Kepingan Hati Alisa

Reads
107
Votes
0
Parts
21
Vote
by Titikoma

Ajari Aku Hijrah

Pagi yang dingin ini, Reyhan seperti enggan jauh-jauh dari kekasih halalnya. Ke mana Alisa pergi, dia ikuti. Bahkan sampai ke dapur. “Ya ampun, Sayang. Aku cuma mau ngambil minum kok masih ngikutin juga?” Kata Alisa yang terlihat berseri-seri. “Apa nggak boleh? Aku takut kamu hilang diculik orang.” Reyhan menjawab sambil tertawa. Membuat leher jenjangnya terlihat semakin seksi. Alisa menggeleng-gelengkan kepala. Sebegitunya Reyhan tergila-gila. Alisa mengambil gelas lalu memasukkan air hangat dan mencelupkan teh. Baru saja ia mau menambahkan gula, tiba-tiba Reyhan memeluknya dari belakang. Alisa kaget, tapi hatinya berbunga-bunga. Reyhan memang paling jago kalau urusan menggoda. “Jangan kebanyakan gulanya, Sayang. Nanti diabetes. Ngeliat wajah kamu aja udah gejala diabetes nih aku,” kata Reyhan sambil mengeratkan pelukannya. Alisa hanya bisa tersenyum menahan geli. Reyhan menarik napas panjang di bahu Alisa. Kemudian menciumi rambut Alisa yang belum sepenuhnya kering. Aroma wangi sampo menjalar membuatnya semakin salah tingkah lagi. Memang, jika boleh jujur Reyhan sempat terpana menyaksikan Alisa pertama kali melepas kerudungnya tadi malam. Baginya, bidadari pun tak akan bisa menyaingi. Ia senang dan bangga kini mahkota cantik milik Alisa itu hanya bisa dilihat dan dibelai olehnya. “Kamu baru aja gejala. Aku nih dari semalam udah positif diabetes kayaknya.” Alisa mencubit pinggang suaminya. “Apa iya?” Reyhan mengernyitkan dahi. “Iya, lah, gombalan kamu terlalu manis, Sayang. Bikin aku positif diabetes!” “Ha-ha-ha.” Reyhan terbahak-bahak. “Tapi, ini diabetes cinta kan, namanya?” Alisa memiringkan wajahnya. Reyhan tak tahan untuk segera mengecup bibir istrinya. Baru juga sedetik, Mbok Darmi masuk ke dapur. “Eh, maaf,” Kata Mbok Darmi balik lagi keluar. Segera Alisa dan Reyhan melepas pelukannya. Mereka saling memandangi lalu tertawa bersamaan. “Gara-gara kamu sih. Kasihan kan Mbok Darmi harus melihat adegan delapan belas plus,” kata Alisa sambil mencubit pipi suaminya, gemas. “Lah, Mbok Darmi emangnya di bawah delapan belas tahun?” Reyhan menjawab dengan terkikih. “Iya lah. Mbok Darmi itu baru lima belas tahun, tahu!” “Masa?” “Serius. Dia baru lima belas tahun, saat empat puluh tahun yang lalu.” Mereka tertawa bersamaan. Mbok Darmi menyembul lagi dari pintu dapur. “Hayo, pengantin baru nih ngomongin si Mbok ya?” Mbok Darmi memasang wajah diseram-seramkan, tapi sama sekali tidak seram. Malah membuat mereka berdua semakin ingin tertawa. Lama-lama Reyhan tidak kuat menahan tawanya. Akhirnya tawanya lepas juga. “Ampun, Mbok. Kita cuma becanda.” Mbok Darmi tertawa cekikikan. Begitulah ia, sudah seperti anggota keluarga. Kehadirannya betul-betul menjadi pelengkap keluarga Alisa yang sempat sepi tanpa kehadiran orang tua. “Si Mbok ganggu ya?” tanya Mbok Darmi malu-malu. “Nah kalau yang itu emang betul, bukan becanda, si Mbok ganggu pisan. Ha-ha-ha.” “Lagian Den Reyhan, ajak Non Alisa ke kamar dong, jangan di sini. Nggak enak kan banyak iklan di sini. Kasihan tuh semut-semut merah yang berbaris di dinding menatapmu curiga.” Mbok Darmi tertawa lagi. “Ha-ha, Mbok ini, lagi nyanyi rupanya.” Reyhan menatap Alisa penuh arti. Dilingkarkannya tangan kanannya di pinggang Alisa. Mereka berjalan menuju kamarnya yang masih lekat dengan aroma cinta. Mumpung Fina lagi asik bermain di halaman depan dengan Aldo dan Alan, jadinya Reyhan berinisiatif memanfaatkan waktunya yang begitu ‘berharga’ ini. Mbok Darmi menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat sepasang  kekasih halal itu semakin menghilang di balik pintu kamar. “Dasar sepasang kekasih yang lagi dimabuk cinta, sampai lupa