Kesempurnaan Cintamu

Reads
135
Votes
0
Parts
26
Vote
by Titikoma

Firasat Buruk

Aku pusing melihat Ivana sedari tadi mondar-mandir nggak jelas di depan meja kerjanya. Harusnya kan dia sekarang sudah siap-siap buka computer buat layout artikel majalah. Soalnya esok majalah sudah siap terbit dan diedarkan. “Aduh, Van lo kenapa sih mondar-mandir nggak jelas gitu? Pusing tau gue liat lo!” tegurku. Kalau nggak ditegur, Ivana makin parah mondar-mandir nggak jelasnya. Aku memanyunkan bibir 5 cm. Pagi-pagi Ivana sudah bikin mood jelek. “Dev, lo mah enak ditugaskan jadi editor cerpen jadi nggak ngerasain penderitaan gue!” jawab Ivana ketus. Dari jawabannya jelas Ivana lagi ngelantur bin nggak nyambung. Apa hubungannya coba aku ditugaskan jadi editor cerpen dan penderitaannya hari ini? Aku geleng-geleng kepala. Dasar, Ivana ada-ada aja. Ivana mendekati meja kerjaku. Aku siap-siap tutup kuping. “Deviiiiii, lo kok diem aja sih? Bantuin gue kek memecahkan penderitaan gue hari ini!” teriak Ivana. “Lha, gimana caranya gue bantuin lo, lo-nya aja nggak cerita tentang penderitaan lo.” Ivana menyengir kayak kuda poni yang ada di Yogyakarta. “Hehehe …, sorry gue lupa cerita. Abis gue setres berat jam segini si Rista dan Elyana belum dating juga. Lo tau kan esok majalah sudah harus siap diedarkan? Kalau mereka hari ini nggak masuk tamatlah riwayat gue! Gue bakal kena semprot abis-abisan ma bos besar atau lebih parahnya lagi gue langsung di the end dari kantor ini!” cerocos Ivana panjang lebar. “Serius? Elyana dan Rista nggak masuk kantor?” pandanganku beralih ke meja kerja Rista. Benar, mejanya kosong. Tumben-tumben Rista bolos kerja? Dia kan termasuk karyawan teladan di kantor ini. Dia nggak pernah telat dating, kalau lagi sakit pasti memberi kabar ke aku. Meskipun aku kadang kesal dengan mulut cerewetnya Rista tapi kalau dia nggak masuk kerja, kantor jadi sepi. Ada apa dengan Rista ya? Mendadak bebagai firasat buruk menyelimuti  hatiku, gara-gara ketidakhadiran Rista dan Elyana di kantor ini. Elyana itu ditugaskan sebagai orang yang meliput tentang pariwisata di Indonesia. Sedangkan Rista tugasnya mengedit hasil liputan dari Elyana. Sebelum majalah terbit, mereka berdua harus menyerahkan tugas ke Ivana terlebih dahulu buat di-layout. Nah, mereka nggak masuk otomatis kerjaan Ivana terbengkalai. Kasiha Ivana, sayang aku nggak bisa membantu. Eh, tunggu. Kok aku merasa ada yang aneh ya? Dari tadi juga aku nggak dengar suara Dimas. Aku menoleh ke samping, seketika aku menemui Dimas dalam keadaan senyam-senyum nggak jelas. Wah, jangan-jangan ketidakhadiran Rista dan Elyana karena ulah Dimas. Ini nggak boleh dibiarin. Pletak! Jitakan jitu berhasil mendarat di kepala Dimas. Mataku melotot dan kedua tanganku berkacak di pinggang. “Woy, Dim pasti lo kan yang menculik Elyana dan Rista? Hayo, ngaku dimana lo menyembunyikan mereka!” seruku. Dimas malah manyun sambil mengusap-usap kepalanya. “Lo ngomong apa sih Dev? Sumpah, gue nggak ngerti. Muka baby face kayak gue mana ada tampang penculik. Lagian ngapain jug ague nyulik mereka?” Hoek! Mau muntah aku dengarnya. Di saat genting kayak gini Dimas masih aja narsisnya. “Terus kalau lo nggak nyulik mereka kenapa lo senyumsenyum nggak jelas?” tanyaku lagi. “Gue itu senyum-senyum sendiri karena …” ucapan menggantung. Ucapannya semakin membuatku penasaran saja. “Karena apa Dim?” Yang ditanya malah bengong kayak sapi ompong. “Maaf, mbak dan mas saya mengganggu kalian!” terdengar suara seorang lelaki. Aku menoleh ke sumber suara. Telah berdiri tegak seorang lelaki paruh baya, memegang kemoceng dan mengenakan seragam berwarna biru muda. OMG, ngapain si office boy makai nongol segala? Ini kan belum waktunya minum kopi? Kehadiran beliau semakin membuat hatiku nggak karuan. Firasat buruk  menghantuiku. “Mbak Devi dan mas Dimas kalian disuruh menghadap di ruangan pak direktur! Beliau sudah menunggu kalian,” ujar pak office boy lagi. Setelah berkata demikian beliau keluar dari ruangan ini. Tuh, kan feeling-ku nggak pernah salah. Firasat burukku sekarang jadi kenyataan. Nggak ada angin, nggak ada badai bos besar menyuruh aku dan Dimas menghadap di ruangannya. Bulu kudukku berdiri, jadi merinding sendiri. Bagiku menghadap bos besar itu lebih menakutkan daripada melihat makhluk halus. Huft, ini semua gara-gara ketidakhadiran Rista dan Elyana jadi semua karyawan pada kena omelan. Ya, Tuhan tolonglah hambamu ini! Jauhkan hamba dari godaan setan yang terkutuk. Doaku dalam hati. “Yuk, Dev kita menghadap ke bos besar! Kalau kita telat bisa-bisa bos besar makin mengamuk,” ujar Dimas. Ia menarik tanganku. Dengan berat hati aku bangkit dari tempat duduk dan mengikuti langkah Dimas. “Dev, hati-hati ya! Tenang aja gue pasti doain lo biar lo selamat dan hari ini bukan hari terakhir lo kerja di kantor ini!” teriak Ivana dari kejauhan. Ucapan Ivana membuat jadi semakin takut. Amit-amit jabang bayi jangan sampai hari ini hari terakhirku bekerja di kantor ini. Aku sudah terlanjur cinta dengan pekerjaan dan kantor ini, aku masih ingin lebih lama lagi di sini. Ruang Direktur Utama sudah terlihat di depan mataku. Aku menoleh kea rah Dimas. “Dim, kita sudah nyampe di ruangan direktur ya?” tanyaku. Dimas mengangguk pasti. Aku membalas anggukan Dimas dengan senyum merekah. Ini pertama kalinya aku tersenyum sama Dimas. Tapi senyumanku ini seolah-olah berkata, “Dim, lo aja ya yang mengetuk pintu ruangan bos besar. Please!” Dimas membalas senyumanku dengan senyuman juga. Wah, senangnya hatiku Dimas bisa diajak kerjasama dengan baik. Namun semenit kemudian Dimas menggelengkan kepala seolah-olah berkata, “Ogah, ah. Lo aja kali yang ngetuk pintunya.”  Ya, sudahlah sekali-kali mengalah dengan cowok. Dengan gemetar tanganku mengetuk pintu ruangan bos besar. “Selamat pagi, Pak. Saya Devi dan Dimas apakah bapak memanggil kami?” ucapku sopan. “Oh iya. Silakan masuk, pintu nggak dikunci kok! Sudah lama menunggu kalian.” Ceklek! Dimas membuka pintu ruangan bos besar. Huh, dasar Dimas! Giliran buka pintu aja dia laju daripada bus. Ketika pintu terbuka, aku melihat bos besar duduk santai di kursi kerajaannya. Dari wajahnya sih bos besar