Kucing Emas

Reads
96
Votes
0
Parts
14
Vote
by Titikoma

Diburu

Ketukan halus di pintu kamar menyadarkan Kara dari tidurnya. Tubuh gadis itu sudah seperti sediakala—manusia seutuhnya. “Kara … ayo, sudah pagi. Nanti sekolahnya terlambat,” Ibunya mencoba mengingatkan dari luar kamar. “Iya, Bu.” “Ibu dan Ayah tunggu di bawah.” “Iya.” Kara lantas menuju kamar mandi, bersiap menyambut aktivitas hari itu. Saat menuruni anak tangga setelah berpakaian seragam sekolah rapi, betapa terkejutnya Kara kala melihat Venus duduk di salah satu kursi ruang makan, bersama Ayah dan Ibunya. Kara sempat berhenti. “Nah, itu Kara,” Ibunya menyambut. “Ayo, turun. Ada temanmu juga, nih.” Dengan ragu-ragu Kara menuruni anak tangga sisanya untuk sampai ke lantai dasar, dan menemui Ayah, ibu serta Venus di ruang makan. Gadis itu bisa melihat dengan jelas kalau pria bermata cokelat itu tengah tersenyum ke arahnya. Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini, sepagi ini, pikirnya. Kara memang ingin berdamai dengan Venus. Tapi kalau sepagi ini, Kara tentu belum siap. Sambil melangkah ke arah meja makan, Kara mencoba mengatur napasnya. “Pagi, Kara.” Venus menyapa. Kara hanya tersenyum samar, dia masih berusaha mencerna keadaan pagi itu. Dia menarik kursi di samping Ibunya, berhadapan dengan Ayahnya, dan disebelah kiri ada Venus yang berhadapan dengan ibu Kara. “Ayo, sarapan dulu.” Ibunya yang mengoleskan selai nanas pada lembar roti untuk Kara. Tak banyak bicara Kara di meja makan saat ada Venus di antara keluarganya. Kara merasa pagi itu adalah pagi yang janggal tapi juga menyenangkan. Beberapa kali Venus dan Ayah Kara saling melempar lelucon dan  membicarakan pemain bulutangkis kesukaan mereka—kebetulan saat itu tengah diadakan ajang Indonesi Open. “Weekend nanti, kita sama-sama ke Istora Senayan. Kita harus mendukung para pemain kita di rumahnya sendiri. Kamu harus ikut, Venus!” Ayah Kara semangat, menuturkan rencananya. Venus melirik Kara sebentar, lalu mengiyakan ajakan itu. Ibu Kara hanya tersenyum-senyum saja melihatnya. Sedangkan Kara sendiri tidak habis pikir, kalau pertemuan Venus dan Ayahnya untuk pertama kali itu bisa langsung berbuah keakraban. Bahkan lebih parah, Ayahnya langsung mengagendakan weekend-nya untuk mengajak Venus turut serta dalam kebiasaan keluarga mereka tiap akhir pekan. Sarapan pagi itu kemudian berakhir di gerbang ruma. Ayah dan Ibunya berangkat kerja dengan mobil yang sama, sedangkan Kara pagi itu berangkat sekolah bersama Venus. Honda Jazz merah metalik itu melaju perlahan, meninggalkan kompleks perumahan di bilangan Jakarta Barat. Belum ada percakapan yang terjadi antara dua penumpang di dalamnya. Hanya Venus yang sedang menyetir, sesekali melirik Kara yang duduk anggun di sampingnya. “Kondisi lo udah beneran fit, kan?” Venus bicara, memecah kesunyian. Kara hanya mengangguk. “Menurut gue sih nggak perlu maksain kalau memang masih butuh istirahat,” ucap Venus lagi. Kali ini pria bermata cokelat itu memang benarbenar khawatir dengan keadaan Kara. “Santai aja, aku nggak apa-apa.” Akhirnya Kara menjawab. “Hari ini kita ada evaluasi.” “Fotonya gimana, Ven?” “Sudah sama Bu Olive. Begitu kita sampai di Kersik Tuo, gue langsung serahin kamera ke Bu Olive. Tapi waktu itu Bu Olive enggak terlalu fokus sama penelitian, lo prioritas kita semua waktu itu.”  “Aku minta maaf.” “Untuk apa?” Venus bertanya, pandangannya sekilas di arahkan pada Kara. “Ya, karena udah ngerepotin kamu.” “Akh, enggak ada yang direpotin, kok. Semuanya juga akan melakuakan hal yang sama kalau posisi mereka kayak gue waktu itu.” Kara terdiam, senyum samar terukir di bibirnya. Kali ini gadis itu melirik sekilas pada Venus yang tengah menyetir. “Lagian, foto Paok Schneider itu udah cukup menebus kerja keras kita. Ya, paling nggak pingsannya Kara Swandara ada hasilnya.” Kara yang medengar itu, mendengus kesal. Tapi setelahnya pudar saat Venus membuat cengiran di wajah tampannya. Saat itu juga degup jantung Kara berdetak tak terkendali, dia merasakan sesuatu yang sebelumnya dia rasakan saat menatap lamat-lamat wajah Zed, si Pangeran dari negeri kucing. Tanpa sadar mobil yang dikendarai Venus sudah berhenti di lahan parkir sekolah, sementara kara masih terlihat bengong menatap ke arah Venus. “Kenapa?” Venus bertanya saat Kara masih saja menatapnya. “Eh, enggak,” kilah Kara. Nada itu terdengar canggung. “Ayo, turun. Sudah sampai.” “Eh, i—iya.” Saat turun dari Honda Jazz itu, Kara merutuki dirinya sendinya atas tingkah yang seperi seorang maling yang kepergok. Sepanjang jalan melewati koridor sekolah untuk sampai ke kelas, Kara dan Venus menjadi pusat perhatian orang-orang. Mereka tidak menyangka kalau bad boy seperti Venus bisa berjalan beriringan dengan siswi cupu seperti Kara, yang notabene-nya anak perpustakaan, yang terkenal sebagi siswi teladan. Saat memasuki ruang kelas, pandangan heran juga terarah pada keduanya. Terlebih Robert, cowok ikal sahabat karib Venus itu sampai ternganga saat  melihat Venus dan Kara berjalan beriringan memasuki ruang kelas. “Gila, kesambet setan apa lo bisa sampe barengan sama siswa teladan sekolah ini?” Robert bertanya dengan intonasi berlebihan saat Venus baru saja duduk di kursinya. “Setan Kerinci,” jawab Venus santai. “Gilak!” “Lo, yang gilak!” Robert menarik wajah Venus untuk menatapnya, “Tapi beneran. Lo enggak waras.” “Gue sehat!” Maki Venus. Dia melepaskan kuncian tangan Robert di wajahnya. “Jangan pegang-pegang, tangan lo kotor tuh!” “Enak aja,” elak Robert. Di memperhatikan wajah Venus. “Jangan-jangan lo jatuh cinta sama dia, sejak lo gendong dia turun dari Kerinci?” “Diam, lo. Bicara lo nggak penting.” “Kan memang biasanya gini bicara gue. Selalu enggak penting.” “Iya, emang selalu enggak penting.” “Eh, tapi beneran gue tanya ini. Seriusan. Jangan bilang lo suka Kara?” “Balik ke meja lo sana! Ada Bu Olive itu.” “Jangan ngeles!” “Robert!” Kali ini Bu Olive yang memanggil nama Robert. Melihat siapa yang memanggilnya, Robert langsung mengeluarkan senyuman khas timur andalannya. Lalu menggeser kursinya kembali untuk duduk di mejanya sendiri. “Maaf, Bu.” Setelah itu kelas riuh, menyoraki Robert. “Sudah-sudah, kita akan mulai saja belajar hari ini,” Bu Olive melerai keriuhan kelas. “Oya. Kara, kamu sudah sepenuhnya pulih, Nak?” Tanya Bu Olive kemudian.  Kara hanya menganggukkan kepala. “Oke kalau gitu, ayo kita mulai pelajaran hari ini!” Bu Olive berseru, bersemangat. Hari itu, Bu Olieve di dua jam mata pelajaraannya mengevaluasi semua kegiatan penelitian Paok Schneider selama di Jambi. Dari mulai kesehatan anak-anak didiknya, laporan penelitian sampai hasil perburuan mereka di lantai hutan Gunung Kerinci. Kemudian, murid-muridnya diminta untuk duduk berkelompok lantas diminta untuk menyelesaikan laporan yang tertunda karena kejadian pingsannya Kara di Kerinci. “Di tengah kesulitan kita mencari Paok Schneider, dan banyak lagi kejadian yang tidak terduga selama di sana. Dua teman kalian berhasil menangkap gambar burung ekor pendek itu yang sedang mencari makan di lantai hutan,” ucap Bu Olive gembira. Dia kemudian menyalakan laptopnya, membuka folder yang isinya adalah dokumen foto. Tangan guru Biologi itu bergerak lincah, mengatur kursor sedemikian rupa, hingga foto-toto itu terbuka. “Ini. Ini adalah foto yang diambil Venus dan Kara. Mereka berhasil mendokumentasikan Paok Schneider dengan baik.” Murid-muridnya memandang takjub foto-foto itu, termasuk juga Venus dan Kara. Malah Kara, dia tidak menyangka kalau hasil bidikan Venus sebagus itu saat mendokumentasikan Paok Schneider yang mereka temukan dan akhirnya membuat mereka tersesat. “Ayo, beri tepuk tangan untuk kelompok mereka, karena hanya kelompok merekalah yang draf penelitiannya lengkap,” ucap Bu Olive yang disambut tepuk tangan riuh dari seisi kelas. Sekilas Venus tersenyum ke arah Kara yang duduk di seberang kursinya. Kara membalas senyuman itu. Namun sayang, Kara belum bisa mengeluarkan senyuman lepas yang seharusnya ia bisa keluarkan. Malam itu adalah malam ketiga sejak Kara kembali ke Jakarta. Kebiasaankebiasaan baru mulai disusun Kara, seperti dia akan bilang pada orang tuanya untuk tidur lebih awal, makan malam di dalam kamar, dan yang pasti tiap pukul 7 malam pintunya selalu sudah terkunci rapat. Ibunya  sempat curiga di hari ke dua, namun atas penjelasan Kara—bohong— esok harinya, Ibunya jadi mengerti. Langit malam diterangi jutaan bintang. Entah mengapa Kara belum bisa tidur juga, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia merasa jalan-jalan malam dengan perwujudan seekor kucing tidaklah suatu hal yang buruk. Dia bisa mencobanya malam itu. Siapa tahu dia bisa berkenalan dengan kucing tetangga atau kucing liar yang biasanya banyak terdapat di sekitar kompleks perumahan tempatnya tinggal. Kara menyelinap ke jendela yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati dia melewati paralon lalu melompat ke anak tangga di sebelah garasi mobil, hingga sampailah dia di halaman rumah. Kara kembali melompat, melewati celah kecil pagar rumah hingga akhirnya berhasil ke luar rumah. Sepanjang perjalanannya melewati jalan kompleks perumahan blok G tempatnya tinggal, Kara tidak menemui satu ekor kucing pun di sana. Maka Kara memutuskan untuk jalan lebih ke depan, mencoba menikmati jalan malamnya sebagai seekor kucing yang belum pernah sekalipun dia bayangkan. “Lari … lari!” Seekor kucing bercorak hitam putih berlari ke arah Kara sambil berteriak kencang. Kara kebingungan saat kucing itu semakin mendekat, dan semakin kencang dia berteriak, “Lari!” “Ayo lari!” Teriak kucing itu saat tengah dalam posisi berhadapan dengan Kara. Kara masih kebingungan dan melihat ke arah dari mana kucing belang itu datang. Dan di sanalah, Kara bisa melihat dua orang tengah berlari ke arahnya sambil membawa jaring. Kara yang panik kemudian berlari sekencang yang dia bisa. Melewati jalan sempit yang memisahkan sebuah rumah dengan restoran makanan siap saji yang sudah tutup. Saat itu Kara masih bisa melihat, dua orang yang membawa jaring itu masih mengejarnya. “Hei! Ayo naik ke sini.” Kucing hitam yang berteriak tadi yang memanggil. Kara mengikuti ajakan kucing itu. Dia melompat ke atas bak sampah lalu  melompat lagi ke loteng restoran. Mereka bersembunyi di sana. “Di sini kita aman,” ucap kucing belang hitam putih itu. “Terima kasih.” “Tidak masalah,” balas kucing itu. “Sebaiknya kau diam dulu. Dua orang itu masih ada di bawah.” Kara kemudian mengangguk. Dari lubang kecil itu Kara bisa melihat dua orang yang tadi mengejar mereka berada di bawah. Keduanya berperawakan kurus, namun satunya lebih tua dengan kumis tebal tercetak di atas bibirnya. Sementara yang satu lagi, yang lebih muda, dia mengenakan topi warna biru yang senada dengan kaos dan jeansnya. Mereka sedang bercakapcakap. “Tadi kucing apa?” kata pria yang lebih muda. “Entahlah, rasanya belum pernah aku melihat kucing seperti itu, Jek.” “Benar, Bang. Ukurannya lebih besar dari pada kucing-kucing peliharaan yang pernah kulihat di sekitar sini. Warnanya bagus pula, mirip singa.” “Iya. Kemana dia lari? Aku yakin itu kucing mahal.” “Iya, aku pikir juga begitu.” “Ayo cari lagi!” “Iya, Bang.” Keduanya pun pergi. Kara bernapas lega saat kedua orang itu akhirnya pergi. Dia kemudian berdiri, hendak pergi. “Hati-hati,” ucap Kucing yang mengajak Kara bersembunyi. “Terima kasih.” “Namamu siapa? Kau tinggal di mana? Rasanya belum pernah aku melihatmu di sekitar sini sebelumnya. Oya, aku Rex. Tinggal di blok H.  Majikanku Mikha.” “Aku …,” Kara terlihat ragu untuk memperkenalkan diri. “Kara. Tinggal di blok G. Aku kucing baru majikanku. Maaf, aku duluan, ya!” “Hati-hati. Dua orang tadi adalah pencuri kucing. Bukan tidak mungkin mereka akan kembali lagi ke sini,” ucap Rex. “Oke, terima kasih.” Kara lantas membawa tubuh kucing bongsornya untuk turun dari loteng restoran itu. Kemudian berlari pergi. Saat tiba di rumah dan bergelung dengan selimut, Kara baru menyadari bahwa ternyata sulit menjadi seekor kucing yang hidup di jalanan. Lingkungan tempat tinggalnya adalah bukan lingungan yang aman untuk seekor kucing ‘baru’ seperti dirinya. Kara pun kini menyadari, bahwa di dalam rumahlah dirinya sepenuhnya aman—paling tidak sampai sejauh ini. Tidak lagi-lagi aku keluar rumah dalam keadaan seperti ini, pikirnya. Kara pun tertidur. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices