
by Titikoma

Jus Mangga
Alisa keluar dari musala sekitar pukul empat sore. Sengaja ia berlamalama di sana untuk sekedar istirahat. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi batinnya juga sangat lelah. Ia berkaca diri, menyusuri kejadian demi kejadian yang begitu cepat. Betapa hebat takdir telah membawanya sampai ke titik ini. Kehilangan banyak hal dalam hidup membuatnya semakin matang. Segala ujian dan nikmat yang ia terima, telah membawanya kepada transformasi hidup yang mungkin tak semua orang bisa dapatkan. Biar bagaimana pun, Alisa adalah manusia biasa. Ia pernah merasa terpuruk ketika harus kehilangan ayahnya, disusul kehidupan rumah tangga yang jauh dari harapan, lalu ditinggalkan ibunya, bahkan ia harus kehilangan calon anak keduanya. Lalu pada akhirnya, rumah tangga yang sempat diperjuangkan pun kandas begitu saja. Hari ini, Alisa menemukan kembali beberapa bagian dari hatinya yang sempat hilang. Adalah Reyhan, laki-laki yang pernah menghuni hatinya di masa lalu, kini Allah takdirkan ia datang kembali di hidup Alisa. Setelah sekian lama, mereka berusaha saling melupakan, namun pertemuan ini membuat usaha itu sia-sia. Ada bunga bermekaran di dalam dada mereka tanpa izin pemiliknya. Walaupun demikian, Alisa tidak bisa menjamin betulkah ini jodohnya atau sekedar harapan kosong. Maka, ia tidak berani terlalu menaruh harapan lebih. Ah, betapa cinta membuat hal yang sederhana menjadi seolah rumit tak terkira. Demi menjaga suasana dan perasaan, Alisa ingin mengembalikan niatnya datang kemari, semata adalah untuk menjenguk Aziza, sahabatnya yang sedang sakit parah. Tanpa ada embel-embel niat yang lain, kendati Reyhan kini hadir kembali di hatinya, itu tak lagi jadi prioritas. Bismillah. Batin Alisa menancapkan niat yang ikhlas. Mendoakan segala kebaikan untuk Aziza. Perlahan, dilangkahkannya kaki ke luar musala. Ia kembali berjalan menyusuri koridor demi koridor, menuju Ruang Melati. “Permisi, Teh.” Seseorang menghampiri Alisa yang sedang berjalan. Dari pakaiannya, Alisa menduga ia adalah petugas kebersihan yang sedang piket. “Ya, Pak. Ada apa?” “Anu, Teh. Saya mendapat amanat dari seseorang, suruh menyampaikan ke Teteh. Katanya Teteh ditunggu di kantin itu,” jawabnya sambil menunjuk ke arah selatan. Alisa memandang lurus, ternyata memang ada kantin di sana. “Baik, Pak. Terima kasih.” “Sama-sama, Teh.” Tak membuang waktu, Alisa segera berjalan menuju ke kantin tersebut. Tentunya ia sudah bisa menebak siapa orang yang sedang menunggunya. Kantin sudah di depan mata. Pandangan Alisa mencari-cari orang yang sedang menunggunya. Saat bersamaan, pandangannya bertemu dengan Reyhan yang sedang membawakan dua gelas jus mangga ke arahnya. Entah bagaimana mulanya, adegan yang biasa saja ini tiba-tiba berubah menjadi adegan slow motion seperti di film-film. Gamis Alisa yang lebar dan indah serta kerudungnya yang panjang menjuntai, seolah menari-nari tertiup angin sore yang menyegarkan. Astaghfirullah. Alisa menundukkan pandangannya. Reyhan menghampiri, lalu menarik bangku terdekat, dan menaruh dua gelas itu di meja yang ada di depannya. Seolah dikomando, kini mereka duduk saling berhadapan satu sama lain. “Tadi aku ke musala, habis salat aku nunggu kamu, kok lama nggak keluarkeluar dari ruang salat wanita?” “Aku lelah, tadi butuh istirahat sebentar,” jawab Alisa “Ada yang ingin aku bicarakan, Alisa,” ucap Reyhan sambil memandang Alisa. Alisa lebih banyak menunduk. Sungguh, dalam kondisi ini, hatinya sangat rawan ternodai. Niatnya bisa kacau balau. Reyhan punya sejuta jurus menaklukkan Alisa, hanya dari satu pandangan saja. “Ya, silakan,” jawab Alisa seperlunya. “Ini tentang Neng Fatma ... uhmmm, maksudku Aziza.” Ucapan Reyhan seketika memporak-porandakan hatinya. Ia, takut patah hati lagi. “Ya, aku tahu, kamu sangat mencintai Aziza, ‘kan?” Ya ampun. Alisa mengutuk dirinya. Kenapa harus bertanya seperti itu. Apa urusannya? Sudah pasti Reyhan mencintai istrinya. Ia jadi malu sekarang. Reyhan memandangi