
by Titikoma

Zed Dan Sebuah Harapan
Anak panah itu melesat cepat. Dengan ketepatan waktu, anak panah itu berhasil menghalau anak panah satunya yang sedang melesat cepat menuju sasaran. Saat dua ujung anak panah itu saling beradu, suaranya terdengar seperti desing dua bilah pedang yang saling hadang. Suara gemuruh terdengar seantero tanah lapang itu. Bertanya-tanya apa yang terjadi, mengapa ada anak panah lain yang menghadang. Dari kerumunan tampaklah dua orang tengah berlari tergopoh-gopoh. Dari bentuk tubuh dan pakaian yang dipakai, manusia kucing itu jelas pria. Satu tampak muda, dan satunya lagi sudah berumur—bahkan di bagian dagunya tumbuh lebat jenggot berwarna putih. “Pangeran?” “Ya, itu Pangeran!” “Ada apa dengannya?” “Ya, berani sekali dia menentang Ratu.” “Apa kubilang, Pangeran memang sedang mencari kekasih dari dunia manusia.” “Akh, kau termakan kabar yang beredar itu, ya?” “Memang banyak penduduk yang membicarakan itu.” Sepanjang perjalan dua manusia kucing itu ke atas panggung, terdengar desas-desus tentang dirinya dan mengapa dia menentang pengadilan yang tengah berlangsung. Dari atas panggung, Ratu menatap putra mahkotanya dengan tanda tanya. Sementara, si gadis berambut kuncir kuda itu terlihat lebih lega. Kara tak henti-hentinya melapalkan doa. Meminta pada Tuhan untuk membebaskannya dari sini, dan jika memang ini mimpi, dia ingin segera dibangunkan. Secepat kilat, salah satu manusia kucing itu melompat ke atas panggung. Begitu berhadapan dengan Ratu, si manusia kucing itu menunduk— memberi hormat. Satu manusia kucing yang berjalan di belakangnya mengikuti, sambil mengangguk takzim. “Penasehatku.” Ratu berkata pada manusia kucing yang lebih tua, yang datang belakangan. “Ampun, Ratu.” Si penasehat kembali menunduk. “Ibu, maafkan aku yang telah lancang menentang perintahmu.” Kali ini manusia kucing yang lebih muda memotong. “Tapi ketahuilah, carita anakmu ini patut dipertimbangkan untuk pengadilan anak manusia itu,” katanya lagi. “Ada apa Zed, putra mahkotaku?” “Tidakkah kau lihat luka ini?” Zed mengarahkan satu jari pada pergelangan kaki kanannya. “Kenapa, apa lagi yang dilakukan manusia-manusia itu?” “Mereka membuat banyak jerat di hutan. Tadi pagi aku terjerat dan tidak bisa ke mana-mana. Kau tahu, Ratu? Mungkin hari ini aku berakhir dikerangkeng, atau malah mati dikuliti manusia,” jelas Zed. Ratu mendengar penjelasan Zed. Dia murka atas apa yang baru saja dialami oleh anaknya. “Dan berkat anak itu.” Zed menunjuk Kara yang masih terikat. “Aku bebas. Dia yang menyelamatkan aku dari jerat para manusia pemburu,” kata Zed menyelesaikan ceritanya. Ratu, dia masih belum bereaksi. Dia masih mencerna atas apa yang baru saja diceritakan Zed. Hampir saja aku membunuh orang yang menyelamatkan putraku, pikirnya. “Tapi, kau sepatutnya tahu. Hukum tetaplah hukum,” ucap Ratu akhirnya. “Aku mengerti dan memahami itu. Tapi, apakah tidak ada keringanan untuknya karena telah menyelamatkan putra mahkota kerajaan ini?” Zed bertanya, dia mencoba meluluhkan Ibunya. “Kuharap Ibu bisa bijak dalam mengambil keputusan,” kata Zed lagi. Kali ini dia menundukan kepalanya, memohon. “Baiklah, aku akan meringankan,” ucap Ratu. Zed menengadahkan kepala, menatap lamat-lamat kedua bola mata Ibunya. “Sudah kukatakan sebelumnya, hukum tetaplah hukum. Itu akan berlaku pada mereka yang bersalah. Tak peduli apakah itu mereka yang