
by Titikoma

Cerita Ki Eten
Harapan tinggalah harapan. Begitu mungkin kata yang pas untuk menggambarkan hari itu, yang malam hari sebelumnya ditutup dengan harapan akan cuaca yang baik. Sama dengan hari sebelumnya, hari ini pun Kersik Tuo diguyur hujan. Bedanya, hari ini intensitas hujan terbilang lebih ringan dari kemarin. Gerimis mengguyur sepanjang hari, membuat agenda penelitian masih belum bisa juga dilakukan. Menjelang siang, semua kegiatan siswa-siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta itu dipusatkan di Rumah Panjang. Mereka bergerimis ria berjalan dari home stay masing-masing ke rumah yang ditempati Kara dan lima orang lainnya itu. Mereka dikumpulkan di ruang tengah bangunan, karena Bu Olive mangadakan evaluasi dan memaparkan rencana-rencana berikutnya. “Sisa waktu kita di sini hanya tinggal 3 hari. Di 3 hari itu, kita harus memanfaatkan seefesien mungkin.” Bu Olive menjelaskan. “Lantas bagaimana kalau besok atau lusa pun masih turun hujan?” Robert bertanya. Disambut anggukkan dari yang lainnya, seolah ini jugalah yang ada di benak masing-masing. “Berdoa saja agar besok cuaca bersahabat,” jawab Bu Olive enteng. Kemudian dia menarik poni panjangnya ke belakang telinga. “Tapi karena Ibu bukan cenayang yang bisa memprediksi nasib cuaca besok dan lusa, kita akan tetap pulang dalam 3 hari kedepan, dengan atau tanpa penelitian,” tambahnya. “Tapi tugasnya?” Tania, si siswi centil berkacamata menyelak. “Kita ganti yang lain setelah kita sampai di sekolah. Mudah, kan?” Mereka ber ‘Wuuuu …’ berkeberatan. “Lagipula, kita tidak seharusnya memikirkan tugas pengganti. Kita datang ke sini dengan niat meneliti Paok Schneider, bukan? Lantas, siapa yang tahu dan inginkan kalau kemarin, hari ini atau mungkin esok bahkan lusa dan seterusnya hujan?” Bu Olive bertanya. “Ini alam, kawan-kawan. Semuanya bisa saja terjadi. Yang perlu kita lakukan hari ini adalah … mari berdoa. Mohon pada Tuhan si pemilik alam semesta agar esok tidak turun hujan, supaya kita bisa mulai penelitian. Hanya itu!” Ruang tengah Rumah Panjang lengang ketika Bu Olive menyelesaikan kalimat panjangnya. Beberapa dari muridnya—termasuk Kara— mengangguk takzim, membenarkan. Setelah memberi pengertian dan saling sharing tentang banyak hal, mereka kemudian melanjutkan dengan agenda makan siang, dilanjutkan shalat—bagi yang menjalankan, obrolan kecil, permainan kecil, kembali shalat—bagi yang menjalankan, disusul mengobrol santai lagi, sampai tidak terasa sudah masuk waktu magrib—kembali shalat berjamaah bagi mereka yang menjalankan. Matahari sudah digantikan bulan. Senja di Kersik Tuo sudah benar-benar diganti perannya oleh gelapnya malam. Selesai makan malam mereka duduk-duduk di beranda Rumah Panjang. Hujan sudah benar-benar reda, suara gemericiknya sudah diganti suara lain. Katak bersahut-sahutan dengan tongeret, membuat malam di desa terakhir sebelum pendakian terasa syahdu. Kara dan Key duduk di undakan tangga paling atas, menikmati suara alam. “Andai Jakarta kayak gini,” rapal Key. Tidak biasanya si gadis tomboy itu mengajak bicara duluan. Kara hanya berpaling ke sumber suara sebentar, lantas tersenyum. Semenjak menginjakan kaki di tempat itu Kara sudah jatuh cinta. Kebun teh yang luas bak permadani, kepundan Gunung Kerinci yang mengagumkan, penduduk kampung yang bersahaja, para pendaki yang manut aturan alam. Oh, damainya, pikir Kara. Hanya satu yang mengganjal pikirannya. Ya, Venus satu-satunya alasan kedamaiannya tidak sempurna. Rasa kesalnya