh Aziza yang tampak sangat kurus. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang begitu dalam. Kesedihannya tetap tampak walaupun dalam keadaan tertidur. Dibacanya papan nama untuk memastikan. Betul, ini Aziza. Alisa spontan memeluk Aziza, sehingga ia kaget dan terbangun. “Kak A-lisa?” Suaranya terdengar lirih. “Iya, Sayang. Ini aku, Alisa. Aku datang ke sini, setelah membaca surat darimu,” jawab Alisa sambil menyeka air mata. “A-aku tidak bisa berbicara banyak, surat itu sudah mewakili semuanya. Terima kasih sudah bersedia.” Aziza berbicara dengan terbata. Sejujurnya, Alisa belum bisa menerima begitu saja tawaran Aziza. Bagaimana mungkin dia akan menikah dengan orang yang sama sekali belum dikenalnya. Namun, dalam kondisi Aziza yang kritis seperti ini, mana mungkin ia tega menyatakan penolakan. “Tenang, Aziza. Kamu jangan berpikiran buruk, kamu harus sembuh ya, Sayang. Kamu harus kuat.” Alisa mencoba memberi semangat. Aziza menggeleng. “Sepertinya waktuku tinggal sedikit.” Aziza batuk terus menerus. Ia meminta Alisa melepas oksigennya. Kali ini batuknya disertai darah. Alisa panik. “Jangan panik. Ini sudah biasa. Darah yang keluar saat batukku sudah tak terhitung jumlahnya. Tuberculosis paru-paru yang aku alami ini sudah sangat parah. Aku sudah menjalani pengobatan hampir sembilan bulan ini, suamiku dengan setia mendampingi. Kami jauh-jauh ke Bogor berikhtiar maksimal demi kesembuhanku. Tapi, hasilnya tetap tidak memuaskan. Semenjak menikah denganku, aku belum pernah memberinya kebahagiaan. Malah penyakit ini yang kupersembahkan untuknya.” Matanya berkaca-kaca. Sepertinya ia mati-matian menahannya agar tangisnya tak tumpah di depan Alisa. Ia ingin terlihat kuat. “Suamimu pernah marah dengan kondisi ini?” Tiba-tiba saja pertanyaan ini terlontar tanpa komando. “Ia tidak pernah marah, walaupun dalam kondisi yang sangat lelah. Ia sangat lembut dan penyayang, maka aku jaminkan padamu persahabatan kita. Aku berani bertaruh, dia lelaki terbaik yang pernah aku temukan di bumi ini.” Aziza kembali batuk parah. Alisa tidak tega melihatnya. “Sekarang ia sedang menebus obat untukku,” lanjut Aziza semakin terdengar parau. Alisa termenung sesaat. Aziza beruntung memiliki suami yang sangat sabar dan pengertian terhadapnya. Mungkin begitulah Allah menunjukan keadilannya. Di balik setiap ujian yang menimpa Aziza, Allah sertakan pasangan yang setia mendampinginya dalam setiap kondisi. “Sebentar lagi dia datang. Bersiaplah bertemu dengan jodohmu, Kak Alisa!” Suara Aziza kini terdengar seperti ultimatum. Alisa bingung harus menjawab apa. Bagaimana kalau ternyata Alisa tidak cocok dengan lakilaki itu. Bagaimana mungkin ia menikah tanpa kecocokan. Alisa memalingkan pandangan ke arah gelas kosong yang ada di meja kecil di samping tempat tidur Aziza. Begitulah perumpamaan hatinya saat ini, kosong, seperti gelas tanpa isi.