dari bangsa kita atau bangsa manusia,” kata Ratu, kembali mengingatkan putranya. Kemudian Ratu berjalan ke arah Kara yang terikat. Saat tahu bahwa Ratu dan empat manusia kucing lain berjalan ke arahnya, Kara kembali merasa ciut. Dia berpikir bahwa nasibnya tidaklah sebaik yang baru saja ia pikirkan. Degup jantunya berpacu cepat bersamaan suara sorak sorai yang semakin riuh mengiringi langkah lima manusia kucing ke arahnya. “Lepaskan ikatan anak ini,” ucap Ratu dingin. Dua pengawalnya segera mematuhi perintah. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan putra mahkota kerajaan ini. Tapi hukum tetaplah hokum.” Ratu kembali berbicara. Kali ini suaranya lantang, dan tegas. Rakyatnya bisa mendengar itu. “Kau kuampuni agar tidak dihukum mati. Sebagai pengantinya, kau kukutuk menjadi Kucing Emas dikala malam di duniamu telah datang. Dua tahun kuperintahkan kau mencari pria yang mampu membuat pohon malam kami kembali berbuah. Lewat dari dua tahun, kau akan menjadi kucing emas selamanya. Kau mengerti?” “Tapi kenapa selamanya?” Kara bertanya. “Kenapa, kau keberatan? Kau pikir rakyatku tidak menderita saat di negerinya tidak ada malam dua tahun lamanya?” Ratu balik bertanya. “Biar aku yang menjelaskan. Lakukanlah kutukan itu,” Zed yang berbicara. Ratu mengangguk takzim. “Baiklah. Di hadapan seluruh rakyat di negeri ini, kukutuk kau menjadi Kucing Emas,” teriak sang Ratu, lantang. Bersamaan dengan itu, satu dentuman petir yang keras menggelegar di atas langit jingga. Setelahnya, suara sorak sorai kembali bergema. Kutukan itu telah aktif. “Kami menjunjung tinggi hukum.” Zed berbicara mengiringi langkah Kara di sebelahnya. Ekornya bergerak ke kanan ke kiri mengikuti langkah kakinya. “Hukum adalah nenek moyang kami. Sebagai keturunan yang menjunjung tinggi nenek moyangnya, maka kami menghormati hukum. Kasusmu adalah bukti bahwa bangsa kami menjunjung tinggi hukum, kau tidak sepenuhnya bebas hukum.” “Tapi apa hukuman yang kuterima adalah hukuman yang setimpal?” Kara berhenti, kemudian memandang ke arah Zed. Sejak tadi gadis berkuncir kuda itu memandang takjub mata kuning milik Zed yang menurutnya indah. “Paman, biarkan kami berdua!” Kali ini Zed meminta penasehat kerajaan yang dipanggilnya dengan sebutan paman untuk meninggalkan mereka berdua. “Baik, Pangeran.” Secepat kilat manusia kucing itu melompat, dan berubah menjadi kucing, lantas berlari pergi. Kara terlihat melongo saat melihat apa yang baru saja terjadi. Lantas terkesiap saat dilihatnya Zed sedang memandang ke arahnya dengan tatapan bingung. “Maaf.” Buru-buru Kara menutup mulutnya. “Belum terbiasa.” “Tidak apa-apa.” Mereka kembali berjalan di jalan setapak yang di kanan kirinya berjajar rumah-rumah pohon tempat penduduk kerajaan kucing itu tinggal. Sejauh mata memandang, jalan tanah cokelat, pohon dan rumput mendominasi tempat itu. Beberapa bukit juga terlihat di kejauhan, dipayungi dengan langit jingga yang indah. Sejak tadi, tak henti-hentinya Kara memandang kagum warna langit jingga nan sahdu itu. “Ketahuilah, langit malam kami juga sangat indah. Miliaran bintang biasa memenuhi langit malam negeri ini. Memberi keindahan … kedamaian.” Seperti mengerti apa yang sedang dipikirkan Kara, Zed berucap santai. Kara menelan ludah mendengar itu. Rasa bersalahnya kembali membuncah. Andai saja dia tahu kalau buah itu adalah malam mereka, Kara tidak akan mungkin berani menyentuh apalagi memakannya. Zed melihat raut penyesalan itu, “Kami memiliki tiga pohon Kasyapi.” “Kasyapi?” Kara mengulang kata itu dengan intonasi tanya. “Ya, Kasyapi adalah tree of life bangsa kami. Tanpa tiga pohon itu kehidupan sangat mustahil ada di tempat ini. Kasyapi tumbuh di tiga tempat berbeda, posisinya membentuk segitiga, mengelilingi negeri ini,” jelas Zed. “Tiap Kasyapi punya tiga buah yang berbeda, dan hanya ada satu buah di tiap Kasyapi. Matahari kami adalah Andakara, buah dari Kasyapi itu menghilang satu tahun lalu. Kasusnya sepetimu, yang menghilangkan Swapan, Bulan kami. Setidaknya satu tahun lagi Andakara akan kembali muncul, dan butuh dua tahun dari hari ini Swapan akan muncul.” “Maafkan aku,” ucap Kara. Sekali lagi, nada bicaranya menyiratkan penyesalan yang mendalam. “Tak apa, setidaknya kami masih punya langit sore ini. Saanjh, dia masih bersama kami,” kata Zed. Zed berhenti melangkahkan kakinya. Kara pun ikut berhenti. Dia memperhatikan manusia kucing itu sedang membuka sesuatu dari lehernya. Zed hendak menyerahkan kalung pada Kara. “Apa, ini?” Kara bertanya, heran saat tiba-tiba Zed memberinya sebuah kalung. “Ambil ini, aku harap kau bisa menyelesaikan syarat yang diberikan Ibuku agar bisa lepas dari kutukan. Cari orang yang bisa percaya denganmu, dan bisa menepatinya untuk tidak menceritakan tempat ini pada siapapun. Waktumu hanya dua tahun. Lewat dari itu, nasibmu akan sama dengan yang dikatakan Ibuku tadi.” Kara menerima kalung yang diberikan Zed, sambil mendengarkan ucapan pangeran kerajaan kucing itu. “Pakai kalung itu untuk kembali ke tempat ini, kau hanya perlu memutar jarum yang ada di tengah itu.” Zed menjelaskan cara pakai benda itu. Kara memerhatikan jarum yang berada tepat di liontin berbentuk lingkaran pada kalung itu. “Sekarang, gunakan itu untuk kembali ke tempat asalmu. Ingat, jangan pernah kembali ke tempat ini sebelum kau menemukan orang yang tepat.” Zed mengingatkan. “Perlu diingat pula, kutukanmu mulai aktif ketika kau kembali ke duniamu,” katanya lagi. Kara menelan ludah. Keindahan langit jingga, keindahan warna bola mata Zed dan keindahan kalung liontin nyatanya tidak bisa menghiangkan rasa khawatinya pada kutukan Ratu terhadapnya. Gadis berkuncir kuda itu kini memerhatikan lingkaran indah pada kalung yang diberikan Zed padanya. Lingkaran itu didominasi oleh tiga warna, biru muda, jingga dan hitam dengan titik-titik putih kecil. Di tengahnya terdapat jarum jam dengan ujung jarum menghadap ke atas. “Putar utung jarum jam itu ke bawah,” suruh Zed. Kara mengangguk. Dengan jantung berdegup, jari telunjuknya mulai memutar jatum kecil itu ke bawah. Seketika tubuhnya seperti meledak, dan berubah menjadi molekul-molekul kecil yang berhamburan di negeri yang dibalut langit jingga itu. Kara merasa pandangannya begitu luas, dia bisa menjamah ke berbagai tempat di negeri ini. Dia bisa melihat apapun, bukit itu, padang rumput, ribuan rumah pohon, danau luas di selatan, dan istana kerajaan yang berada di tengah-tengah. Kara merasa tubuhnya mulai menjauh, terbang ke atas. Dia bisa melihat bentuk segitiga sama sisi. Negeri itu berbentuk segitiga sama sisi, dan apa yang tadi diceritakan Zed padanya tentang Kasyapi benar adanya. Entah bagai mana caranya, Kara bisa melihat jelas tiga pohon itu. Ketiga pohon itu seperti membuat simpul cahaya, namun hanya cahaya di satu garis saja yang begitu terang menyinari. Dua garis lainnya hanya terlihat cahaya yang samar. Tiba-tiba grafitasi bumi seolah menyedotnya kembali ke tanah. Dia merasa akan menubruk lantai negeri itu. Teriakan kerasnya tidak bisa dihindarkan. Kara berpikir itu adalah teriakan terkeras yang pernah dia keluarkan. Tapi entah, apakah teriakan itu akan didengar orang lain selain dirinya sendiri. Kabut tipis turun di Kersik Tuo. Sinar matahari mulai naik ke permukaan dan perlahan menggeser kabut yang menyelimuti desa. Suasana Rumah Panjang milik Ki Eten juga sudah berangsur-angsur normal ketika Kara sudah sadarkan diri subuh tadi. Kini, gadis itu sudah benar-benar pulih, beberapa tetua kampung yang ikut hadir di kediaman Ki Eten pun dibuat bingung dengan gadis berkuncir kuda itu. Semalaman mereka bersama menjaga Kara yang pingsan di dalam hutan Gunung Kerinci. Beruntung Ki Eten dan Jagawana yang lain sigap dan berhasil menemukan Venus yang tengah menggendong Kara yang pingsan. Menjelang senja mereka akhirnya menghentikan penelitian. Prioritas mereka adalah keselamatan Kara. Sesaat sebelum matahari kembali ke peraduan, mereka berhasil membawa Kara ke Rumah Panjang. Rombongan SMA Kartini yang dibawa Bu Olive panik bukan kepalang, saat Kara belum juga siuman. Dokter kampung dipanggil untuk memberikan pertolongan pada gadis itu. Tetua kampung pun ikut bermlam di Rumah Panjang melihat kondisi Kara. Barulah, beberapa saat setelah adzan subuh gadis itu sadarkan diri. Dia terbatuk-batuk kecil, saat itu Bu Olive dan istri Ki Eten tergopoh-gopoh menghampiri Kara yang ditemani Venus dan Rega. Kata pertama yang diucapkan Kara adalah, “Minum.” Rega segera bergegas menuang air kemasan yang berada di sebelah tempat tidur yang ditempati Kara. Kara saat itu sedikit bingung juga saat tatapannya menubruk sosok Venus di sebelahnya, menunggui. Namun rasa hausnya lebih membutuhkan jawaban. Kala meneguk air putih yang disodorkan Rega padanya, Kara bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan beberapa orang yang salah satunya dikenali sebagai suara milik Ki Eten. Mereka tengah membicarakan sesuatu. Kara hanya menangkap bahwa salah satu suara menyebut kalau, Kejadian ini sudah yang kedua kalinya. Kara baru ingat, kalau baru saja dia tengah berada di dunia kucing yang memberikannya sebuah kutukan. Kara sendiri masih bingung, dan ragu kalau negeri kucing itu benar adanya. Dia masih berharap kalau negeri itu hanya halusinasinya semata, kutukan itu hanyalah bagian dari imajinya— bagian dari respon otak yang kelelahan. Namun Kara sadar akan sesuatu, kantung celananya menyimpan benda kecil. Kara merogoh tanpa mengeluarkan benda tersebut. Namun dia bisa merasakan dan bisa meyakini kalau benda itu adalah kalung tiga warna yang diberikan pangeran negeri kucing padanya. Jantung Kara saat itu berdebar kencang. Dia pamit ke toilet, lalu diantar oleh Bu Olive dan Rega. Sementara Venus dan istri Ki Eten kembali pada kelompok tetua Kampung yang tengah bercakap-cakap di tengan siswa-siswi SMA Kartini yang tengah tertidur pulas—kelelahan. Kara hampir menjerit saat dia merogoh dan mengeluarkan benda kecil itu dari dalam saku celananya. Liontin kalung itu berkelap-kelip di tangannya. Seketika kakinya terasa lemas, namun otaknya berpikir cepat untuk tidak kembali pingsan. Kara memasukan kembali kalung itu ke dalam saku, lalu cepat ke luar dari toilet.