
by Titikoma

Epilog
Mataku kembali terbuka. Pemandangan yang kulihat pertama kali bukan
taman yang sangat indah dan wanita-wanita yang berparas jelita dengan
kecantikan yang luar biasa sempurna, dengan mata-mata mereka yang
jeli, lebar, dan berbinar melainkan langit-langit serta semua serba putih.
Dimana aku? Apakah aku sudah berada dalam surge?
Tiba-tiba bau obat menusuk indera penciumanku. Masa di surge ada
obat? Kalau di surge kan abadi, nggak ada yang sakit-sakitan lagi. Sesaat
aku sadar, aku berada di rumah sakit bukan di surge. Pertanyaannya siapa
yang membawaku ke sini? Seingatku, sebelum bunuh diri pintu kukunci
dan di kos pun lagi sepi nggak ada orang.
Tanpa sengaja tanganku menyentuh sebuah kulit. Aku menoleh ke
samping. Astaga! Dimas sedang tidur dalam posisi duduk. Ketiga kalinya
Dimas jadi pahlawan di hidupku.
Rasa bersalah pun menyelimuti hatiku. Ya, aku sama sekali nggak pernah
melihatnya dan selalu menolak cintanya. Padahal Dimas lah yang selalu
ada untukku terutama saat aku memerlukan pertolongan.
“Dim…” Aku memanggil Dimas lirih. Mata Dimas pelan-pelan terbuka.
Aku tersenyum manis.
“Devi, Alhamdulillah akhirnya lo sadar juga. Sumpah, gue khawatir banget.
Gue takut lo ninggalin gue.” Dimas berbicara tiada henti. “Oh, ya Dev lo
tunggu di sini sentar gue manggil dokter dulu buat memeriksa lo,” ujar
Dimas lagi.
Ketika Dimas berdiri dan hendak melangkahkan kaki aku menahan
tangannya seraya menggeleng kecil. “Nggak usah Dim! Yang aku perlukan
saat ini bukan dokter tapi kamu.”
Dahi Dimas berkerut, “Maksudmu Dev?”
“Aku ingin kamu yang selalu di sampingku untuk selamanya. Masih ingin
aku jadi istrimu?”
“Ya, masihlah. Hanya kamu yang aku cintai dan aku inginkan jadi istri.”
“Kalau gitu kamu bisa nggak melamarku lagi?” “Sekarang?”
“Tahun depan.” Dimas cengengesan. Ia pun menggenggam tanganku.
“Devi Anggraini, di rumah sakit ini akan menjadi saksi cintaku sama kamu.
Dev, will you merry me?”
“Ya, aku mau jadi istri Adipati Dimas. Dim, maafin aku ya selalu menolak
cintamu. Aku terlalu sibuk mengejar cinta yang jauh dan sesuai keinginan
sampai-sampai cinta yang ada di depan mata kuabaikan. Sekarang aku
hanya ingin cinta yang dapat menyempurnakan hidupku. Aku yakin
cintamu mampu melakukannya.”
“Nggak apa-apa kok yang penting sekarang kamu sudah mau jadi istriku.
Makasih ya Dev. I will always love you.”
“Dim, jangan pernah mengatakan I will always love you tapi katakanlah
Insya Allah, aku akan mencintaimu selamanya. Sebab Allah mampu
membolak-balikkan hati manusia dalam sejenap.”
Aku memang kecewa nggak jadi masuk surge. Tapi rasa kecewa tergantikan
oleh rasa bahagia. Bahagia telah menemukan cinta sejati. Aku sadar, Tak
ada manusia yang sempurna. Namun seseorang akan terlihat sempurna
ketika dia mencintaiku dengan tulus. Orang yang mencintaiku adalah
Dimas, semoga cintanya abadi untuk selamanya.
Cintamu adalah cahayaku
Cahaya yang selalu terangi hidupku
Kubahagia karena telah memilikimu
Hidupku terasa sempurna
Karena telah menemukanmu sebagai cinta sejatiku
Takkan kusiakan ketulusan cintamu
Dan takkan kunodai arti cinta yang kau beri
Aku melantunkan sebuah puisi untuk Dimas. Dimas tersenyum manis.
“Udah, deh nggak usah sok romantic. Lebih baik kamu istirahat dulu aja.”
“Ciyeee … yang habis lamaran. Kapan nih nikahannya?” ucap Ivana yang
tiba-tiba muncul di depan pintu kamar rumah sakit. “Ivana, sejak kapan kamu berdiri di situ.”
“Sejak dari tadi?”
“Kok aku nggak lihat kamu sih?”
“Ya, iyalah aku nggak kelihatan. Kalian kan lagi asyik bermesraan. Dunia
bagai milik kalian berdua. By the way any way busway kapan nih kalian
meresmikan hubungan alias meried?”
“Doain aja. Jika memang Dimas tercipta untukku, insya Allah cinta kami
akan bersatu dalam ikatan suci sebuah pernikahan.”
THE END