nggak lagi marah. “Om, ada apa ya memanggil kami?” kali ini Dimas yang bersuara. Dari tadi kek ngomong. “Devi, Dimas duduklah terlebih dahulu! Kalau ngobrol sambil dudukkan lebih tenang dan enak.” Aku dan Dimas menuruti perintah beliau. Kami duduk di kursi yang berhadapan dengan beliau. Jantungku tambah berdegup kencang. Keringat dingin mulai membanjiri keningku. Sumpah, takut banget. Takut hal buruk menimpaku dan Ivana. “Begini Dim dan Devi … sttt …, bla-blabla…” bos besar mulai menjelaskan tujuan beliau memanggil kami ke ruangannya. Kami mendengarkan dengan saksama. “Begitulah kiranya, gimana kalian mau kan memenuhi perintah saya?” Tanya bos besar setelah mengakhiri penjelasannya. Aku dan Dimas saling bertatapan. Sedetik kemudian, “Whats? Kita ditugaskan bersama di kota Malang?” teriak kami bersamaan. Kata bos besar tadi Rista dan Elyana itu nggak masuk karena merreka ambil cuti selama 1 minggu. Keluarga mereka lagi ditimpa musibah. Dan aku dan Dimas ditugaskan untuk menggantikan kerjaan mereka. Minggu depan jadwalnya meliput pariwisata di kota Malang. Aku ditugaskan menulis tentang pariwisatanya sedangkan Dimas  memotret gambar panorama pariwisatanya. Nggak habis piker deh kenapa coba bos besar memberi tugas seperti itu sama kami? Kayak nggak ada orang lain aja! Aku mengaruk kepala yang nggak gatal. Sumpah, aku dilemma. Bingung banget nih, apa yang harus aku lakukan? Kalau ditolak bos besar pasti mengamuk dan langsung memecatku tapi kalau diterima kemungkinan gajiku bakal ditambah bulan ini, resikonya tetap ada. Resikonya adalah Dimas berbuat macam-macam sama aku selama di Malang. Aku bergidik ngeri membayangkan hal itu terjadi. “Devi, kamu tenang saja Dimas nggak mungkin berbuat macam-macam sama kamu selama di Malang. Kalaupun dia berani berbuat macammacam sama kamu saya sendiri yang akan hukuman buat dia,” ujar bos besar seolah beliau tahu apa yang aku takutkan. Bos besar emang ajaib deh, selain jadi direktur beliau juga bisa membaca pikiran orang. “Ayolah, Devi dan Dimas kalian mau kan tugas di Malang?” pinta bos besar setengah merayu. Bos besar memakai jurus andalan yang biasa dipakai mamaku kalau aku menolak permintan beliau. Apalagi kalau bukan memasang wajah memelas. Awalnya sih aku tetap menolak tapi lama kelamaan luluh juga sama rayuan bos besar. Bos besar sih memakai wajah memelas segala, aku kan jadi nggak tega menolaknya. Ya, sudahlah nggak apa-apa kalinya pergi sama Dimas. Anggap aja kerja sambil liburan. Aku harus bisa professional. Akhirnya aku berkata, “Baiklah pak, saya dan Dimas bersedia tugas di Malang.” Wajah bos besar berubah jadi ceria. Beliau mengulurkan tangan dan aku membalas uluran tangan beliau. “Terimakasih ya Devi. Saya senang punya karyawan seperti kamu,” ujar bos besar memujiku. Aku jadi tersipu malu. Berhubung sudah tidak ada yang dibicarakan lagi aku dan Dimas keluar dari ruangan bos besar. Yang harus aku pikirkan adalah gimana cara menyampaikan hal ini ke Ivana? Aish, menyebalkan. Dia pasti semakin meledekku.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices