
by Titikoma

Hadiah Dari Tuhan
Senja telah menurunkan tirainya di langit sebelah barat. Sayup azan magrib terdengar dari kejauhan. Rumah ini kini sepi, menyisakan dua butir rasa yang berlawanan tapi terjadi bersamaan di hari ini, yakni kematian dan pernikahan. Sepasang pengantin baru yang seharusnya memadu kasih ini pun justru menghabiskan malam tanpa kebersamaan satu sama lain. Mereka tetap tidur terpisah. Alisa tidur di kamar tamu Bersama Fina dan Mbok Darmi. Sedangkan Reyhan tidur di kamarnya, ditemani Alan dan Aldo. Ada rasa tidak enak di benak Reyhan jika malam pertamanya ditinggal Aziza justru ia lewati dengan suka-suka. Ia pun tetap ingin menjaga perasaan Wa Asep dan Wa Lilis, mertuanya. Kesabaran dan kebaikan mereka sungguh sudah lebih dari cukup terhadap Reyhan. Mana bisa ia membuat hati keduanya tak nyaman. Rey: Al, maaf ya, kita nggak bisa sama-sama dulu sekarang. Reyhan mengirim pesan kepada Alisa, padahal mereka hanya terpisah satu kamar saja. Alisa: Nggak masalah. Kamu istirahat yang cukup, ya. Alisa sebetulnya jauh lebih mengerti tentang kondisi ini, ia bersyukur Reyhan memiliki inisiatif lebih dulu. Rey: Al, bunga mawarku bermekaran. Alisa tersenyum simpul membacanya Alisa: Bunganya sekarang ada di mana, Rey? Rey: Di hatimu, Al. Betul saja, bunga itu bermekaran tak terkendali di hati Alisa yang selama ini sepi. Rey: Al … Alisa: Iya, Rey … Rey: Boleh bilang sesuatu? 110 108 Alisa: Boleh. Rey: Aku … uhm, malu lagi ngomongnya. Alisa: Kenapa mesti malu? Rey: Takut kamu marah. Alisa: Kenapa mesti marah? Rey: Hehe … Aku sayang kamu, Al. Aku cinta kamu, Al. Dulu, sekarang, dan selamanya. Pipi Alisa mendadak merona. Alisa: Sama, Rey. Aku mencintaimu, bahkan lebih lama dari dulu, sekarang, dan selamanya. Reyhan kegirangan, memeluk guling, lalu menggigit bibir bawahnya, sambil senyum-senyum sendiri. “Aa, belum tidur?” Suara Aldo mengagetkan Reyhan, membuatnya jadi malu dan salah tingkah. Aldo tersenyum nakal. “Reyhan, nggak usah sungkan lagi, ya. Walaupun, tanah makam Fatma masih basah, tapi kamu berhak bahagia dengan Alisa. Bahkan itulah yang Fatma inginkan. Dia tak ingin kamu terpuruk,” kata Wa Asep di sela-sela obrolan hangat sore ini. Wa Lilis mengangguk-anggukan kepalanya tanda sependapat. “Iya, Reyhan. Jangan malu. Sudah tiga hari kalian menikah, masa belum tidur sekamar. He-he,” kata Wa Lilis sambil tersenyum penuh arti. “Tapi, Reyhan belum bisa, Wa. Masih sering keingetan Neng Fatma terus. Rasanya seperti … “Reyhan menarik napas sejenak. “Seperti ada rasa bersalah, gitu,” sambung Reyhan. “Tidak ada yang salah, Reyhan. Ini semua permintaan Fatma. Kamu boleh bersedih, tapi jangan berlebihan. Pikirkan perasaan Alisa. Jangan buat dia bersedih juga,” ucap Wa Lilis. “Besok kan Alisa dan keluarganya mau pulang ke Jakarta, kamu ikut aja, ya. Sekalian mau ngurus surat nikah, ‘kan? Barangkali kenangan tentang Fatma terlalu lekat di sini. Mungkin kalau di Jakarta, kamu bisa mulai fokus terhadap Alisa.” Wa Asep berbicara sambil sesekali menyeruput kopinya. “Terus di sini gimana? Kan masih berduka,” kata Reyhan. “Di sini banyak orang. Kamu nggak usah terlalu khawatir. Kematian itu tidak baik kalau terlalu diratapi. Doakan saja Fatma tenang di sana, diampuni segala dosanya, dijadikan ahli surga.” “Aamiin. Reyhan pasti terus mendoakannya, Wa. Baiklah kalau begitu, besok Reyhan ke Jakarta bersama keluarga Alisa. Mohon doa restu untuk rumah tangga kami, Wa.” “Tentu, Reyhan. Bahkan kami sudah memberikan doa restu sebelum kamu memintanya.” Reyhan menatap takzim pada kedua mertuanya tersebut. Mereka adalah malaikat tak bersayap yang selalu ada untuk Reyhan setelah kedua orang tuanya tiada. Seketika saja bulir bening menggenangi kedua matanya. Reyhan teringat kedua orang tuanya. Jika mereka ada, mungkin semua akan jauh lebih mudah dan lebih indah. Taufik berjalan pelan-pelan dengan kurang percaya diri. Dihampirinya rumah Alisa yang penuh kenangan ini. Sudah sekian lama ia tidak berjumpa dengan mantan istrinya itu, juga dengan putri kecilnya. Sesampainya di depan pintu yang tidak tertutup sempurna, ia hendak mengucapkan salam, tapi mengurungkannya. Ia kaget bukan kepalang menyaksikan Alisa sedang bersama seorang laki-laki, mereka duduk berdampingan dengan begitu mesra, hampir tak berjarak. Bahkan, ah mungkin Taufik merasa salah lihat, lelaki itu menggenggam tangan Alisa. Yang lebih membuat Taufik marah adalah tentang siapa laki-laki itu, dia adalah Reyhan, laki-laki yang sempat ia tuduh berselingkuh dengan Alisa saat itu. “Ooh … jadi betul dugaanku selama ini!” Tanpa aba-aba, Taufik mendekati Reyhan. Alisa kaget lalu bangkit dari duduknya. “Perempuan macam apa kau, sudah janda masih saja mau memasukkan laki-laki ini ke dalam rumah, bermesraan pula!” Taufik dipenuhi emosi yang memuncak. Alisa menggelengkan kepala tak menyangka Taufik yang sudah bukan siapa-siapa itu masih berani menyakitinya dengan kata-kata kasar. Rupanya teguran dari Allah belum cukup membuatnya berubah. Baru saja Alisa mau angkat bicara, Taufik sudah menarik kerah baju Reyhan. Didaratkannya dua pukulan tepat di pipi kanan dan bibir atas Reyhan. Reyhan yang tidak punya persiapan untuk membela pun tersungkur. Setetes darah segar mengucur dari bibirnya. Reyhan berbalik menatap Taufik dengan penuh amarah. Dia menatap tajam. Pukulan balasan dilayangkannya ke pelipis kiri Taufik. Taufik hampir ambruk, ia merasa pusing. “Pukulan ini tidak seberapa dibanding rasa sakit yang Alisa terima atas setiap ucapan dan perlakuanmu, Taufik!” Reyhan bernapas cepat, ia terengah-engah. Emosi dan sakit hati tercampur di dalam genggaman tangannya. Taufik menatap penuh kebencian. Ia hendak menyerang kembali, sampai akhirnya terhenti oleh jeritan Alisa. “Cukup! Cukuuuppp!” “Untuk apa kalian ribut-ribut, berkelahi seperti binatang!” “Taufik, kau harus tahu, Reyhan sudah menjadi suamiku. Puas?” Alisa berteriak parau. Taufik melotot kaget. Bola matanya seperti hendak lompat dari tempatnya. “Jangan bohong, kalian!” Taufik tidak percaya. “Untuk apa bohong. Kami baru menikah empat hari yang lalu di Bandung. Baru tadi siang kami sampai di rumah ini. Bahkan kami baru saja mau istirahat, eh malah ada kamu mengganggu. Iya kan, Sayang?” Alisa mengedipkan sebelah matanya ke arah Reyhan. Taufik tidak sanggup melihatnya. Wajahnya merah padam. Antara sakit hati, cemburu, dan malu bercampur di sana. Reyhan tersenyum penuh kemenangan. “Jadi betul dugaanku selama ini, dulu kalian ada main!” Taufik masih saja menyerang dengan kata-katanya. Reyhan yang tak terima langsung berdiri dan mengepalkan kembali tangannya. Alisa langsung menghalanginya. “Sudahlah, Sayang. Jangan dilawan dengan emosi juga. Lebih baik, kita jelaskan baik-baik kronologisnya biar dia paham.” Alisa menarik Reyhan untuk duduk kembali. Terlihat Mbok Darmi dan Fina menyembul di balik kamar. “Ayaaahhh …” Fina berlari menghampiri Taufik. Seketika emosi Taufik mereda. Ia menggendong Fina ke pangkuannya lalu mengecupnya. Alisa meminta Mbok Darmi membuatkan minum dan membawakan makanan ringan untuk mereka semua. “Fina, Sayang. Temenin Mbok Darmi bikin minuman dulu ya di dapur. Bunda mau bicara bertiga dulu sama Ayah dan Abi Reyhan.” Taufik langsung mencebik saat mendengar Reyhan dipanggil Abi. Rasa cemburunya masih saja menetap. “Iya, Bunda.” Fina menurut dan turun dari pangkuan ayahnya. Ia langsung menyusul Mbok Darmi ke dapur. Alisa menjelaskan kronologi kejadian dengan sangat hati-hati. Mulai dari klarifikasi bahwa dirinya dengan Reyhan tidak pernah berselingkuh, lalu tentang pernikahan Reyhan dengan Aziza, penyakit Aziza, dan amanat Aziza. Semua Alisa ceritakan dengan sangat tenang dan penuh wibawa. Ia sadar, emosi hanya akan membuat semuanya berantakan. Terbukti dengan cara itu, Taufik mulai bisa memahami. Reyhan ikut bicara menguatkan semua keterangan Alisa. Sebagai seorang dosen dan lulusan kampus ternama luar negeri, tentu saja sebetulnya Reyhan memiliki kemampuan bicara yang mumpuni. Ketenangan dan wibawanya juga kembali datang seiring emosinya yang mereda. “Saya minta maaf, Mas,” kata Reyhan dengan lapang dada memulai meminta maaf terlebih dahulu. Baginya dengan meminta maaf, bukan berarti ia sepenuhnya salah. Itu adalah akhlak mulia, dan tak akan menjadikannya hina. “Justru saya yang harus minta maaf. Saya jadi malu sudah berbuat seperti tadi. Terus terang, saya emosi.” Taufik mengulurkan tangannya. Reyhan menyambutnya. Mereka berbincang-bincang ke sana ke mari. Alisa lega melihatnya. Bukankah damai itu jauh lebih indah? *** “Jadi, besok jam berapa kita berangkat, Mas?” tanya Reyhan pada Taufik yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Taufik menjawab pertanyaan Reyhan sambil mengelus-elus pipi putri kecilnya yang sudah tertidur lelap di pangkuannya. “Sekitar jam sepuluh pagi. Bisa, ‘kan?” “Oke. Saya bisa, Mas,” jawab Reyhan. Alisa meraih Fina dari pangkuan Taufik, ia hendak memindahkannya ke kamar. “Ehm, yang sudah akrab, kedengerannya mau janjian besok. Mau pada ke mana nih? Kok nggak ngajakin?” “Percayalah. Ini urusan laki-laki!” Reyhan menyunggingkan senyuman manis pada istrinya. Taufik tertawa kecil. “Huh!” Alisa mendengus kesal sambil berlalu menggendong Fina. Malam yang sangat dingin. Semua penghuni rumah sudah terlelap dalam buaian. Alisa masih sibuk mengompres bekas-bekas luka di wajah suaminya akibat emosi yang liar sore tadi. “Aduh, pelan-pelan, Sayang!” Reyhan memegangi lukanya yang sedikit memar. “Ini udah pelan, kok.” “Harus pake perasaan dong.” Reyhan menggodanya. “Ini udah pake.” “Kurang sedikit lagi.” “Kurang apaan?” “Hmmm … apa ya?” Reyhan mengedipkan mata. “Alah, modus nih!” Alisa cemberut. “Ada loh obat yang langsung manjur kalau memar di wajah gini.” “Apaan? Beli di mana?” tanya Alisa. “Nggak usah beli. Obatnya ada di sini. Ready stock. Hehe.” “Obat apaan?” Reyhan menyentuh bibir Alisa perlahan dengan jari telunjuknya. “Maaf ya, ini obatnya.” Bibir Alisa bergetar hebat, rasanya tubuhnya menggigil sekarang. Padahal, Reyhan hanya memainkan telunjuknya menyusuri bibir Alisa yang gemetar ini. Bagaimana kalau Reyhan melakukan hal yang lebih. “Bisa mati aku!” pekik Alisa keceplosan. “Siapa yang mati, Sayang?” Reyhan melepaskan kembali telunjuknya lalu salah tingkah. Alisa menunduk malu-malu. “Eh, nggak. Itu TV-nya belum dimatiin.” Alisa berkilah. “Baiklah, selain TV, apa perlu lampunya juga dimatiin?” Kali ini tatapan Reyhan lebih dari sekedar menggoda. Reyhan mengajak Alisa berwudu, lalu salat dua rakaat. Setelahnya, Alisa duduk di sampingnya dengan segenap perasaan yang berkumpul. Ia tak pernah menyangka hari ini akan tiba juga. Ia pernah mengubur dalamdalam harapannya terhadap laki-laki yang kini menjadi suaminya itu. Ternyata, setelah tawakalnya dihujamkan, Allah menghadiahinya takdir yang begitu indah. “Kenapa ngelamun, Sayang?” Reyhan mendekati istrinya. “Eh, nggak apa-apa. Kamu ganteng.” Tiba-tiba saja kata-kata itu yang keluar dari mulut Alisa membuat Reyhan semakin bersemangat untuk melanjutkan kegiatan malam ini. “Makasih pujiannya, Sayang. Kamu juga cantik. Boleh aku melakukannya malam ini?” Reyhan menatap lekat istrinya. Alisa tersipu dan mengangguk, tentu saja ia sudah paham kemana keromantisan ini akan bermuara. Mereka bukan orang yang baru mengenal pernikahan. Mereka hanya mulai lupa bagaimana caranya membiasakan kembali, dengan orang yang berbeda dari sebelumnya. Reyhan menyentuh kepala Alisa dan mengecup keningnya. Ia memegang ubun-ubun Alisa seraya mengucap rangkaian doa. “Allahumma inni as-aluka min khoirihaa wa khoiri maa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarri maa jabaltahaa ‘alaih.” “Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa.” Alisa memejamkan matanya. Ia merasakan getaran hebat di sekujur tubuhnya. Ia meresapi setiap sentuhan dari pemilik bunga mawar yang bermekaran ini. Alisa merasakan seperti ada aliran listrik yang luar biasa saat Reyhan mendaratkan sebuah ciuman mesra di bibirnya. Inilah ciuman pertama dengan cinta pertamanya ini. Alisa merespons dengan baik setiap sentuhan Reyhan di tubuhnya. Ia meremas bagian belakang baju suaminya. Reyhan menggendong Alisa ke tempat tidurnya. Lalu, dituntaskannya segala hasrat dan perasaan yang membuatnya merasa menjadi laki-laki paling beruntung di dunia ini. Malam begitu cerah, bintang-bintang berbinar dan berkedipan manja. Mereka seperti sudah menyepakati bersama, tak boleh pulang lebih awal malam ini. Biarlah langit tempat peraduannya, kini menjadi dekat dengan bumi. Bintang-bintang menjadi saksi, hadiah Tuhan untuk sepasang kekasih yang saling menjaga kesucian diri dan bersabar atas setiap rangkaian ujian dan ketetapan Ilahi. Perempuan yang menunggu bukan berarti dia tidak mau berusaha. Bagi seorang perempuan, menunggu adalah hal bermartabat. Karena tunggunya bukan sekadar tunggu. Doa senantiasa membanjiri relung hatinya, sebagai senjata yang menguatkan.