belum juga luruh walau si bule bermata cokelat itu mulai mencoba memperbaiki keadaan. “Akh, kenapa gua harus peduli, sih!” Suara Kara tertahan, mendengus kesal. “Lo, kenapa?” Key bertanya. Agaknya dia heran orang di sampingnya tibatiba mendengus kesal. Kara tidak siap, dia gelagapan. “Bukan apa-apa,” akhirnya dia berkata. “Please, jangan ganggu kedamaian gua!” Kara menyeringai. Tak lama setelahnya, Bu Olive kembali mengumpulkan mereka kembali di ruang tengah, katanya ada yang beberapa hal ingin disampaikan. Mereka kemudian berkumpul sesuai perintah Bu Olive. Geo dan 3 orang teman mahasiswa lain mengatur posisi duduk mereka semua, membentuk lingkaran, dan posisinya harus berdekatan dengan teman kelompoknya. Ada yang berbeda malam itu. Di tengah-tengah lingkaran ikut serta Ki Eten, duduk takzim di samping Bu Olive dan empat mahasiswa yang dibawanya ikut mendampingi siswa-siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta itu. “Jadi gini anak-anakku sekalian. Tadi siang kita sudah berdiskusi tentang kemungkinan cuaca yang tidak bisa kita prediksi. Jadi Ibu sengaja memberi kalian waktu untuk mencari tahu objek yang kita hendak teliti ini dari Ki Eten, kalau-kalau besok dan lusa kita masih belum bisa meneliti langsung ke lembah Kerici,” Bu Olive menjelaskan. “Anggap saja Ki Eten malam ini adalah public speaking-nya para Paok Schneider. Bukan begitu, Ki?” Ki Eten tersenyum, lantas mengangguk takzim. “Silakan bertanya apa saja pada beliau, tidak terbatas pada Paok Schneider saja. Kalian lebih banyak tahu, lebih bagus. Karena itulah kita belajar. Untuk tahu.” Bu Olive melanjutkan. “Oh, iya. Ki Eten ini juga salah satu Jagawana[1] dari Taman Nasional Kerinci Seblat ini. Bukan begitu, Ki?” Kembali, Ki Eten tersenyum lantas mengangguk takzim, membenarkan. Ni Eten bersama dua wanita yang umurnya jauh lebih muda datang ke tengah-tengah lingkaran. Mereka membawa nampan berisi gelas dan dua teko berisi teh hangat. Beberapa siswa turut membantu menyebar gelas dan menuangkan teh ke dalamnya. Setelah selesai, Ni Eten pamit ke belakang bersama dua wanita lainnya. Pembicaraan di ruang tengah Rumah Panjang pun dilanjutkan dengan pembukaan dari Ki Eten yang bicara seputar perkenalan diri. “Jadi Ki, siapa sebenarnya Paok Schneider ini?” Venus bertanya. Kali ini pelafalannya sempurna. Beberapa anak tersenyum, termasuk juga Bu Olive. Ki Eten juga tertawa takzim sebelum menjawab. “Begini anakku, aku akan cerita dulu awal mula ditemukannya Paok ini. Dulu, sekitar tahun 1980 an, aku ditugaskan untuk menemani para peneliti dari Taman Nasional Kerinci Seblat yang hendak meneliti flora dan fauna yang hidup di Kerinci ini. Selama satu bulan penuh kami menjelajah lembah Pegunungan Bukit Barisan yang ditopang oleh empat gunung. Yakni, Gunung Sibayak, Gunung Kerinci, Gunung Kaba, dan Gunung Dempu. Aku lupa berapa lama perjalanan kami tersendat oleh hujan, medan yang berat serta rasa was-was kami kepada binatang buas penghuni lembah Pegunungan Bukit Barisan. Kesulitan kami menyibak rapatnya hutan, sungguh sesuai dengan data yang kami dapatkan. Banyak yang kami temui dalam ekspedisi itu. Sampai suatu hari—beberapa hari menjelang akhir penjelajahan—salah satu peneliti tidak sengaja menemukan salah satu harta karun. Paok Schneider sedang berjalan di lantai hutan, menyibak-nyibak daun kering, mencari serangga untuk dimakan. Sayangnya moment itu hanya sebentar, hanya sebuah foto yang berhasil diabadikan dan menjadi bukti bahwa jenis burung yang 100 tahun tidak pernah diketahui keberadaannya itu, kembali menampakkan dirinya.” Ki Eten bercerita. Beberapa saat, lengang begitu terasa di ruang tengah itu. “Nah, setelah penemuan itu, banyak peneliti yang mulai meneliti keberadaan Schneideri. Termasuk Ibu, kemudian empat kakak mahasiswa ini, dan kalian.” Bu Olive menambahkan. “Benar, Bu Olive dan kakak mahasiswa ini juga pernah meneliti ke sini, sebelumnya.” Ki Eten membenarkan. “Ibu berhasil melihat sendiri Paok Schneider?” Key si tomboy yang bertanya. Lengang kembali. Nampaknya, semua murid-murid Bu Olive itu sedang menunggu pembenaran dari gurunya. Ki Eten ternyenyum, lantas mengangguk takzim. “Bahkan dia berhasil memfoto dan membuat fotonya itu heboh dikalangan peneliti,” Kata Ki Eten. “Memangnya, kenapa empat mahasiswa ini datang ke sini? Ya, karena foto Bu Olive. Mereka juga ingin merasakan sensasi bertemu dengan Schneideri. Tapi sayang, terakhir kali mereka ke sini, mereka tidak bisa menemukan burung cantik itu. Bukan begitu?” Ki Eten bertanya. Geo, Rega dan dua temannya mengangguk membenarkan. “Makanya, waktu ditawarkan Bu Olive untuk ikut bersamanya ke Kerinci, kami tidak menolak. Sungguh kami ingin bertemu dengan burung itu,” tambah Geo. Ki Eten terlihat tersenyum. “Nah, kalau kau tanya siapa Paok Schneider ini, dia adalah salah satu primadona di sini. Jenis burung ekor pendek, bermahkota, berwarna cokelat dengan garis biru di atasnya, pemakan serangga, dan sifatnya yang pemalu,” kata Ki Eten. Dia kemudian mengacungkan jari telunjuknya sambil berkata, “Hanya bisa di temukan di sini, Taman Nasional Kerinci Seblat.” Mereka yang mendengarkan, memandang takjub apa yang dikatakan kakek berumur lebih dari separuh abad itu. “Lalu, selain Paok Schneider, hewan endemik apa lagi yang bisa kita temui di sini?” Kara yang kali ini bertanya. Pandangan langsung mengarah kepadanya, termasuk juga satu sosok yang duduk persis di sebelahnya—Venus. Si bule bermata cokelat itu menyimak betul apa yang ditanyakan Kara. Bu Olive dan Ki Eten tersenyum bersamaan, mendengar pertanyaan itu. “Pertanyaan cerdas anakku. Taman Nasional Kerici Seblat ini luasnya luar biasa luas, anakku. Bayangkan, taman nasional ini membentang di 134 Desa, 43 Kecamatan, 9 Kabupaten di 4 provinsi yang berbeda. Jadi tidak salahlah jika di sini banyak sekali flora dan fauna. Tercatat tak kurang dari 4000 jenis flora dari 63 famili tumbuh di sini. Sedangkan untuk jenis fauna, tak kurang dari 42 jenis mamalia, 10 jenis reptil, 6 jenis ampibi, 306 jenis burung dari 49 famili dan 8 jenis burung endemik. Nah, Paok Schneider adalah salah satu primadonanya.” Ki Eten menjelaskan. Dia memandang ke sekeliling, sampai tatapannya kembali pada Kara si penanya. “Lalu untuk pertanyaanmu, Nak. Akan kukenalkan beberapa hewan primadona Kerinci lainnya,” katanya lagi. Tidak hanya Kara yang antusias mendengar penjelasan Ki Eten. Yang lain pun dengan saksama mendengar penjelasan kakek Jagawana itu. Ki Eten menaikan jari telunjuk kanannya. “Yang pertama adalah Panthera tigris sumatrensis, Harimau Sumatera.” katanya lantang. “Pegunungan Bukit Barisan adalah daerah kekuasaannya.” “Berarti termasuk lembah Kerinci?” Robert memotong. “Itu benar anakku,” Ki Eten membenarkan. “Kenapa, Robert? Kamu takut?” Bu Olive menyahuti. “Memangnya Ibu nggak takut?” Robert balik bertanya. “Ya, takut.” Mereka tertawa, Ki Eten juga ikut tertawa renyah, memperlihatkan gigigiginya yang masih kokoh diusianya yang terbilang senja. “Tenang saja, mereka akan memakanmu kalau persediaan di hutan sudah tidak mencukupi,” tambah Ki Eten. Gelak tawa kembali pecah. “Lanjutkan saja, Ki.” Kara yang bicara. Venus yang ikut tertawa langsung berhenti ketika Kara tiba-tiba memecah bisingnya tawa. Agaknya Venus mengerti, Kara memang bukan tipe orang yang santai. Untuk urusan pengetahuan dia akan memprioritaskan itu. Tawa berangsur mereda saat Ki Eten melanjutkan bicaranya. “Kemudian ada juga Nesolagus netscheri, atau Kelinci Sumatera. Ada juga yang mengenalnya dengan sebutan kelinci telinga pendek. Ya, begitulah, selain coraknya yang eksotik, kelinci ini juga punya keunikan, yakni telinganya yang pendek tidak seperti jenis kelinci pada umumnya. Kalau beruntung, kita juga bisa bertemu kelinci ini, Besok.” Dalam bicaranya, ada intonasi harapan di sana. Bu Olive tersenyum, lantas berkata, “Berdoa agar besok cuaca bersahabat.” “Kemudian yang terakhir adalah Kucing Emas atau Pardofelis temminckii,” ucap Ki Eten. “Kalau Harimau Kijang, Ki?” Venus menyelak. “Saya pernah dengar dari saudara, di Kerinci ini juga ada Harimau Kijang. Apa benar?” “Nah, ini. Anakku yang satu ini juga pertanyaannya bagus,” kata Ki Eten, saraya kembali tersenyum—bersahaja. Kara jatuh hati dengan senyuman lelaki yang umurnya lebih dari separuh abad itu. Dia selalu menanggapi apapun dengan senyuman bersahajanya. “Sebenarnya Harimau Kijang itu sebutan dari penduduk lokal untuk Kucing Emas ini. Jadi ya, sama saja. Itu hanya panggilan lokal saja.” “Jadi ini jenis kucing atau harimau, Ki?” Robert menanggapi. Lagi, Ki Eten tersenyum. “Harimau jenis kucingkan, Nak?” Tawa kembali pecah. “Begini, begini. Biar orang tua ini luruskan,” kata Ki Eten. “Jadi, Kucing Emas ini memang ukurannya lebih besar dari ukuran kucing rumahan yang mungkin kalian pelihara. Namun, tidak lebih besar dari harimau.” “Ada yang bilang ini hewan mitos, Ki. Apa itu benar?” Key yang bertanya. Agaknya, pembicaraan tentang Kucing Emas ini membuatnya penasaran. “Ada yang percaya kalau kucing ini memang hewan bertuah. Namun orang tua ini pikir, tidaklah elok kemudian kepercayaan itu justru secara tidak langsung telah mengancam keberadaan Kucing Emas ini. Sangat tidak bagus kalau karena kepercayaan, mereka diburu, lalu dijadikan jimat. Sudah seharusnya tidak ada kepercayaan begitu-begitu. Sudah bukan jamannya. Bukan begitu, Bu Olive?” “Benar, Ki.” “Sekarang adalah bagaimana menumbuhkan kecintaan kita pada alam, menjaga ekosistem di dalamnya untuk generasi kalian, serta generasi yang akan datang,” ucap Ki Eten Bijak. Pembicaraan itu terus berlangsung, sampai tidak terasa sudah hampir pukul sepuluh malam. Sebelum mengakhiri pembicaraan, mereka tak lupa berdo’a untuk esok. Agar Tuhan memberi ijin mereka untuk masuk ke hutan dan mulai meneliti—do’a dipimpin Ki Eten. Setelah itu barulah mereka kembali ke home stay masing-masing untuk istirahat dan menjaga stamina. Hujan sudah benar-benar berhenti sejak tadi, menyisakan genangangenangan kecil di setapak yang tidak rata. Kabut tipis turun menyelimuti Kersik Tuo, membawa kedamaian malam yang sangat mengundang mereka yang lelah untuk beristirahat. Siswa-siswi kelas 11 IPA SMA Kartini, Jakarta malam itu, mereka istirahat kembali dengan harapan semoga esok cuaca Kerinci cerah. [1] Jagawana adalah kata yang berasal dari serapan jawa dan sansekerta yang berarti penjaga, pengawal, atau tentara yang berpatroli di sebuah wilayah untuk menegakkan hukum. Di Indonesia sendiri Istilah Jagawana dipakai untuk sebutan polisi hutan.