Alisa. Alisa salah tingkah. “Jangan menatap aku seperti itu, ah. Aku nggak nyaman.” Alisa memalingkan pandangan ke arah gelas yang berisi jus mangga. Diraihnya gelas itu, lalu ia minum jus mangganya sampai tersisa setengah. Sungguh, rasanya jadi hambar. “Kamu memang tidak pernah berubah, Alisa.” Reyhan tersenyum manis. Alisa semakin kebingungan, kenapa harus seperti ini. Bunga-bunga itu semakin bermekaran di hatinya. Ya ampun, Alisa. Ingat niat. Ingat niat, batinnya berkilah. “Tidak pernah berubah bagaimana, maksud kamu?” tanya Alisa serius. “Dari dulu sampai sekarang, minuman favorit kamu tetap jus mangga. Tuh lihat, gelasnya sepertinya bocor, isinya sampai tinggal setengah begitu. Tidak berubah, ‘kan? Kalau dikasih jus mangga, pasti gelasnya langsung bocor,” ujar Reyhan sambil tertawa kecil. Tak terasa pipi Alisa memerah, ia tersipu. Diduganya Reyhan mau bicara serius. Tahunya hanya seputar jus mangga. Tapi, bukankah itu pembuktian bahwa hal sekecil apa pun dari Alisa, masih diingat Reyhan dengan detail. “Uuuhh udah ah, jangan bahas jus mangga. Katanya mau bicara tentang Aziza,” kata Alisa mencoba serius. Reyhan menghela napas sejenak. Ia seperti kebingungan harus mulai dari mana pembicaraan ini. “Begini, Alisa. Aziza meminta aku menyampaikan ini padamu.” “Baik, aku akan mendengarkannya,” kata Alisa. “Aziza merasa dia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tapi dia tidak bisa tenang jika belum mendapat kepastian tentang siapa yang akan menggantikan posisinya.” “Posisi?” Alisa pura-pura tidak mengerti. “Ya, posisinya sebagai istriku.” Reyhan mengusap keringat dingin di wajahnya yang mulai bercucuran. Ia merasakan saat ini seperti mengulang kejadian di masa lalu. Yaitu kejadian di rumahnya di Jakarta dulu, saat ia meminta keputusan Alisa, beberapa waktu sebelum akhirnya ia memutuskan pulang ke Bandung untuk menikah. Reyhan terlihat gugup. Ia mencoba menguatkan hatinya, ia sangat takut Alisa kembali menolaknya, membiarkan hatinya hancur kembali berkeping-keping, dan membiarkan bunga-bunga mawar di hatinya kembali berguguran. “Tapi, bukankah kamu sangat mencintai istrimu?” Alisa kembali memastikan. “Tentu,” jawab Reyhan singkat. “Ya, sudah. Cintailah istrimu sepenuh hati, Reyhan. Fokuskan pada kesembuhannya. Jangan dulu memikirkan apa yang belum terjadi. Aku mendoakan Aziza, semoga ia lekas sembuh.” Alisa berbicara dengan nada datar, membuat Reyhan semakin bimbang. “Tapi, Aziza melarang kita kembali ke ruangannya tanpa kepastian,” kata Reyhan seolah menunggu jawaban Alisa. “Aziza sedang galau. Kita yang harus memberinya semangat untuk sembuh. Aku tidak mau membicarakan yang lain dulu, Reyhan. Kuharap kau mengerti,” jawab Alisa. Reyhan menelan ludah, kehabisan kata-kata. Ia mengangguk pelan. Dilihatnya dalam bayangan, bunga-bunga mawarnya berjatuhan dari genggaman, kali ini lebih banyak, dan durinya menancap menyakitkan. Ia merasa Alisa sudah menghapus perasaan cinta kepadanya. Ia kembali patah hati. Ratusan kilometer jaraknya dari kota Bogor, di halaman sebuah rumah, terlihat seorang lelaki menghabiskan waktu bersama ibunya yang sakit. “Mama, ayo makan dulu ya. Aku suapin,” ucap lelaki itu sambil mengarahkan sendok ke mulut seorang ibu yang duduk termenung di kursi roda. “Aku kira kau tak akan pernah kembali ke sini, aku kira kau sudah melupakanku.” “Tidak, Ma. Aku tidak pernah melupakanmu. Perjalananku sungguh berat, aku selalu mengharapkan nasihat dan keridhoanmu. Maafkan aku yang selama ini banyak membantahmu. Maafkan aku jika proses pendewasaanku ini banyak membuatmu khawatir.” Lelaki itu terus menyuapi makanan ke mulut ibunya, berkali-kali mata keduanya tergenangi butiran tangis. Sesekali sang ibu menggenggam tangan anak lelakinya itu. “Jika sudah mantap, kembalilah padanya! Aku meridhoimu.” Tidak ada satu perempuan pun yang baik-baik saja ketika harus berbagi cinta. Meski begitu, dengan pongahnya mereka akan menerima. Sejatinya, begitu berhadapan dengan sujud, pecah tangis membanjiri doa.