
by Titikoma

She-ledri
Benar saja dugaan Kara, sampai satu minggu berselang, olok-olok tentang kejadian memalukan itu belum juga berakhir. Venus dan Robertlah yang selalu menyibak luka lama itu. Seminggu berselang, masih banyak anakanak sekelasnya yang tersenyum geli saat Venus atau Robert mengulang lawakan tertidurnya Kara. Tapi ada juga yang mulai bosan, lantas mendiamkan. Di deret meja paling depan malah hanya memandang kasihan Kara. Sudah masuk jam kedua, Bu Olive masuk kelas dengan wajah semringah. Rambutnya yang panjang berayun tatkala kaki jenjangnya—yang mengenakan hak tinggi—melangkah menuju mejanya. Hari itu Bu Olive mengenakan setelan kemeja berwarna abu-abu berlengan panjang dipadu dengan rok hitam selutut. “Salamat, siang,” ucapnya bersahaja. Satu kelas kompak menjawab. “Bagaimana kabar kalian?” Kembali, mereka menjawab layaknya kelompok choir, yang bernyanyi di gereja. “Baik. Bagaimana, apakah kalian sudah berkenalan dengan objek penelitan kita di Jambi nanti?” Kali ini tidak ada yang menjawab. Satu-dua orang saling lirik dari tempat duduk masing-masing. Entah memang belum baca atau memang malumalu, sampai beberapa detik berlalu suasana kelas masih lengang. Kara yang sudah tahu sedikit tentang Pitta Seledri—oh, bukan. Pitta Schneideri maksudnya—pun masih diam seribu bahasa. Bu Olive mulai menilik murid-muridnya satu persatu sambil mengerutkan kening. Mereka yang ditatap takut-takut menatap balik, lebih memilih menunduk. “Jangan-jangan satu minggu ini kalian tidak baca sama sekali tentang Pitta Schneideri, ya?” Bu Olive menyelidik. Matanya tajam menatap wajahwajah muridnya. Kaki jenjangnya digerakkan ke depan, melangkah agak jauh ke belakang, melewati empat baris di depan. Dia kemudian berhenti di meja Venus. Venus, siswa bertipe malas yang kadang terlalu santai dengan banyak hal itu sedikit was-was saat Bu Olive datang ke arahnya. “Kamu tidak baca ya, Venus?” Tanyanya menyelidik. Yang ditanya takut-takut menatap gurunya. “Anu, Bu ….” “Anu, apa?” Tanya Olive galak. Siswa yang lain curi-curi pandang ke arah Venus yang tengah ditanyai guru Biologi mereka. Kara termasuk yang mencuri pandang, dia malah senang saat Bu Olive meninggikan intonasi suaranya. Ini pembalasan. Kau tahu, Venus? Tuhan selalu berlaku adil, pikirnya. “Itu, Bu—,” ucapan Venus terputus. Bu Olive menaikan satu alisnya ke atas, menunggu anak muridnya yang terkenal jahil itu menjawab. “Saya tidak membaca Pitta She-ledri, Bu.” Suara tertawa membahana seisi kelas, bahkan Olive pun tersenyum tatkala mendengar anak muridnya salah melafalkan kata Schneideri. Tapi itu tak lama, dia langsung menenangkan isi kelas. “Pitta Schneideri, Venus. Makanya kamu harus belajar!” ujar Bu Olive. Kali ini dia berbalik, melangkah ke depan sambil berkata, “Yang lain juga! Ibu sudah katakan silahkan kalian cari tahu profil dari objek yang akan kalian teliti nanti. Ibu tidak mau kalian ke sana dengan tidak mengenal siapa itu Pitta Schneideri. Mengerti?” Serempak mereka menjawab, “Mengerti.” “Oke, kita kenalan pakai nama lokal saja. Pitta Schneideri itu nama Indonesianya adalah Paok Schneider,” ucap Bu Olive. “Kara, apa kamu juga belum baca atau belum mencari tahu siapa itu Paok Schneider?” Kali ini Bu Olive bertanya pada Kara, si juara kelas. Saat ditatap, Kara merasa ciut. Dia terdiam, terlihat tagu-ragu. Gurunya yang menyadari itu kemudian seperti biasa, mengangkat sebelah garis alisnya ke atas—menyelidik. Kara mengangguk, “Sudah, Bu. Saya sudah baca.” “Oke Mrs. Swandara, silahkan jelaskan siapa itu Paok Schneider? Awas, jangan salah ucap! Paok Schneider, bukan Paok she-ledri,” katanya. Kelas kembali riuh oleh lenguhan siswa-siswi itu. Tinggalah Venus di meja paling pojok kanan mendengus sebal atas tingkah teman sekelas yang mengoloknya. “Baik, Bu,” jawaban Kara kemudian menghentikan keriuhan. Mereka antusias mendengar penjelasan Kara—siswi teladan yang citranya hampir runtuh seminggu lalu. Paok Schneider atau pitta Schneideri adalah jenis burung ekor pendek endemik Sumatera yang ditemukan kembali pada tahun 1980-an setelah menghilang dari pengamatan pakar burung selama 100 tahun lamanya. Penyebaran burung ini berada terbatas, di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, yakni Gunung Sibayak, Gunung Kerinci, Gunung Kaba, dan Gunung Dempu. Burung ini menghuni lantai hutan diketinggian 900-2.400 meter di atas permukaan laut. “Katanya, dulu kita bisa menemukan dengan mudah di sepanjang jalan setapak lembah Kerinci. Namun kini, kita harus menemukannya lebih naik ke atas dari Gunung kerinci,” ucap Kara di akhir penjelasan singkatnya. Teman sekelasnya terlihat berbisik-bisik mencoba menyamakan apa yang baru saja mereka dengar. 100 tahun menghilang menjadi topik bisik-bisik mereka. “Oke Kara, terima kasih penjelasan singkatnya!” Olive menepuk tangannya, sontak yang lain pun ikut tepuk tangan. “Jadi begitu anak-anak. Kita akan mengamati burung yang dulu pernah punah. Untuk teknis pengumpulan data Ibu akan kirimkan lewat surel dalam beberapa hari ke depan.” Beberapa anak mengajukan pertanyaan dan dijawab dengan sigap oleh Bu Olive si guru Biologi. Tidak lama berselang, bel penanda istirahat berbunyi. Mereka tergopoh-gopoh keluar kelas, pelajaran akan dilanjutkan kembali nanti, setelah jam istirahat. Pembahasan mengenai burung endemik sumatera yang menghebohkan itu agaknya mengurangi waktu bully Kara lebih cepat dari seharusnya. Teman sekelasnya lebih senang membicarakan topik Paok Schneider dibanding peristiwa memalukan Kara seminggu lalu. Belum lagi, ada beberapa anak yang justru mem-bully si siswa pirang yang nakal— Venus—yang salah menyebutkan kata Schneideri. Dua topik itu benarbenar menggerus perhatian orang-orang terhadap kekonyolan Kara seminggu lalu. Itu artinya, si gadis kuncir kuda yang hatinya paling lurus di satu sekolah itu, AMAN. Kara berjalan menyusuri koridor kelas yang menghubungkan kantin sekolah dengan ruang kelasnya. Tangan kanannya memegang segelas orange juice, sementara tangan kirinya tengah membuka lembar novel. Keterasingannya di sekolah ini membuatnya lebih suka berlama-lama di dalam kelas, menikmati segelas jus segar sambil membaca buku, entah itu buku pelajaran, novel ataupun komik. Paling-paling kalau suntuk dia akan membuka buku catatan bersampul cokelat kesayangannya, lantas menulis beberapa kata—mencoba menghilangkan gulananya. Sepanjang berjalan menyusuri koridor menuju kelas, telinganya tak henti-hentinya menangkap mereka yang tengah bergunjing. Dua siswi membicarakan siswa tampan yang kabarnya baru pinda ke sekolah mereka. Kelompok lainnya membicarakan Mega, adik tingkatnya yang sudah tiga kali dilabrak kakak tingkat karena dituduh merebut pacar kakak tingkat tersebut. Dan beberapa kelompok lain terlihat menggunjing seorang kakak kekas yang dalam setahun ini wajahnya dipenuhi jerawat. Mendengar itu, Kara mengedikkan bahunya—ngeri. Lantas dia segera mengambil langkah panjang-panjang agar segera sampai kelas dan mengenyahkan pembicaran-pembicaraan dari kelompok-kelompok penggosip yang begitu banyak di sekolahnya. Sampai di dalam kelas, mata Kara tertumbuk pada satu sosok yang sangat menyebalkan menurutnya—Venus. Si pirang itu sedang asik menyendiri, mendengarkan musik dari ponselnya. Kakinya dinaikkan ke atas meja, sementara bahunya bersandar pada kursi. Tumben nih, si bulepetan diam di kelas, pikir Kara. Dia melangkah saja menuju mejanya. Berusaha tidak menarik perhatian orang yang tengah duduk di belakang sana. “Eh, mandi nggak lo hari ini?” Kara mendengus kesal. Alih-alih bisa duduk dengan tenang seperti biasanya, Venus malah membuatnya kesal. Napasnya memburu, mencoba menahan emosi. Kalau dia sampai terpancing, bisa buruk lagi reputasinya. Seminggu lalu sudah cukup, pikirnya. “Jangan-jangan lo nggak mandi ya? Lupa lagi?” Venus kembali berucap. Kara masih mencoba mengatur napas, dengan kembali menyesap orange juice-nya. “Ye …, diajak ngomong malah diam. Gagu?” Kara membolak-balik halaman novelnya—tidak benar-benar baca. Konsentrasinya benar-benar pecah atas kelakuan Venus. “Akh, ternyata beneran gagu, ya?” Kara menyesap lagi minumannya. Kali ini banyak, hingga orange juice di gelas plastiknya kini hanya berisi es batu. “Laen kali kalau ke sekolah mandi. Bikin Bau aja!” Venus berucap lagi. Kali ini dengan intonasi suara yang kencang. Nampaknya dia kesal juga, bicaranya sama sekali tidak digubris Kara. “Oke, She-ledri,” Kara bergumam pelan. Tapi nampaknya Venus mendengar jelas apa yang baru saja diucapkan Kara. Siswa itu kemudin melepas headset dari telinganya yang ternyata sejak tadi tidak memperdengarkan apapun. Dia mengambil posel di atas meja, lalu berdiri, dan berjalan menghampiri meja Kara. Brak! Venus menendang kakian meja Kara, membuat meja bergeser beberapa centimeter. “Apa tadi lo bilang?” Gertak Venus. Kara diam. “Lo bilang apa, tadi?” Gertak Venus lagi. Kalinya kembali menendang kakian meja. Kara menengadahkan kepalanya, memberanikan diri menghadap Venus, dan memandangnya lekat. Yang dipandang malah naik pitam. Dia menatap tajam Kara dengan mata cokelatnya, tak mau kalah. Mulutnya terkatup rapat. Siapapun tahu, bahwa siswa berambut pirang dan bermata cokelat itu sedang geram terhadap Kara yang dengan berani menantangnya. “Apa?” Kara menantang. Venus mengerutkan dahi saat melihat reaksi teman satu kelasnya itu. Dia tidak pernah menyangka kalau gadis itu malah akan balik menantangnya. Ini benar-benar di luar dugaan Venus. Maka dari itulah, matanya makin tajam menyelidik, mencoba mengintimidasi gadis itu. Suasana lengang sampai beberapa menit. Mereka tidak berhenti berpandangan dengan tatapan menyorot pada lawannya masing-masing. “Dasar cewek Aneh!” Maki Venus akhirnya. Kali ini dia benar-benar menedang meja Kara dengan agak keras dari dua tendangannya tadi. Meja benar-benar bergeser jauh. Setelah melakukan itu, Venus melangkah pergi, hendak ke luar kelas. Tak lupa, dia pun membanting keras-keras pintu kelas. Nampaknya dia benar-benar kesal. Kara yang kaget atas tindakan Venus barusan mencoba menarik kembali mejanya ke posisi semula. Gelas pelastik yang berisi batu es berserakan di lantai, menghasilkan genangan air yang menguning. Saat mencoba membereskan gelas pelastik dan batuan es yang tercecer itu barulah dia sadar kalau lengan kanannya tergores, mengeluarkan cukup banyak darah. Dia pun tidak tahu, benda apa yang sampai melukainya itu. Bel tanda masuk berbunyi. Penghuni kelas mulai berduyun-duyun kembali ke meja masing-masing. Untuk mata pelajaran Bu Olive, tidak ada kata terlambat! Kara masih bisa mengikuti pelajaran walau tangannya sedikit perih. Setelah membersihkan sisa orange juice yang tumpah tadi, Kara pergi ke UKS untuk membersihkan serta membalut lukanya dengan perban. Maka jadilah, saat mengikuti pelajaran lanjutan Biologi setelah jam istirahat, lengan kanannya sudah menempel indah peban berwarna cokelat yang saru dengan kulitnya. Sementara Venus juga tengah asik mendengarkan penjelasan Bu Olive dari mejanya. Sesekali dia masih terlihat kesal saat matanya melirik pada meja Kara. Setelah mempersiapkan apa-apa saja yang harus dibawa selama penelitian nanti, mata pelajaran Biologi selesai satu jam kemudian. Digantikan satu mata pelajaran lagi, Bahasa Jepang. Setelahnya disusul bunyi bel satu jam kemudian pertanda pulang. Siswa-siswi berebutan menuju pintu, hendak pulang. Hanya tinggal Kara yang masih membereskan buku pelajarannya, serta Venus dan Robert yang sudah hendak meninggalkan kelas. Saat melewati meja Kara, Venus melihat jelas perban yang menempel di lengan kanan Kara. Jelas sebelumnya tidak ada di sana, pikir Venus. Dia lantas mengingat kejadian waktu istirahat tadi. Sambil melangkah ke luar kelas, Venus berpikir apakah luka itu dihasilkan karena dirinya? “Ven, lo lama amat, sih!” Hardik Robert yang melihat kawan karibnya itu berjalan lamban daripada dirinya. “Eh, iya.” Kara memerhatikan tingkah aneh Venus. Lantas dia melihat luka di tangannya yang masih terasa perih. “Demi apapun juga, ini gara-gara lo. Awas aja!” Gumam Kara. Dia langsung menyelempangkan tas ke pundaknya, lantas melangkah pergi.