melepasmu untuk sementara
Melepasmu Untuk Sementara

Melepasmu Untuk Sementara

Reads
89
Votes
0
Parts
19
Vote
by Titikoma

Keputusanku

18 Maret 2016. Pukul 09.00 wib. 

Assalamualaikum, Rin. Bisa nggak hari ini jam 10 pagi kamu datang ke rumahku? Aku lagi ngadain acara syukuran wisuda. Arizal mengirimkan BBM ke aku. Athiyah mana Athiyah? Aku mencari Athiyah karena ingin menanyakan jadwalku hari ini. Memang hari ini hari Minggu, tapi sebagai penulis sekaligus motivator, nggak kenal sama hari libur. Sedari habis bangun tadi aku nggak ngelihat batang hidungnya. Bahkan Pak Dhe sama Budhe pun juga nggak lihat dia sejak habis subuh. Kemana dia? Kalau pergi nggak minta izin dulu? Jika sudah seperti ini jalan paling ampuh menemukan keberadaan Athiyah lewat sms. Sebelumnya aku balas BBM Arizal dulu. Waalaikumsalam, Zal. Ciyeee … yang udah wisuda. In Shaa Allah aku datang, kalau jadwalku kosong. Aku beralih menyentuh icon amplop di layar HP. Athiyah, lo ada dimana sih? Gue nyariin lo tauuu. Sent to number Athiyah. “Assalamualaikum. Gue di sini, Rin. Ada apa nyari gue? Baru ditinggal bentar aja udah kangen.” Orang yang aku cari-cari nongol di samping. “Lo dari mana? Pergi kok nggak minta izin sama gue?” “Sorry, tadi gue jalan-jalan pagi sama Mbak Nanik sekalian nyari sego liwet buat lo. Lo kemarin pengen banget makan sego liwet.” “Lain kali kalau mau pergi minta izin dulu sama gue, biar gue nggak khawatir. Selama lo di Solo, lo tanggung jawab gue. Kalau lo hilang, gue mesti bilang apa ke nyokap bokap lo? Terus belum lagi, gue bakal diomelin abis-abisan sama bokap gue secara lo kan kaur desa kesayangan bokap gue.” Aku ceramah panjang lebar. Athiyah hanya manggut-manggut saja. “Iya ya lain kali gue minta izin dulu  sama lo kalau mau pergi. Ngemeng-ngemeng, lo nyari gue ada apa?” Saking sibuknya ngomel aku lupa tujuan utamaku nyari Athiyah. Untung dia ngingetin. “Gue nyari lo karena pengen nanyain jadwal gue hari ini kemana aja?” “Bentar.” Athiyah ngeloyor pergi, masuk ke kamar. Nggak lama kemudian dia kembali membawa buku agenda yang berisi jadwalku sehari-hari. “Hari ini Hari Minggu tanggal 28 Februari 2016 jadwal lo Cuma talk show di radio Solo Baru jam empat sore.” Dia membacakan jadwalku hari. “Bagus. Sekarang kita siap-siap.” “Loh, siap-siap kemana? Sekarang kan kita nggak jadwal kemana-mana, mending kita di rumah aja nikmatin hari libur.” “No, kita ke rumah Arizal. Dia lagi ngadain acara syukuran wisuda.” “Ngadain syukuran? Asyik, berarti makanan dong?” Dasar Athiyah. Dengar syukuran aja langsung dikaitkan dengan makanan. Dia memang dari kecil doyan makan tapi tetap badannya nggak gemukgemuk. “Eh, Rin tadi malam kan lo dah sholat istikharah, gimana pagi ini lo dah dapet petunjuk dari Allah tentang jawaban lo ke Mas Adit?” Tanya Athiyah serius. Aku menggeleng lesu. “Belum. Tadi nggak mimpi apa-apa. Kan kata oran petunjuk dari Allah habis sholat istikharah itu lewat mimpi.” Athiyah tersenyum simpul. “Ya, nggak pasti juga sih petunjuknya lewat mimpi. Bisa juga petunjuk dari Allah itu secara langsung di depan mata lo.” “Aamiin. Moga petunjuk dari Allah datengnya hari ini. Ya udah yuk kita siap-siap biar nggak telat.” Pukul 10.00 wib Rumah Arizal masih sama seperti 12 tahun yang lalu, dekat SDN 6 Cemani. Yang berbeda hanyalah desai interior dan warna cat saja. Itu masih wajar.  Mungkin mereka ingin cari suasana baru. “Selamat datang di rumahku, Rin. Aku seneng banget kamu bisa datang ke acara syukuran wisudaku.” Arizal menyambut kedatanganku dengan ramah. “Dia siapa, Zal? Kok baru liat dia datang ke sini?” Tanya Wanita paruh baya yang masih cantik mengenakan hijab syar’I warna merah maroon di samping Arizal. Aku sih menebak wanita paruh baya itu ibunya Arizal. “Oh iya kenalin, dia Ariny, Bu. Temanku waktu SD. Masih inget kan?” Wanita paruh baya itu menepuk jidatnya saendiri. “Astagfirullah, ibu lupa. Faktor U kali ya. Wah, kamu sekarang udah besar ya. Cantik dan sudah jadi orang sukses pula.” