Kepingan Hati Alisa

Reads
119
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Qobiltu

 Setelah berbulan-bulan menjalani pengobatan dan hasilnya tidak begitu signifikan, akhirnya tepat seminggu dari kedatangan Alisa waktu itu, Aziza memutuskan untuk pulang. Dokter mengizinkan, dengan syarat Aziza harus berobat jalan setiap satu minggu sekali. Sebagai seorang suami yang selalu siaga, Reyhan sebetulnya sangat khawatir jika Aziza harus pulang dengan kondisinya yang masih belum stabil. Ia takut tidak bisa memberikan perawatan yang terbaik kepada istrinya. Namun apa boleh buat, Aziza begitu yakin ingin pulang. “Aa, jangan khawatir. Aku pasti akan lebih baik jika berada di rumah, dekat dengan keluarga. Terus terang, selama di sini aku sering merindukan mereka. Mereka tidak bisa sering ke sini, karena toko di Bandung kan harus ada yang jaga.” “Oke, Sayang. Aa ngerti. Tapi batukmu gimana? Masih sering bercampur darah. Kalau di sini, kita bisa langsung minta tolong dokter atau suster. Kalau di rumah, Aa takut ga bisa berbuat banyak.” “Tenang, Aa. Jangan panik. Insya Allah semua baik-baik saja. Kalaupun nanti aku harus pergi lebih dulu, pasti akan tenang karena dekat dengan keluarga.” “Sayang, jangan bicara begitu lagi. Kamu nggak akan pergi ke mana-mana. Kamu akan sembuh.” Reyhan memeluk istrinya dengan erat dan penuh cinta. Sesaat kemudian, perawat datang ke ruangan untuk melepas alat-alat yang terpasang di tubuh Aziza. Dengan hati-hati, Aziza turun dari tempat tidurnya menuju kursi roda yang sudah ada di hadapannya. “Aa, aku siap untuk pulang,” kata Aziza sambil menatap nanar suaminya. Entah kenapa, Reyhan begitu kaget mendengar ucapan Aziza itu. Pulang? Apakah pulang dalam arti lain? Reyhan menghela napas dalam-dalam, ia tidak kuasa membayangkannya.  Semenjak pertemuan di rumah sakit itu, Alisa dan Reyhan jadi rajin berkabar, terutama membicarakan kesehatan Aziza. Alisa minta maaf tidak bisa lama-lama menemani Aziza, karena ada Fina dan keluarganya yang lain, yang sangat membutuhkannya. Aziza dan Reyhan memaklumi. Justru mereka sangat berterima kasih karena Alisa sudah menyempatkan waktu dan tenaga, jauh-jauh dari Jakarta ke Bogor hanya untuk menjenguk Aziza. Rey, gimana kabar Aziza? Rencananya, besok aku mau menjenguk Aziza lagi ke Bogor. Besok kan tanggal merah. Alisa mengirimkan pesan kepada Reyhan. Panggilan ‘Rey’ membuat Reyhan senyum-senyum sendiri mengingat kenangan masa lalu. Dulu, Alisa memang sangat senang memanggilnya Rey. Reyhan pun sering membalas dengan panggilan khusus juga, yaitu Al. Setelah sekian lama, Alisa melupakan itu, sekarang ia mulai menggunakan lagi panggilan khusus itu. Reyhan, tentu saja dibuat ‘baper’. Sepertinya mereka memang sedikit terjebak nostalgia. Rey: Maaf, Al. Aziza sudah dua hari ada di Bandung, dia udah nggak sabar pengen pulang, kangen sama keluarga katanya. Alisa: Hmmm, kukira masih dirawat di Bogor, Rey. Apa sudah membaik kondisinya? Rey: Belum, Al. Malah batuknya tambah parah. Tapi dia tetap kekeuh mau pulang. Alisa: Jaga dia baik-baik ya, Rey. Rey: Siap, Bos! Alisa: Hehe, Siap, Pak Dosen! Reyhan semringah membaca balasan Alisa itu. Memang betul Reyhan dosen di UPI Bandung sekarang, tapi kalau Alisa yang memanggilnya seperti itu, rasanya jadi lebih dari sekadar dosen. Rey: Al ... Alisa: Iya, Rey … Rey: Al …  Alisa: Kenapa, Rey? Reyhan senyum-senyum sendiri sambil memeluk guling di tempat tidurnya. Rey: Al, boleh nggak sih kita memendam rindu sama seseorang yang bukan istri kita? Alisa: Nggak boleh lah, Rey! Rey: Kenapa? Alisa: Dosa, tahu! Alisa tersenyum simpul. Ia tahu Reyhan memberi kode keras. Tapi sayangnya, waktunya belum tepat. Alisa: Oh ya, Rey. Salam ya buat Aziza. Nanti besok aku ke Bandung aja. Boleh, ‘kan? Rey: Tentu saja boleh, sangat boleh. Alisa: Makasih, Rey. Rey: Sama-sama, Al. Maaf ya kalau bercandaan aku tadi ada yang kurang berkenan di hati kamu. Alisa: Oh, jadi tadi cuma bercanda? Rey: Ih nggak, maksudnya bukan gitu. Alisa: Jadi, serius? Rey: Serius. Sangat serius. Alisa: Kamu tega ya, istrimu lagi sakit malah ngegombalin aku, huh, dasar laki-laki! Rey: Aziza yang suruh aku kaya gini, Al. Katanya dia belum tenang kalau kamu belum bisa memastikan jawabannya, bersedia atau tidak menjadi ... uhm, aku malu ngomongnya lagi. Alisa: Hehe, aku bersedia. Rey: Are you sure?  Rehyan kaget bukan kepalang. Alisa: Ya, aku bersedia, Rey. Aku bersedia mendengarkan kamu mengulang omonganmu lagi. Rey: Yahhh kirain … Alisa: Kirain apa? Rey: Kirain bersedia menjadi istriku. Reyhan menunggu balasan Alisa. Satu, dua, tiga menit tidak ada balasan. Rey : Al, kamu marah? Al, maaf … Al, jangan marah ... Ga masalah kalau kamu belum siap. Tidak ada balasan. Bahkan pesan Reyhan sama sekali tidak dibaca oleh Alisa. Reyhan jadi merasa bersalah. Mungkin ia terlalu lancang.  Alisa termenung seorang diri di kamarnya. Ia pandangi ponsel yang dipenuhi oleh chat Reyhan. Bagaimana bisa mereka menjadi sangat dekat seperti ini. Bukankah seharusnya Alisa lebih bisa mengendalikan perasaannya. Bukan malah mengumbarnya walaupun itu sekedar melalui ponsel. Alisa begitu menyesal. Ia merasa bersalah jika harus mengkhianati Aziza. Walaupun di mulutnya Aziza berkata setuju bahkan meminta Alisa untuk menjadi penggantinya, tapi Alisa yakin hati Aziza sebetulnya terluka. Ditinggalkannya smartphone keluaran terbaru itu tergeletak di atas meja. Ini sudah jam delapan malam. Alisa bergegas mengambil wudu dan melaksanakan salat isya. Kali ini, entah mengapa ia merasakan salatnya begitu dipenuhi getaran yang sangat hebat. Sujud terakhirnya menjadi lebih panjang dari biasanya. Selesai salat, ia memanjangkan zikir dan doanya. Ditumpahkannya segala doa dan harapan yang selama ini ia pendam dalam hatinya. Ia merasa lega setelah menggantungkan segalanya itu hanya kepada Allah semata. Ia melanjutkan dengan tilawah Qurannya, tepat di surat ini ia berhenti sejenak meresapi maknanya. “Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).” (QS. An-Nuur : 25) Alisa menghela napas sejenak, teringat semua perjalanan panjang yang ia lalui sampai di titik ini. Seketika melintas dalam bayangannya sosok Metta yang bertemu dengannya di stasiun siang itu. Metta selalu mengulangulang kalimat ini: “Allah Maha Adil!” Betapa pun hatinya memaafkan tentu Alisa tidak bisa melupakan begitu saja perlakuan mantan suami dan madunya itu. Ia sering menangis kala teringat masa-masa itu, saat ia menjadi wanita paling tidak diharapkan, saat ia dituduh berbuat nista, saat cemburu buta membuat suaminya gelap mata memfitnahnya. Alisa menarik napas sedalam-dalamnya, lalu mengembuskannya perlahan. Ia lanjutkan membaca ayat berikutnya, kembali ia resapi makna ayat tersebut. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah  untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” ((QS. An-Nuur : 26) Alisa terisak dalam tilawahnya. Ayat-ayat Qouliyah (Firman Allah) yang ia baca kini sangat sejalan dengan ayat-ayat Kauniyah (kenyataan atau rangkaian peristiwa) yang ada di hadapannya. “Ya Robbii … semoga aku termasuk hamba-Mu yang mendapat ampunan dan rezeki yang mulia (surga). Aamiin.” Alisa mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya yang sembab. Setelah ini, ia harus semakin siap dengan takdir yang akan dijalaninya. Usai salat dan berdoa, Alisa merapikan mukena dana sajadahnya. Ia sejenak merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Kemudian, ia duduk dan meraih laptopnya. Ia berencana menyelesaikan beberapa tulisannya yang tertunda. Baru saja ia menulis setengah halaman, tiba-tiba matanya melihat ke arah ponselnya yang bergetar-getar di atas meja. Ponsel itu memang sedang dalam mode getar saja sehingga tidak ada nada dering. REYHAN CALLING Ia baru menyadari rupanya sudah ada 11 missed call dan sekitar 21 pesan masuk dari Reyhan. Alisa mencoba mengangkat panggilannya. Mungkin kali ini penting. Masa iya Reyhan sampai seperti itu jika hanya masalah sepele. “Assalamu’alaikum, Reyhan.” “Wa’alaikumsalam. Al, aku minta maaf jika tadi ada chatku yang kurang sopan.” “Tidak masalah. Sudah ya, jangan terlalu dipikirkan.” “Terima kasih, Al.” “Sama-sama, Rey.” “Hmm … Al, Aziza sekarang kritis. Tapi dia nggak mau dibawa ke rumah sakit.” “Ya Allah. Paksa dia, Rey. Bawa dia ke rumah sakit!”  “Nggak bisa, Al. Dia nggak mau. Dia cuma pengen kamu ke sini, katanya.” “Tapi ini sudah malam, Rey. Besok pagi-pagi sekali aku ke sana.” “Al, ini Aziza mau bicara.” “Ha-lo, Kak A-lisa.” Terdengar suara Aziza yang sangat parau dan terbatabata. Alisa merasakan nyeri yang begitu hebat saat mendengar suara Aziza. “Iya, Sayang. Aku di sini. Aku kangen sama kamu. Besok aku ke Bandung, ya?” Sepi. Tidak ada suara apa-apa di ujung telepon sana. “Hallo, Azizaa …” Terdengar suara batuk yang begitu parah dan menyakitkan siapapun yang mendengarnya. Batuk itu berulang-ulang bahkan sampai pada titik nadirnya, Aziza sesak napas. Alisa menahan air mata. “Aziza, Sayang. Kamu baik-baik saja, ‘kan?” Terdengar suara berisik, samar-samar terdengar suara Aziza yang semakin lemah mengucap “Allah … Allah …” “Reyhan, hallo Reyhan. Kalian masih di sana?” Alisa terus bicara. Tapi tidak ada jawaban yang jelas. Di dengarnya begitu banyak suara orang bergemuruh. Samar-samar terdengar suara tangisan dan jerit histeris. Tiba-tiba sambungan terputus. Ya Allah, ada apa? Alisa bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah saatsaat yang sering dibicarakan Aziza itu kini telah tiba. Apakah Izrail sudah menjemputnya. Apakah Reyhan tegar menghadapi semua ini. Alisa: Rey, ada apa? Kenapa terputus? Alisa mengirimkan pesan berharap segera mendapat jawaban. Tapi hasilnya nihil. Alisa mencoba menelepon. Kemudian, tersambung. Tapi yang mengangkat bukan suara Reyhan maupun Aziza. Hallo. Ini siapa? Suara di ujung telepon itu terdengar sedih, ada isak tersisa dari nada bicaranya.  “Hallo. Saya Alisa, temannya Reyhan dan Aziza hmmm maksud saya Fatma.” “Maaf, Kak Alisa. Saya Adit adiknya Teh Fatma. Maaf saya mau kasih kabar, Teteh saya udah meninggal barusan. Aa Reyhan pingsan.” “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Adit, tolong kirim alamat kalian di Bandung. Sekarang, ya!” “Baik, Kak.” Alisa gemetar mendengar kabar duka itu. Ia segera menutup sambungan telepon. Hatinya sudah tak keruan. Betul firasatnya. Ia percaya masalah hidup dan mati adalah mutlak urusan Tuhan. Tapi, mengapa harus secepat ini. Alisa menyandarkan tubuhnya, pertahanan hatinya mulai roboh. Ia mulai menangis sesenggukan.  Pukul dua dini hari, mobil Alisa baru bisa memasuki Kawasan Bandung. Besok dan lusa memang tanggal merah dua hari, jadi banyak orang memanfaatkannya untuk berlibur. Sehingga mobil-mobil plat B mulai memenuhi jalan walaupun ini malam hari. Tak terbayang bagaimana macetnya kalau siang hari. Aldo mulai menguap beberapa kali saat menyetir. “Aldo, biar Kakak aja yang gantian nyetir. Kamu bisa istirahat dulu, kamu harus tidur walau hanya setengah jam!” “Nggak usah, Kak. Biar aku yang nyetir sampai tujuan. Kakak lagi sedih begitu, justru aku khawatir kalau Kakak yang nyetir,” kata Aldo. “Ya sudah kalau begitu. Tapi jangan dipaksakan ya, bilang saja kalau kamu capek.” “Siap, Kak. Oh iya, tolong cek lagi GPSnya, berapa lama lagi kita sampai ke tujuan?” “Hmmm masih sekitar 45 menit lagi,” jawab Alisa. “Oke, Kak. Serahkan semua sama Aldo. Insya Allah, kita tiba di sana nggak sampe setengah jam lagi. Mumpung jalanan mulai kosong, Aldo ngebut, ya.” Aldo tancap gas. Alisa menggeleng sambil tersenyum kecil melihat semangat adiknya yang sangat senang karena akan bertemu sosok idolanya, Aa Reyhan. Sesekali Alisa memantau ke kursi penumpang di belakang, tampak Mbok Darmi, Fina, dan Alan yang kompak terlelap. Mereka memutuskan untuk ikut semuanya ke Bandung, dan mengosongkan rumah di Jakarta.  Langit masih tampak gelap saat mobil Alisa terparkir di halaman depan rumah Reyhan yang cukup luas. Bendera kuning terpasang di sana, seirama dengan suasana yang agak sepi dan mencekam, mungkin orangorang sedang istirahat sejenak. Semua turun dari mobil, mengikuti Alisa yang berjalan cepat menuju pintu depan rumah tersebut yang sedikit terbuka. Semakin dekat, terdengar suara laki-laki membaca Al-Quran dengan tartil dan merdu. Sesekali nada suaranya terdengar sangat rendah dan lemah. Kini Alisa berdiri di ambang pintu. Dilihatnya lelaki itu adalah Reyhan. Matanya terlihat sangat bengkak. Mungkin akibat menangis semalaman. Ia sedang menunggui jenazah istrinya yang sudah rapi tertutup kain. Tampak seorang wanita paruh baya yang membersamai Reyhan. Ia adalah Wa Lilis, ibunya Aziza. “Assalamu’alaikum.” Alisa mengucap salam sambil tangannya mengggendong Fina yang terlihat masih mengantuk. “Waalaikumussalam.” Reyhan menutup dan menyimpan Al-Quran yang sedang ia baca. Selanjutnya ia menoleh ke arah Alisa dan keluarga. Alisa menghampiri Reyhan. Lalu, mendekat dan membuka kain penutup jenazah. Dilihatnya jenazah Aziza secara seksama. Wajahnya seolah tersenyum, menyiratkan kematian tidak lagi menakutkan baginya. Alisa terkagum. “Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afihaa wa’fu’anha.” Reyhan mengaminkan. Alisa mencium kening Aziza. Lalu, menutupkan kembali kain seperti semula. Alisa mendekati Reyhan seraya berbisik. “Bersabarlah dengan kesabaran yang ikhlas. Ini sudah menjadi ketetapan Allah yang tiada pernah bisa diubah, walaupun kita menolak sekuat tenaga.” Saat itu, ingin rasanya Reyhan menghambur ke pelukan Alisa untuk meminta dikuatkan, namun ia sadar mereka bukan mahram. Reyhan hanya mengangguk sambil disekanya air mata yang masih menetes perlahan. Ia sudah tak pedulikan rasa malu saat meneteskan air mata, baginya laki-laki pun berhak menangis. Tiba-tiba Wa Lilis menghampiri mereka. Alisa menyalaminya dan  tersenyum ramah kepada mertua Reyhan tersebut. Hanya dalam sekejap mata, Alisa bisa menduga bahwa Wa Lilis adalah seorang ibu yang ramah dan baik. “Neng Alisa ... perkenalkan, saya Lilis, Ibunya Fatma.” “Salam kenal, Bu. Saya Alisa.” “Saya sudah lama kenal kamu, Neng Alisa. Fatma sering cerita tentang kamu.” Wa Lilis terlihat sedih menyebut nama Fatma. “Wa, punten, bilangnya Aziza aja, atuh. Alisa lebih terbiasa menyebut Aziza,” kata Reyhan dengan nada sopan. “Tak apa-apa, Reyhan.” Alisa tersenyum. “Oh iya, sama aja. Aziza atau Fatma tetap nama yang baik, insya Allah husnul khotimah.” Wa Lilis menyunggingkan senyum manis di bibirnya. “Oh iya, tunggu sebentar, ada sesuatu.” Sesaat kemudian, Wa Lilis tergesa-gesa masuk ke kamarnya. Alisa dan keluarganya mengambil posisi duduk. Aldo dan Reyhan berbincangbincang ringan untuk mencairkan suasana. Alan dan Mbok Darmi membaca ayat suci. Fina dengan lucunya mengikuti bacaan mereka. “Alisa, Reyhan.” Wa Lilis keluar dari kamar, lalu memanggil keduanya. “Bisa ke mari sebentar. Ini ada surat. Putriku menitipkan ini tiga hari yang lalu.” Alisa dan Reyhan menghampiri Wa Lilis. Mereka membaca surat itu bersamaan. Setelahnya, mereka kaget tak terkira. Mereka saling memandangi. Wajah mereka terlihat gugup bersamaan dengan semilir angin dini hari yang menusuk jiwa.  “Qobiltu nikaahaha wa tazwijahaa bil mahril madzkur.” Para saksi mengucapkan kata ‘sah’. Hamdallah menggema di ruangan. Inilah pernikahan tergetir yang pernah mereka saksikan. Pernikahan yang terjadi atas wasiat seorang istri yang meninggal. Wasiat itu berupa perintah untuk melangsungkan pernikahan sesaat sebelum keranda mayat diusung ke tempat pemakaman. Dua puluh lima Rajab pukul delapan pagi ini, pernikahan mereka dilaksanakan secara mendadak, hampir tanpa persiapan. Alisa tak kuasa menahan tangis. Aldo menepuk-nepuk punggungnya. “Selamat ya, Kak. Aku bangga bisa menjadi wali atas pernikahan Kakak dengan seseorang yang kukagumi, yaitu Aa Reyhan.” Alisa menyeka air matanya. Aldo mengangkat kedua tangannya seraya berdoa. “Barokallahu laka, wa baroka ‘alaika, wa jama’a bainakumaa fii khair.” “Aamiin. Terima kasih, Aldo,” jawab Reyhan. Reyhan menatap Alisa. Seharusnya ia sudah bisa memeluk Alisa sekarang. Impiannya selama ini akhirnya terwujud. Namun, ada getir dan pilu yang mereka rasakan saat mengingat hari pernikahan ini merupakan hari terakhir mereka menatap jasad Aziza. Reyhan menunda pelukannya terhadap Alisa. Setelah mengucapkan rangkaian ucapan selamat yang sangat sederhana, semua berbaris mengantar Aziza ke tempat pemakaman. Selamat jalan, Aziza. Istri sholihah sepertimu layak masuk surga dari pintu mana saja yang kau mau. Aku ridho kepadamu. Reyhan berkata dalam hatinya, seraya mengantarkan Aziza dengan ribuan doa.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices