
by Titikoma

Kerajaan Kucing
“Aku ke luar sebentar,” kata Kara. “Mau ke mana? Kita harus tetap di sini!” Venus bertanya saat Kara hendak melangkah ke luar. “Mau lihat keadaan.” Venus mengerutkan kening. “Keadaan apanya?” Kara beranjak dari pos pengamatan, tidak memedulikan Venus yang masih bertanya. “Kara!” “Ssssttt ….” Kara menaikkan jari telunjuk ke depan bibir. “Jangan berisik!” Katanya, setengah berbisik. “Ada apa?” Venus bertanya dengan berbisik juga. “Kamu dengar, ada suara burung?” “Paok?” “Mana kutahu,” Kara mengedikkan bahunya. “Kita harus tetap di pos pengamatan. Ingat apa yang Pak Nor bilang?” “Ingat!” Kara masih terus melangkah menjauhi pos pengamatan. “Ya sudah, ayo kembali ke pos!” “Kamu dengar suara burung tidak?” Kara malah kembali bertanya. “Paok?” “Mana kutahu.” Kara kembali mengedikan bahunya. “Kara, lo apa-apan sih? Kenapa katanya diulang-ulang?” “Lho, kamu yang mulai!” Venus mendengus agak kesal. Dia berusaha menjaga situasi, dia tidak ingin hubungannya dengan Kara yang sudah membaik ini akan kembali seperti sebelumnya. “Oke, jadi kita mau ke mana?” Venus akhirnya bertanya. Suaranya agak keras dari sebelumnya. “Sssttt …, kamu bisa kecilkannya suaranya nggak, sih?” “Oh, oke. Jadi kita mau ke mana?” “Memastikan suara burung apa itu!” Kara masih melangkah perlahan, seperti layaknya predator yang hendak menangkap mangsa. “Tapi kita nggak boleh jauh-jauh,” sambil melangkah di belakang Kara, Venus terus mengingatkan. Kara berhenti melangkah, kemudian memutar pandangannya ke belakang, ke arah Venus. “Kamu dari tadi nyadar nggak, sih? Tadi ketika masih ada Pak Nor dan yang lainnya kita sudah menunggu satu setengah jam. Pasca mereka pergi, kita menunggu lebih dari satu jam. Itu artinya, dua setengah jam kita hanya habis sia-sia. Sekarang kita improvisasi, kita jemput bola!” Kara berkata panjang. “Tapi kesepakatan kita sebelumnya dengan Pak Nor gimana?” “Kita hanya memastikan sebentar. Nggak jauh, kok. Kalau kamu nggak mau, mending kamu balik lagi ke pos. Tunggu aku di sana!” “Tapi, Ra. Mana boleh gitu. Kita ini tim!” “Kalau kamu masih mau ngomong dan nggak mau mengecilkan intonasi bicaramu, burung yang sedang kita intai bakal kabur.” Venus kali ini terdiam, mengalah. Dia hanya mengikuti kembali Kara yang sudah melangkah. Matanya sesekali berpaling ke belakang, melihat bangunan pos pengamatan yang semakin kecil terlihat. Dia juga mencoba mengingat-ingat pohon, agar ketika mereka terlanjur jauh melangkah, mereka bisa kembali ke pos pengamatan. Semakin suara cicit burung yang dimaksud Kara diikuti, semakin jauh mereka melangkah, dan semakin tidak terlihat pula pos pengamatan di belakang. Tanpa mereka sadar, mereka semakin merangsek masuk ke dalam hutan. Kerapatan hutan semakin menjadi. Tidak ada jalan setapak yang biasa orang lain lalui. Kara membuka jalur baru, dan kali ini Venus agak lupa mengingat karena teralu banyak pohon yang harus ia hafal. “Kara! Kita terlalu jauh melangkah. Lo sadar nggak?” “Venus,” Kara berbisik. “Lo dengar gue nggak, sih?” “Lihat itu!” Kara kembali berbisik pelan sambil menunjuk arah di depannya. “Kamera mana, kamera?” Pandangan Venus menuju arah yang ditunjuk Kara. “Paok Schneider,” gumamnya setengah berbisik. “Iya, itu burungnya. Ayo ambil gambarnya!” Buru-buru Venus meraih kameranya, membuka tutup lensa, menggeser tombol aktivasi, lantas membidik ke arah objek yang sejak dua setengah jam lebih ini mereka tunggu. Di sanalah, di lantai hutan, seekor burung ekor pendek bernama Paok Schneider sedang melompat ke sana-ke mari, membolak-balikkan daun kering dengan paruh kecilnya, mencari serangga untuk dimakannya. Venus mengambil banyak gambar burung itu. Kara mencatat, membuat deskripsi tentang apa yang sedang dilakukan burung berwarna cokelat bergaris biru di tubuh bagian atasnya itu. Apa yang semalam dibicarakan Ki Eten tentang burung itu benar adanya. Paok itu turun ke lantai hutan, membolak-balikkan daun dan ranting kering untuk mencari makan. Kedua anak manusia yang baru saja berbaikan itu teramat senang dengan apa yang baru saja mereka temukan. Tak menyangka, burung langka yang menjadi objek penelitian itu akhirnya bisa mereka lihat secara langung. Apalagi dokumentasi yang mereka punya lebih dari cukup untuk menyelesaikan tugas penelitian mereka. Namun kebahagiaan itu tak lama berlangsung, 10 menit kemudian, saat Paok Schneider hilang dari pandangan, keduanya sadar. Mereka berada terlalu jauh dari rombongan. Dan parahnya, mereka tidak tahu ke mana arah yang harus mereka ambil untuk paling tidak sampai ke pos pengamatan yang tadi mereka tinggalkan. Keduanya panik. Matahari di atas sana sudah meninggi, Kara dan Venus masih mencari jalan untuk kembali ke pos pengamatan. Namun semakin jauh mereka melangkah, tempat yang mereka tuju belum ketemu juga. Jam tangan yang terikat di lengan kiri Venus sudah menunjukkan tengah hari. Kalau saja pohon tinggi di lantai hutan tidak rapat, tentulah terik matahari sudah sangat menyengat siang ini. “Venus, berhenti dulu. Aku capek,” keluh Kara. Napasnya senin kamis, tangannya bertumpu pada batang pohon pinus. Venus berhenti, memberikan Kara botol air yang dibawanya. “Thanks.” Kara menerima botol itu, dan langsung mengenggak isinya yang sudah tinggal setengah. “Masih sejauh apa lagi kita harus jalan?” Kata Kara kemudian. “Gue nggak tahu,” jawab Venus. “Seperti kata gue tadi, kita cuma ikutin gerak matahari.” “Tapi kamu yakin kalau matahari tenggelam itu di arah sana?” Kara menunjuk arah di hadapan mereka. Venus mengangguk. “Gue yakin kalau matahari tenggelam tepat di belakang Rumah Panjang. Paling tidak, kita temukan dulu kebun teh. Setelah itu gue yakin kita akan selamat.” “Tapi kayaknya waktu kita sampai di pos 1, perjalanan nggak selama ini, deh.” “Itu karena lo bawa kita terlalu jauh ke dalam hutan.” Kara mendengus kesal. “Ya udah jalan lagi.” “Nggak bisa istirahat dulu, apa? Masih capek.” “Oke, lima menit.” Kara mengangguk. “Lo diem di sini, gue mau lihat keadaan dulu. Jangan ke mana-mana!” Venus mengingatkan. Nada bicaranya mantap, mengancam. Kara mengangguk lagi. Venus berjalan ke depan, melihat keadaan atau barang kali ada jejak atau jalan setapak yang biasa dilalui orang lain. Dirinya sendiri tidak habis pikir kalau dirinya dan Kara terlalu jauh berjalan, dan bodohnya tidak mengikuti jalan setapak yang biasa digunakan pendaki atau Jagawana lembah ini. Venus memincingkan matanya, mencoba menebak-nebak jalan yang akan mereka lalui. Untunglah walau bukan jalan setapak, trek yang mereka lalui adalah tanah dengan kontur landai. Ayolah, ada barang seorang saja yang bisa dimintai tolong, pikirnya. Sementara itu, Kara yang tengah beristirahat sambil memperhatikan Venus belasan meter dari dirinya mendadak lapar. Malangnya tidak ada stok makanan yang ada di dalam tasnya. Hanya ada sebotol air minum yang sudah kosong. Dia sering melihat acara-acara televisi tentang survival, tapi dia tidak yakin apakah bisa melakukan apa yang ditampilkan oleh acara televisi itu di keadaan dia saat ini. Salah-salah, bukannya kenyang malah keracunan lagi,” pikirnya. Dia mengedikkan bahunya, ngeri. Untuk beberapa saat Kara masih memperhatikan Venus yang masih terlihat mencari-cari, sampai akhirnya mata kara tertumbuk pada sebuah pohon berukuran sedang. Jika dilihat dari tempatnya saat ini duduk, mungkin pohon itu setinggi tubuhnya. Tanpa lagi ingat peringatan Venus beberapa saat lalu, kakinya sudah mengajak melangkah. Melewati beberapa ranting pohon yang sudah mati dan melewati semak belukar yang cukup lebat. Pohon itu tumbuh anggun di sebidang tanah kecil. Hanya pohon itu sendirian. Seolah-olah sebidang tanah itu memang diperuntukkan untuknya. Berbeda dengan jenis pohon lain, pohon yang dilihat Kara sepeti memancarkan pendar-pendar cahaya yang membuatnya menarik perhatian. Bau harum menguar dari pohon itu. Kara semakin mendekat, dia sudah bisa pastikan kalau bau harum itu keluar dari buahnya yang hanya satu, menempel di dahan itu. “Jambu,” gumam kara. Dia mendekati buah itu, merah merona seperti jambu air yang tengah matang-matangnya. Bedanya hanya diukuran. Buah yang sepeti jambu itu lebih besar, sekitar satu kepalan tangan Kara. Aroma yang menggugah, ditambah rasa lapar tiada tara membuat tangan Kara refleks mendekati buah itu, lantas memetiknya. Diciuminya bau buah itu, terasa layaknya buah segar. Tak lama digigitnya buah itu, terasa manis, kaya air dan lezat rasanya. Saat kunyahannya itu sudah lewat dari kerongkongannya, rasa segar tiada tara itu membanjiri tenggorokan hingga dadanya, seperti tengah menikmati daun mint. Layaknya orang kelaparan, buah itu dilahap Kara dengan rakus. Hanya beberapa saat buah itu akhirnya benar-benar habis. “Segarnya,” guman Kara. Namun mendadak keseimbangannya hilang, direnggut oleh limbung. Serta-merta tubuh gadis itu ambruk, seperti dipaksa menempel dengan tanah. Pandangannya sedikit demi sedikit kabur. Kepalanya sakit luar biasa. Hanya telinganya sekilas menangkap suara laki-laki yang tengah berteriak memanggil namanya. Bibir Kara kelu, tidak bisa dia berteriak untuk membalas teriakan lelaki itu—Venus. Setelahnya, saat pandangannya sudah benar-benar gelap, kesadarannya pun mencelat. Sorak sorai memenuhi gendang telinga Kara begitu kesadarannya mulai kembali. Matanya yang terkatup rapat mulai membuka perlahan. Berbagai objek materil perlahan menyerbu masuk ke indera penglihatannya, langit jingga, rumah-rumah pohon, serta begitu banyak objek lainnya yang didominasi warna cokelat dan jingga. Butuh beberapa saat sampai kemudian Kara benar-benar sadar ada di mana. Kedua tangannya terikat erat di sebatang tiang pancang. Kara sadar tengah ada di sebuah panggung, yang ditonton ribuan pasang mata yang memandangnya dengan pandangan tidak suka. Ada juga beberapa pandangan kasihan padanya yang terikat menjadi tontonan. Di mana ini? Pikir Kara. Mana mungkin orang-orang itu memiliki kulit seragam, berwarna cokelat, berekor, bertaring dan berkumis layaknya seekor kucing? Kara masih berkutat dengan pikirannya. Mata bulat Kara mencoba mengeksplor lebih banyak objek. Selain langit jingga, dan banyak sekali objek berwarna cokelat, matanya kini menangkap sebuah bangunan megah, dan juga berwarna cokelat, tepat di hadapannya. Seperti sebuah istana yang visualisasinya kerap muncul di cerita-certi fantasi. Kalaulah memang itu sebuah istana, dengan segala sosok yang menyerupai kucing, apakah dirinya sedang ada di negeri kucing? Kerajaan Kucing? Nyatakah, semua ini? Lalu mengapa dia terikat, lantas diteriaki sosok-sosok itu? Apa salahnya? “Bunuh saja dia!” Teriakan itu kencang memekakan telinga. “Jahat!” Kali ini sosok yang lebih kecil, dari arah selatan yang berteriak. Jantung Kara berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Nyalinya ciut. Dia hendak memberanikan diri berpikir bahwa ini semua hanyalah halusinasinya. Tapi sayang, saat menekankan ujung kuku jari telunjuk pada ibu jarinya, itu terasa sakit. Dan artinya, apa yang dilihat dan rasakan saat ini adalah nyata, benar adanya. Kalau sudah begini keadaannya, maka Kara bisa menjamin kalau situasinya saat ini rumit. Apa salahku? Teriaknya dalam hati. Tiga ekor kucing tergopoh-gopoh berjalan ke arah Kara. Satu ekor kucing di depan, duanya mengikuti di belakang. Sekitar dua meter dari Kara, ketiga kucing itu berbubah wujud. Berdiri di atas dua kaki, berlengan seperti manusia namun dengan kuku runcing, dan berekor. Satu ekor kucing di depan berubah wujud menjadi wanita cantik dengan mahkota di kepala layaknya permaisuri, dan dua ekor lainnya berwujud pria sebagai pengawal dengan panah di lengan. Kara benar-benar tak habis pikir, terperanjat ketika melihat langsung perubahan mustahil itu. Sorak sorai semakin memenuhi tempat itu. Hujatan yang ditujukan pada kara tak putus-putusnya mengaum dari seantero penjuru sudut panggung ‘pengadilan’. “Tenang semuanya. Ratu yang akan memutuskan!” Salah satu dari dua pengawal berteriak lantang. Mendengar itu semakin ciutlah nyali Kara. Dia tahu, keburukan memang sedang menghapirinya. Mirisnya lagi, ini bukanlah dunia yang dia tinggali, di mana lawyer bisa di sewa untuk bisa meringantakan hukuman. Apalagi untuk kasus yang dihadapinya ini, dia sendiri pun tidak tahu letak kesalahannya apa? Sang Ratu berjalan medekati Kara. Kemudian memegang pipi dengan kedua tangannya yang penuh dengan cakar panjang dan tajam. Kara semakin ciut dan tidak bisa bicara barang satu kata. “Kau telah merusak stabilitas negeri kami, kau tahu? Sang Ratu bertanya. Matanya nyalang menatap gadis itu. Kara masih diam, tak berani menjawab. “Karena itulah. Kurasa rakyatku juga menghendaki kau tewas hari ini, untuk menebus kesalahanmu.” Kali ini tenggorokan Kara terasa kering, maka dia meneguk ludahnya sendiri. “Hukum mati anak ini,” teriaknya lantang. Ucapan itu disambut sorak sorai. Ratu kemudian berbalik badan, hendak pergi. “Tapi apa salahku?” Kara bertanya. Kali ini, entah mendapat kekuatan dari mana, mulutnya membuka, tiga kata berhasil loncat dari alam bawah sadarnya. Secepat kilat, Ratu kembali berbalik menghadap Kara. Menghunusnya dengan tatapan nyalang. “Kau kira buah apa yang kau makan, tadi?” Tanyanya tajam. “Butuh waktu dua tahun untuk kembali pohon itu tumbuh. Dan selama itu, tak akan ada malam di negeri ini. Itu salahmu!” Kara menelan ludah. Tenggorokannya benar-benar kering kerontang. “Sudah paham, apa kesalahanmu?” Ratu kembali bertanya. “Maka tidak salah kiranya kuberi hukuman mati untukmu,” katanya lagi. Kemudian dia berbalik, meninggalka Kara. “Tidak adakah cara lain?” Kara berteriak. Ratu masih berjalan, ekornya bergoyang-goyang. Dia benar-benar tidak peduli dengan keriakan Kara yang meminta belas kasih. Keputusannya sudah bulat, pantang untuknya menarik kembali keputusan tersebut. “Panah dia,” katanya kemudian pada salah seorang pengawalnya. “Baik, Ratu.” Pengawal itu kemudian berdiri segaris lurus dengan posisi Kara yang terikat tak berdaya. Anak panah diambilnya dari tabung yang terikat di punggung. Perlahan namun pasti, anak panah itu sudah berada di ujung, siap ditarik. Kara bisa melihat jelas panah itu mulai ditarik ke belakang, siap dilepaskna. Dia tahu, situasinya sudah tidak bisa diubah. “Maafkan aku Ma, Pa, Bu Olive, dan … Venus,” rapalnya dalam hati. “Maafkan aku.” Kara merutuki tidakan bodohnya yang memakan buah itu, dan tidak mengikuti arahan Venus untuk tidak ke mana-mana. Kara benarbenar menyesali perbuatannya. Namun yang pasti dia sadar, betapapun ia menyesal, tidak akan merubah apapun. Penyesalan selalu ada di akhir. Kara melihat jelas kalau anak panah itu sudah dilesatkan. Dan semakin cepat mengarah ke arahnya. Matanya terpejam. “Maafkan aku,” kali ini ucapan itu meluncur lebut dari bibirnya. Lirih, penuh penyesalan.