
by Titikoma

Ketemu Dia Lagi
Mataku terbelalak melihat layar computer di redaksi majalah tempat bekerja. Ampun deh, naskah cerpen yang masuk ke email redaksi bejibun. “Ivana, help me! Naskah di email banyak banget!” teriakku. Meja kerja Ivana ada di seberangku. “Apa sih lo Dev berisik aja! Ganggu gue tahu,” sahut Rista, rekan kerjaku yang lain. Meja kerja Rista itu ada di sebelah meja kerja Ivana. Jabatannnya di redaksi majalah ini adalah sebagai editor artikel. “Tahu tuh si Devi. Udah tau gue tugasnya sebagai pe-layout majalah, malah teriak-teriak minta tolong sama gue. Mana bisa coba gue bantuin dia.” kali ini Ivana yang menyahut. Aku menepuk jidat sendiri. Baru ingat tugas Ivana itu sebagai pe-layout majalah. Sekarang aku hanya bisa pasrah untuk download dan membaca naskah cerpen di email satu-persatu. Mau gimana lagi coba di kantor redaksi majalah ini cuma aku editor cerpennya. “Selamat pagi semuanya!” tiba-tiba terdengar suara bass seorang lelaki. Suara yang sangat familiar di telingaku sekaligus paling horor di dunia. Mendadak firasat buruk menyelimuti hatiku. Aku menoleh ke sumber suara. Damn! Benar kan dugaanku, firasat buruk bakal jadi kenyataan. Telah berdiri tegak seorang pria berumur sekitar 50 tahunan. Beliau masih dengan kumis tebalnya, perut buncit dan kepala botaknya. Siapa lagi coba? Beliau adalah pemilik redaksi majalah ini. Hatiku bertanya-tanya, ngapain beliau ke sini? Beliau itu jarang banget datang ke sini, kalau datang saat memecat karyawan. Aku semakin takut. Hawa panas pun menyerang tubuhku padahal di ruangan ini ada AC-nya. “Semoga hari ini bukan hari terakhirku bekerja di redaksi majalah ini,” doaku dalam hati. “Hay, kok pada tegang gitu liatin saya? Santai aja kali! Saya dating ke sini bukan untuk memecat karyawan kok,” ujar bos besar. Aku bernapas lega. Dalam hati mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya aku selamat dari pemecatan. “Oh ya semuanya, saya dating ke sini ingin memperkenalkan pada kalian hari ini ada karyawan baru yang bekerja di redaksi majalah ini. Kebetulan dia ponakan saya sendiri. Adipati Dimas silakan masuk!” sambung bos besar lagi. Wajahku berubah jadi ceria lagi. Senangnya hatiku hari ini. Pucuk dicinta ulampun tiba. Setelah 1 tahun aku bekerja di redaksi majalah baru kali ini bos besar membawa karyawan cowok. Aku berharap karyawan tersebut ganteng dan ditugaskan sebagai editor cerpen juga. Jadi kan aku nggak pusing sendirian. Cling! Muncullah seorang cowok sekitar umur 20 tahunan. Aku memandanginya dari ujung rambut ke ujung kaki. Cowok itu nggak seperti aku harapkan. Fisiknya itu tinggi kayak tiang listrik, kurus kering, berkulit hitam, hidungnya mancung ke dalam. Tapi Tuhan maha Adil di balik fisiknya yang banyak kekurangan dia punya satu kelebihan. Dan kelebihan itu terletak di bibir. Ya, ampun bibirnya manis mirip bibir Adipati Dolken. Kok aku ngerasa pernah ketemu cowok itu sebelumnya ya? Tapi di mana? Ah, sudahlah. Pusing aku mengingat-ingatnya. Paling juga karena wajahnya pasaran. “Loh, kamu kan?” ujar cowok itu. Tangan kirinya menujuk ke arahku. Tuh, kan benar dugaanku. Aku sama cowok itu pernah ketemui sebelumnya. Aku menatap wajahnya sekali lagi. Tapi kali ini menatapnya lekat-lekat dan dari jarak dekat. “Astaga! Kamu kan cowok yang kemarin nabrak aku di taman Suropati.?” Jeritku setelah berhasil mengingatnya. “Oh iya benar. Kamu kan cewek judes yang bertabrakan ma aku? Kenalin namaku Adipati Dimas, namamu?” ujarnya. Ia mengulirkan tangannya. Mau tak mau kali ini aku harus berkenalan dengannya. Dia kan sekarang jadi rekan kerjaku dan ponakan bos besar pula. “Devi Anggraini,” jawabku datar. Tangan kananku menjabat tangan Adipati Dimas. Aku kaget bukan main, karena tangan Adipati Dimas kasarnya minta ampuin. Kayak tangan buruh bangunan. “Kok bisa ya bos besar punya ponakan modelnya kayak Adipati Dimas? Bos besar kan keturunan China gitu.” “Syukurlah kalau sudah kenal. Dimas, kamu di sini bertugas sebagai editor cerpen. Jadi kamu bekerja sama Devi. Berhubung semua sudah beres, saya tinggal dulu. Terima kasih atas perhatiannya, silakan kembali melanjutkan kerja!” ujar bos besar. Bos besar pun melangkahkan kaki keluar dari ruangan redaksi majalah. Aku tak menyangka harapanku secepat ini dikabulkan Tuhan. Tapi kenapa Adipati Dimas yang ditugaskan jadi editor cerpen bareng aku? Baru beberapa detik setelah bos besar keluar. Suasana ruangan berubah jadi rusuh seperti pasar ikan. “Ciyeeeee … Devi sekarang punya pasangan baru,” ledek Rista. “Tuh kan, gue bilang juga apa, lo sama cowok yang nabrak lo kemarin itu jodoh. Tuh buktinya sekarang dipertemukan lagi,” Ivana ikut-ikutan meledek. Aku melihat-lihat barang yang ada di meja kerjaku. Siapa tahu bisa kulempar ke Ivana dan Rista. Biar mulutnya diam. Mataku tertuju sama kertas HVS kosong. Kuambil kertas itu lalu kubentuk jadi bola setelah selesai langsung kulempar bola kertas ke Ivana. Tapi sayang nggak kena. “Nggak kena wek!” ujar Ivana sambil menjulurkan lidah. “Udah jangan berantem! Kan kata bos besar kita kembali kerja. Kalau masih rebut gue laporin bos lho,” sahut salah satu rekan kerjaku. Akhirnya ada juga yang melerai pertengkaranku dengan Ivana. Mulut Ivana langsung diam. Syukurlah kalau begitu. Aku bisa kerja dengan tenang tanpa ocehan Ivana. Semoga Adipati Dimas orangnya nggak cerewet dan bisa bekerja sama denganku.