
by Titikoma

Hari Penebusan
Besoknya, di waktu yang sudah di sepakati, mereka bertemu di taman kompleks perumahan tempat Kara tinggal. Mikha sempat gusar saat Kara tidak juga datang, namun segera terkembang senyumnya kala melihat Kara yang tergopoh-gopoh, jalan ke arahnya. Kara datang lebih lama 15 menit dari waktu yang ditentukan karena harus menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan guru Fisikanya. Mikha bisa memaklumi, lantas kembali fokus pada apa yang sudah mereka sepakati. Di sanalah mereka. Di sebuah sudut taman yang cukup sepi, mereka duduk berdampingan, bersiap untuk menyeberang ke negeri kucing. “Ayo, kita mulai,” ucap Mikha tenang. “I—iya!” Berbeda dengan Mikha, Kara jauh lebih tegang. Keduanya sudah bersama bandul bercorak biru, jingga, dan hitam bertabur kerlip yang mereka punya masing masing. Bersiap memutar jarum jam. “Dalam hitungan tiga,” ucap Mikha lagi. “Satu ….” “ … Dua.” “Tiga ….” Seketika tubuh mereka tergelepar, tak sadarkan diri. Ya, seperti perjalan sebelumnya, saat Kara untuk pertama masuk ke negeri kucing itu sebenarnya fisiknya tetap ada di bumi, dan bisa dilihat siapa saja. Mereka yang melihat, pasti akan berpikir bahwa Kara dan Mikha tengah pingsan. Di taman sekolah SMA Kartini Jakarta, tepatnya di depan gedung perpustakaan, seseorang tengah duduk di batu granit. Siswa bermata cokelat itu seperti tengah menunggu seseorang. Tiba-tiba seorang wanita cantik berpakaian layaknya tenaga pengajar, keluar dari gedung perpustakaan. Menghampiri siswa yang terlihat menunggu itu. “Venus, kamu sedang apa di situ? Tumben sendirian.” “Eh, Bu Olive. Iya, Bu. Saya lagi nunggu teman.” “Siapa? Robert?” Venus menggeleng. “Kara, Bu.” Bu Olive terlihat tersenyum ke arah Venus. “Ya sudah, Ibu duluan ya?” katanya. “Silakan, Bu.” Bu Olive pun pergi. Kini hanya tinggal Venus seorang. Suasana taman itu semakin sepi saat sudah hampir setengah jam Venus menunggu. Beberapa kali dia mengirimkan pesan pada Kara, namun tak pernah ada balasan. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi. Nyatanya, dia benar-benar marah padaku, pikirnya. Tubuh keduanya bak makhluk keluar dari dalam kubur. Tidak ada yang dapat mengontrol, tubuh itu terbang setelah menembus tanah. Namun yang pasti, keduanya bisa melihat langit senja yang indah itu lagi. Dalam sekejap, tubuh keduanya meledak menjadi milyaran molekul yang berhamburan di langit. Kara bisa merasakannya kembali. Pandangannya tanpa batas, sensasi itu sama ketika dia hendak meninggalkan negeri itu lebih dari seminggu lalu. Gravitasi mulai kembali menyedot mereka untuk kembali ke tanah tempat berpijak. Milyaran molekul itu menyatu kembali, membentuk tubuh utuh mereka sama seperti semula. Akhirnya keduanya bisa benar-benar menapaki tanah negeri itu—mereka telah benar-benar sampai. “Selamat datang kembali.” Seseorang yang dikenali Kara tiba-tiba hadir di hadapan keduanya. “Rokumaga,” ucap Mikha tiba-tiba. Kara memalingkan wajahnya pada Mikha. “Selamat datang kembali juga untukmu,” ucap manusia kucing yang Kara tahu adalah penasehat kerajaan. Dan kini dia tahu, namanya Rokumaga. “Ayo, Ratu dan Pangeran Zed sudah menunggu kalian di istana,” katanya. Lantas manusia kucing itu melompat dan hendak berlari. “Tunggu Rokumaga, kami tidak bisa lari secepatmu!” teriak Kara. “Melompatlah. Apa kalian lupa kalau kalian juga bagian dari kami, sekarang?” Kara dan Mikha bisa melihat tubuh mereka seketika berubah, mereka menjadi manusia kucing, berekor, berkumis, dan bercakar tajam. Pakaian mereka juga sama dengan pakaian yang dikenakan Rokumaga dan penduduk negeri kucing yang pernah Kara temui dulu—setelan baju dan celana berwarna cokelat keemasan. Tanpa aba-aba, Mikha langsung melompat dan menjelma menjadi seekor kucing. Kara lantas mengikuti, melompat dan terjadilah perubahan pada fisiknya. Mereka berlari menapaki tanah, saling berkejaran menuju istana yang ada di pusat dari negeri itu. Setibanya di istana, mereka sudah disambut Ratu, Zed dan puluhan pengawal kerajaan lainnya. Tubuh mereka kembali menjadi manusia kucing, yang berjalan dengan dua kaki. Rokumaga merundukan kepalanya, memberi hormat. Melihat itu Kara dan Mikha juga melakukan hal yang sama. “Terima kasih kalian sudah kembali ke sini,” ucap Ratu. “Apa Haspira sudah terlihat?” Ratu kali ini bertanya pada putra mahkotanya. “Belum, Ibu. Haspira belum muncul.” Zed yang menjawab. “Mungkin sebentar lagi, Ratu.” Rokumaga ikut menanggapi. “Ya sudah, kita tunggu saja di tempat ritual Assuja.” Setelah berbicara demikian, Ratu berjalan menaiki anak tangga. Diikuti yang lainnya, termasuk Kara dan Mikha. Mendengar nama-nama asing yang dibicarakan Ratu agaknya membuat Kara sedikit pusing. Entah apa lagi kejutan-kejutan yang akan aku temui di tempat ini, pikir Kara. “Kamu kelihatan tegang,” ucap Mikha. Zed yang berjalan di samping kiri Kara ikut memandang gadis itu. “Ini tidak seperti yang kau bayangkan, tenanglah,” ucap Zed menenangkan, Kara mencoba tersenyum untuk menanggapi ucapan Zed itu. Kara jadi ingat peristiwa pengadilan waktu itu, kalau bukan karena Zed mungkin dia sudah tewas dipanah. “Apa itu Haspira, juga ritual Assuja?” Mikha yang bertanya. Zed melirik sebentar pada Mikha, dia sudah hafal karakter Mikha yang to the point. “Assuja itu ritual yang akan kalian lakukan untuk membuat Kasyapi kami tumbuh kembali. Untuk melakukan ritual itu, kalian perlu energi besar dari Haspira,” jelas Zed. Nampak Kara serius mencerna. “Lalu bagaimana kami bisa melakukan ritual Assuja?” Mikha bertanya lagi. Kali ini Zed diam, hanya jalan saja. “Nanti kalian akan tahu, Rokumaga akan membimbing kalian,” katanya setelah beberapa langkah berjalan. Mereka terus menaiki anak tangga, jumlahnya mungkin seratusan lebih. Diujung anak tangga itu terlihat pintu besar yang menjulang tinggi, lebih dari tiga meter. Setelah berjalan cukup panjang, mereka akhirnya sampai di depan pintu raksasa itu. Entah apa mantra yang dibacakan Ratu, pintu itu dengan segera bergeser. Di balik pintu besar dengan ukiran pohon itu ternyata sebuah tanah lapang luas yang ditumbuhi rumput hijau yang tertata rapi. Di tengah lapangan ada jajaran batu pipih yang membentuk sebuah pola segitiga. Mereka berhenti sebelum kaki-kaki mereka menyentuh rumput dari tanah lapang itu. “Ini batasnya. Kalian silakan menuju pola segitiga itu,” ucap Ratu. Kara dan Mikha terlihat berpikir, ada keraguan di sana. Namun akhirnya mereka melangkah juga, mengikuti arahan Ratu. “Silakan, Paman.” Kali ini Zed yang mempersilahkan Rokumaga ikut menyusul Kara dan Mikha. “Tidak pangeran, kali ini giliran kau,” balas Rokumaga seraya tersenyum. “Iya, putraku. Kali ini giliranmu.” Ratu mengiyakan. “Baiklah.” Zed menunduk hormat. Dia kemudian melangkah, menyusul Kara dan Mikha yang sudah hampir sampai ke batu berpola segitiga itu. Langit sudah berubah jingga saat Venus sampai di kediaman Kara. Sepedanya di parkir di depan gerbang rumah. Dia melirik ke halaman, sepeda Kara tidak ada di sana. Venus menduga kalau Kara tidak ada di rumah. Tapi ke mana? Pikirnya. “Lho, Nak Venus. Ngapain di situ? Ayo, masuk.” Ibunya Kara berucap. Dokter itu tiba-tiba muncul dari balik pintu, dia menghampiri Venus. “Maaf Tante, Karanya sudah pulang?” “Belum, katanya ada mengerjakan tugas sama temannya.” Ibu Kara kini sudah di depan gerbang, hendak membukanya. “Oh, gitu ya. Yasudah Tante, nggak perlu dibuka. Aku langsung pamit saja.” “Nggak mau nunggu?” “Nggak usah tante, terima kasih.” “Ya sudah kalau begitu.” Venus sudah siap dengan sepedanya, namun dia sempatkan untuk kembali bertanya pada ibu Kara. “Oya Tante, apa Kara bilang mengerjakan tugasnya bareng siapa?” “Siapa ya …,” ibu Kara mencoba mengingat-ingat. “Kalau nggak salah, Mik—“ “Mikha, Tante?” Tanya Venus memotong. “Nah, iya. Nak Mikha.” “Oke, Tan. Terima kasih.” Wanita itu kemudian tersenyum melihat Venus yang sudah mengayuh sepedanya meninggalkan rumah itu. Sambil mengayuh sepeda, pikiran Venus entah mengambang ke mana. Terlalu banyak fokusnya saat ini. Ya, kemana Kara? Kenapa dia tidak mau menemuinya? Kenapa Kara bisa bersama Mikha? Pikiran-pikiran itulah yang mengganggu otaknya. Venus akhirnya berhenti di sebuah taman, memarkir sepedanya agak menyendiri di sana. Turun dari sepeda, Venus mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah novel yang rencananya akan diberikan pada Kara. Namun, Venus harus gigit jari, Kara bahkan tidak mau menemuinya. Sesalnya kembali menguap. Andai saja hari itu tidak ada. Andai saja aku tidak bercerita pada Robert. Andai saja waktu bisa kuulang. Atau andai saja sejak awal aku bisa mengungkapkan perasaanku pada Kara. Kara, apa kau tahu? Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di sekolah ini dan melihatmu ada di antara mereka. Aku jatuh hati …. Kara, apa kau tahu? Aku selalu curi-curi pandang padamu? Atau apa kau tahu, aku pernah hampir mengirimimu surat cinta? Begitulah, aku hanya Venus si pengecut. Tak pernah sanggup hatiku untuk mengungkap rasa sukaku padamu, walau rasanya ingin sekali. Begitulah, aku hanya Venus yang tiap kali meledak saat melihatmu … dan kemudian tertiup begitu saja saat aku menyadari sebegitu pengecutnya aku yang tidak berani mengungkapkan perasaan. Kaki dan otak Venus sama-sama sedang berjalan. Bedanya, saat kakinya menyusuri jalan setapak taman yang sepi, otaknya berjalan menyusuri lembah penyesalan yang dibuatnya sendiri. Ironi. Saat berjalan, pandangan Venus tertubruk pada dua buah sepeda yang terparkir berdampingan. Salah satunya dia bisa kenali sebagai milik Kara. Otaknya sudah kembali, dan berpikir cepat bahwa orang yang dicarinya sedang ada di sini. Venus menyusuri jalan taman semakin ke dalam, melewati beberapa orang yang sedang menikmati sore di taman itu. Perasaannya sedikit sakit ketika menyadari Kara sedang berada di tempat itu dengan orang lain. Dengan tidak mau menemuinya di taman depan perpustakaan sekolah, Venus bisa menduga kalau orang yang sedang bersama Kara itu orang yang spesial. Tapi persetan dengan spekulasi itu, Venus tetap akan mencoba berbicara dengan Kara, mengungkapkan perasaannya walau dia sudah bisa pastikan kalau gadis itu akan menolaknya. Venus mempercepat langkahnya. Semakin ke dalam, suasana taman semakin sunyi. Dan di sanalah, Venus bisa menemukan Kara dan Mikha yang dimaksud ibu Kara. Dan betapa terkejutnya Venus saat mendapati kedua tubuh itu sedang tidak sadarkan diri. Panik, siapapun yang ada di kondisi sepertu itu pasti akan panik, pun dengan Venus. Siswa bule bermata cokelat itu bingung harus berbuat apa. “Kara … lo kenapa?” Racau Venus panik. Dia lebih memprioritaskan Kara. Sementara itu di negeri kucing. Kara, Mikha dan Zed sudah bersiap di posisi masing-masing. Ketiganya duduk bersila, terpisah, menempati masingmasing sudut batu pipih segitiga itu. Saat itu Karalah yang paling tegang, walau sudah diberitahu Zed kalau ini bukanlah ritual yang membahayakan, Kara tetap saja tidak bisa menyembunyikan rasa tegangnya. “Saat Haspira sudah mulai menyetuh salah satu garis segitiga batu ini, mulailah mengosongkan pikiran kalian dari apapun. Serahkan diri kalian sepenuhnya pada Haspira, biarkan energinya mengalir pada tubuh kalian. Dan nanti, saat segitiga ini sudah disinarinya penuh, satukan pikiran kalian untuk Kasyapi, biarkan dia tumbuh. Assuja akan benar-benar berhasil jika kita bisa manyatukan tujuan.” “Tapi bagaimana kalau gagal?” Mikha yang bertanya. “Negeri ini gelap gulita, dan kalian akan selamanya menjadi bagian dari kami,” jawab Zed enteng. “A—apa?” Kara tidak percaya. “Dan itu artinya, butuh waktu 20 tahun untuk menumbuhkan kembali Kasyapi secara alami.” “Kalau begitu kenapa tidak menunggu 2 tahun saja supaya negeri ini tidak gelap-gulita kalau ritual ini gagal?” Kara masih yang bertanya. “Kalau kau bersedia menjadi manusia kucing selamanya dan berdiam diri di sini, itu tidak masalah,” lagi-lagi Zed menjawab enteng. “Sekali lagi, Kara. Hukum tetaplah hukum. Kau lupa? Hukum adalah nenek moyang kami. Sudahlah, fokus saja dengan tugas kalian berdua.” Kara mendengus kesal. Dia tidak menyangka urusan penebusan ini sebegitu peliknya, dia tidak benar-benar akan bebas dari kutukan dengan mudah. Proses yang tengah dilakukannya itu penuh resiko. Masa depannya … Aku tidak mau berakhir di sini, pikirnya. Mikha bisa merasakan kekhawatiran Kara, tapi dia kembali fokus dan memperhatikan kilatan cahaya yang ternyata sudah menyentuh sudut yang ditempati Zed. Mikha bisa melihat jelas kalau saat ini manusia kucing bermata kuning itu memejamkan mata, seperti merelakan jiwa dan raganya. Cahaya dari bintang senja itu terus berjalan melewati Zed yang terduduk takzim. Kali ini mendekati Mikha dan Kara. Keduanya cukup tegang, tapi mereka berusaha tenang. Mereka harus ingat … jika ritual Assuja ini gagal, maka tamatlah fisik mereka di bumi. Raga mereka tidak bisa kembali lagi pada fisik, dan itu tentu tidak diingikan keduanya. Mereka harus berhasil, tidak ada pilihan lain untuk kembali ke bumi. Sinar itu akhirnya menyentuh keduanya. Mereka memejamkan mata, berupaya menyerahkan segalanya, membiarkan energi itu masuk dan mengalir hebat dalam tubuh mereka. Kara, Mikha dan Zed bisa merasakan kalau hukum gravitasi tidak berlaku kali ini. Tubuh mereka mengambang di udara, menyisakan jarak sekitar setengah meter dari lantai batu segitiga itu. Entah bagaimana caranya, tubuh itu berputar. Semakin lama semakin cepat, hingga akhirnya mengabur dalam pandangan. Tiba saatnya, kala energi itu berhasil memenuhi tubuh mereka, saat fokus mereka tertuju pada Kasyapi. Sebuah kecambah tiba-tiba muncul dalam pandangan ketiganya. Dan seketika itu jugalah tubuh mereka tiba-tiba meledak menjadi serpihan kecil yang hidup. Serpihan itu membentuk koloni yang saling bekerja sama merawat. Ada koloni yang memupuk, menyiram, serta memberi cahaya yang cukup agar kecambah itu bisa tumbuh dengan baik. Ketika kecambah itu semakin tumbuh, berdatangan koloni lain dari berbagai arah salah satunya bahkan hampir merusak kecambah yang sedang dirawat. Melihat itu koloni-koloni yang dihasilkan dari pecahan tubuh Kara, Mikha dan Zed tidak tinggal diam. Mereka mencoba menghalau dengan berbagai cara. Pertempuran hebat antara koloni terjadi. Mereka yang jahat ingin merangsek masuk untuk merusak kecambah Kasyapi. Sementara koloni yang baik—yang dihasilkan dari pecahan tubuh Kara, Mikha dan Zed—berusaha keras menahan gempuran. Pertarungan sengit itu berakhir ketika salah satu koloni Kara, Mikha dan Zed menyemprotkan sebagian air asupan Kasyapi ke koloni jahat. Mereka akhirnya pergi. Beberapa dari koloni baik berguguran dalam pertempuran. Sisanya kembali fokus menumbuh-kembangkan Kasyapi yang semakin lama semakin besar. Di luar penglihatan Kara, Mikha dan Zed, Ratu dan yang lainnya bisa melihat sebuah pohon kecil tumbuh di tengah batu pipih segitiga itu. Pohon mungil itu dipenuhi kerlip pada dedaunannya. “Ini akan berhasil, Ratu,” ucap Rokumaga. “Sepertinya begitu,” balas Ratu. Pohon kecil itu terus tumbuh hingga akhirnya menjulang tinggi. Kerlip cahaya itu kini sudah tertutup oleh sinar pekat yang dikeluarkan pohon. Cahaya itu berpendar-pendar, begitu menyilaukan. Namun akhirnya cahaya itu turun, menyusut mengaliri tiga arah sudut segitiga, meluncur begitu sangat cepatnya menembus bangunan istana, melewati rumah penduduk negeri, hingga berakhir di beratus-ratus kilometer setelahnya. Di sanalah cahaya itu berhenti, di tiga sudut wilayah negeri kucing itu, di sebuah batu pipih segitiga lainnya yang ukurannya lebih kecil dari pada yang ada di istana. Cahaya itu memaksa sesuatu tumbuh dari dalam tanah. Tiga Kasyapi baru yang pada dahannya tumbuh tiga buah yang berbeda. Andakara untuk buah yang menghasilkan matahari, Saanjh untuk buah yang menghasilkan senja, dan Swapan untuk buah yang menghasilkan malam. Suasana malam langsung menyelimuti negeri kucing, malam telah kembali. Misi ketiganya berhasil, tiga Kasyapi itu kembali tumbuh. Tubuh Kara, Mikha dan Zed kembali seperti sediakala. Bahkan Kara dan Mikha sudah kembali pada wujud manusia seutuhnya, tanpa ekor, cakar apalagi kumis layaknya kucing. Zed yang pertama kali berdiri, sementara Mikha dan Kara masih mencoba menyesuaikan kesadarannya. Kara terlonjak kaget saat mengetahui di hadapannya, sebuah pohon berukuran cukup besar terlihat kering, atau Kara bisa menyimpulkan kalau pohon itu telah mati. “Seorang Ibu pasti akan berkorban untuk anak-anaknya. Kalian lihat ini, Kasyapi ini mati untuk tiga Kasyapi baru,” ucap Zed, seperti menjawab pertanyaan Kara. Manusia kucing itu kemudian meninggalkan Kara menuju Ibu, penasehat dan para pengawalnya yang terlihat menunggu. Zed bisa melihat wajahwajah itu dengan jelas, sebuah rona bahagia. Mikha membantu Kara berdiri, dan berjalan ke arah kerumunan Ratu. “Berhasil,” ucap Kara. Mikha mengangguk, lantas tersenyum. “Iya.” Kara bisa melihat wajah itu, wajah yang sangat dia hafal. Wajah itu kembali pada saat pertama kali melihat Mikha. Wajah tampan itu kembali. “Iya, akulah yang merenggut Andakara. Setahun lalu,” rapal Mikha. “Sekarang kita bisa kembali.” “Iya.” “Terima kasih.” “Aku juga,” ucap Kara seraya tersenyum. Gadis itu masih berjalan dengan dibantu Mikha, pusing di kepalanya masih belum pergi. Kara mengerjap, mencoba membuka matanya. Dia bisa melihat di sekelilingnya serba putih. Tempat ini lumayan asing baginya. Namun tidak, begitu dia melihat Ayah dan Ibunya, dan … Venus. Setelah berpamitan pada Ratu, Zed dan Rokumaga, Dia dan Mikha kemudian kembali ke tubuh masing-masing. Perjalanan meninggalkan negeri kucing yang memusingkan itu kembali terjadi. Prosesnya sama saat ketika dia datang ke sana, memusingkan. “Syukurlah kalau kau sudah siuman,” ucap Ibunya. “Venus menemukan kalian berdua pingsan di taman. Venus yang khawatir akhirnya bawa kalian ke klinik ini. Tapi syukurlah, kalian sudah sadar.” “Kak Mikha?” Kara bertanya tertahan. “Itu di ranjang sebelahmu. Ada orang tuanya juga,” jawab Ibunya. Kara menengok ke arah kanannya, dan mendapati Mikha yang tengah tersenyum ke arahnya. “Hay, Kara,” sapa Mikha. “Iya, Kak,” balas Mikha. “Eh, kalian berdua jangan lupa berterima kasih sama Venus. Dia yang membawa kalian ke sini. Untung saja ada Nak Venus.” Kali ini ibu Mikha yang berucap. “Iya, Mah. Makasih ya, Venus,” ucap Mikha tulus. Venus hanya tersenyum canggung, lalu dia berpaling pada Kara yang tidak berbicara apapun. Venus bisa menyadari, keberadaanya sama sekali tidak diharapkan gadis pujaannya. “Maaf tante, sepertinya saya harus pulang. Sudah lumayan malam, takut orang tua saya khawatir,” ucap Venus Akhirnya. Dia jelas berbohong, hatinya masih ingin di sini. “Oh, iya, silakan, Nak. Sekali lagi tante terima kasih,” ucap ibu Kara. “Saya juga, terima kasih, Nak Ven,” ibu Mikha ikut menanggapi. “Gue pamit, Kak Mikha,” ucap Venus. “Oke. Thank’s, ya!” balas Mikha. Kali ini Venus menatap Kara, si bule itu hanya tersenyum tipis pada Kara. Sekilas, dan kemudian pergi. Aku hanya akan selamanya menjadi pengecut setelah ini. Kara … aku menyukasimu, suara hati itu akhirnya lebur bersama angin yang bertiup malam itu.