ini bikin teh manis buat siapa, sayang kan nggak diminum. Ya sudah, si Mbok yang minum aja deh, lumayan haus liat orang kasmaran. He-he!” Sejurus kemudian, air teh manis itu ludes tak bersisa. Pukul setengah sepuluh pagi, Alisa dan Reyhan sudah mandi kembali. Rupanya hari itu mereka menjadi rajin mandi. Setelah mandi dan berwudu, mereka melaksanakan salat duha. Setelah itu, mereka kompak menuju ruang keluarga untuk menonton televisi sambil sarapan talam ubi buatan Mbok Darmi. Sarapan ini jadi sedikit terlambat, gara-gara ada aktivitas penting lain yang tidak bisa ditunda. Bisa gawat kalau ditunda. Begitu pikir Reyhan sambil tersenyum penuh makna. Reyhan bercerita panjang lebar kepada Alisa mengenai pembicaraannya dengan Taufik sore kemarin. Ternyata pembicaraan itu tentang Metta. “Jadi, kamu ceritakan tentang perjumpaanku dengan Metta di stasiun Bogor waktu itu?” tanya Alisa “Iya, Sayang. Bukan itu saja, aku juga ceritakan bahwa Metta sekarang mengajar di sekolah Islam milik Ustazah Inayah itu. Makanya aku menawarkan untuk mengantarnya ke sana. Kebetulan kan, suaminya Ustazah Inayah itu kakak tingkat aku waktu S2 di IIUM. Aku mau ke sana sekalian silaturahmi juga. Kamu mau ikut?” “Boleh, deh. Aku juga kangen sama Metta. Dia berubah banget, loh. Kayaknya hijrahnya totalitas banget. Oh iya, kamu tanya nggak sama Mas Taufik tentang status pernikahan mereka, sebetulnya udah cerai atau belum?” “Iya, aku tanya juga. Katanya Mas Taufik belum menceraikannya. Ia hanya pergi untuk menenangkan diri sambil mengurus Mamanya yang sedang sakit di Cilacap, Jawa Tengah.” “Iya, Mamanya Mas Taufik memang udah sakit-sakitan, Sayang. Aku juga udah lama nggak kesana, karena lumayan jauh juga sih. Kasihan Fina juga sering nanyain kabar neneknya.” “Tenang, Sayang. Nanti kalau udah ada waktu luang, kita silaturahmi ke sana ya. Aku juga kan harus kenal sama mertua kamu. Nggak pernah ada mantan mertua, Sayang. Mereka itu orang tua kita. Apalagi kedua orang tua kandung kita sudah tiada, maka kita harus sepenuh hati berbakti sama Neneknya Fina, anggap aja mereka seperti orang tua kandung kita. Sama seperti aku berbakti pada Wa Asep dan Wa Lilis.” “Ya, Sayang. Makasih banget.” Alisa memeluk suaminya dengan penuh cinta dan kekaguman yang tiada henti pada laki-laki satu ini. “Sama-sama, Sayang. Yuk siap-siap. Bentar lagi jam sepuluh. Kita bawa Fina juga ya.”  Tubuh pria berjanggut lumayan tebal ini tampak gagah dengan tinggi di atas rata-rata. Dialah Ustaz Hanif, suami Ustazah Inayah. Ia yang menyambut rombongan Reyhan dari awal kedatangan di sekolah ini sekitar sepuluh menit yang lalu. Mungkin tepatnya ini bukan hanya sekolah, tetapi juga Pondok Pesantren. Wajahnya hangat sekali. Jejak keilmuan dan ketawadukan terukir dalam senyuman tulusnya. “Tunggu sebentar ya, Akhi. Istri ana belum pulang dari Cibinong. Tadi ada pengajian. Ukhti Metta juga ikut.” “Iya, nggak apa-apa, Akhi. Kami juga sambil istirahat di sini.” “Akhi Reyhan, antum makin gagah aja, nih. Udah lama kita nggak ketemu ya. Ngajar di mana sekarang antum?” “Ah, antum bisa aja. Ana ngajar di UPI, Akhi. Antum hebat ya, udah punya Lembaga Pendidikan sendiri.” Reyhan begitu takjub melihat sekelilingnya. Bangunan yang terbilang megah, dan santri-santri yang berlalu lalang dengan pakaian rapi menandakan keberhasilan lembaga ini. Pembicaraan mereka terpotong dengan suara salam seorang wanita. “Assalamu’alaikum, Eh ada tamu, Abu?” Ustazah Inayah menghampiri suaminya. “Wa’alaikumsalam, Iya, Ummu. Ini tamu jauh, dari Jakarta. Ini teman Abu, Akhi Reyhan, dulu sama-sama pejuang beasiswa IIUM.” Ustazah Inayah menyambut dengan ramah. Terlihat sekali akhlak suami istri ini begitu mempesona. Alisa sampai-sampai dibuat takjub. “Oh iya, ini Akhi Taufik. Suaminya Ukhti Metta, Ummu.” Taufik mengangguk sambil tersenyum. Tampak sekali, raut muka Ustazah Inayah sedikit berubah. Ada rasa tertahan di wajahnya. Mungkin ia tahu banyak tentang Taufik dari Metta. Sedikit berbasa-basi, Ustazah Inayah berlalu. Kemudian kembali ke ruangan dengan mengajak serta Metta. Metta sangat canggung. Sudah lebih dari tiga bulan ia tak bertemu dengan suaminya ini. Sekuat apapun pertahanannya akhirnya ia rapuh juga. Anehnya, Ia malah menghambur ke pelukan Alisa, bukan ke pelukan Taufik. Alisa mengelus-elus punggung Metta dengan tulus.  “Setelah ini, bolehkah aku kembali bersamamu? Aku sudah meminta nasihat Mama, dan dia menyarankan aku kembali padamu. Maafkan aku yang telah meninggalkanmu dalam kondisi terpuruk kemarin, aku sangat ketakutan, aku sangat khawatir menghadapi takdir. Sekarang aku mengaku salah, aku pengecut, Metta!” Taufik memandangi istrinya yang masih saja menunduk. Kini mereka berada di ruangan terpisah dengan yang lain. Sengaja Ustazah Inayah memfasilitasi ini, agar sepasang suami istri ini bisa bebas berbicara apapun untuk kebaikan rumah tangga mereka. “Jadi, Mamamu sudah mulai merestuiku? Bukannya dulu beliau tak pernah mau bertemu denganku karena menurutnya aku tak lebih dari wanita murahan perebut suami orang?” Metta menitikkan air mata mengingat masa lalunya. “Mama sudah berubah, Metta. Aku sudah menceritakan semuanya. Dia sekarang sedang sakit, kemarin aku merawatnya di sana. Dia sangat ingin melihatku bahagia dan memperbaiki semuanya.” “Apa kamu masih mencintaiku dengan kondisiku yang seperti ini, Mas? Aku sudah tak sempurna lagi. Wajahku tak cantik lagi.” Metta masih melelehkan tangis dari sepasang matanya. Perlahan dibukanya kain niqab yang menutupi wajahnya. “Seperti ini, Mas?” tanya Metta meyakinkan. Taufik sudah tahu. Ia tidak kaget lagi. “Bahkan, cintaku padamu jauh lebih besar dari sebelumnya. Jika dulu, aku mencintaimu atas alasan kecantikanmu. Maka sekarang, aku tak lagi butuh alasan untuk mencintaimu,” ucap Taufik. Metta terisak. Taufik mendekati wajahnya. Diperhatikannya lekat-lekat wajah istrinya itu dengan penuh rasa sayang. Tanpa peduli dengan bekas luka bakar itu, Taufik menciumi wajah Metta berulang-ulang. “Aku mencintaimu, Metta. Sangat mencintaimu.” Metta tak kuasa menahan diri. Ia menenggelamkan diri dan air matanya di dada Taufik yang bidang. Metta merasakan kedamaian itu menghampirinya lagi. Rasa cintanya memang tak pernah surut kepada laki-laki ini. Sempat ia pesimis dan mengira semuanya telah berakhir. Ternyata, hari ini Allah menunjukkan kekuasaannya. Hijrahnya berbalas kebahagiaan.  “Ajari aku hijrah sepertimu, Honey. Aku ingin tinggal bersamamu di sini, mengajar anak-anak dan mendampingi mereka. Aku sudah tak lagi berambisi memiliki anak laki-laki. Biarkan saja takdir Allah yang akan mengaturnya, sesuai kehendak-Nya. Toh di sini banyak anak-anak santri laki-laki maupun perempuan yang akan menjadi anak kita juga. Aku juga ingin memperbaiki ibadahku. Aku akan belajar kepada Ustaz Hanif.” Metta mendengarkan dengan seksama pernyataan Taufik yang penuh ketulusan ini. Diciuminya kedua tangan suaminya itu dengan rasa penuh penghormatan dan kekaguman. Ia takjub. Air matanya meluncur deras sampai mengenai baju Taufik. Taufik mengusap-usap kepala istrinya dengan penuh kemesraan. Kehangatan ini semakin menyadarkannya betapa dosa di masa lalu telah banyak menutup kesucian cintanya. Metta memekikkan takbir dalam hati. Dipadukan dengan hamdallah yang tak henti. Ia sangat bersyukur betapa Allah kini sangat mencintainya. Ia menangis haru, meyakini bahwa segala puji hanya bagi Allah, yang maha membolak-balikkan hati manusia.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices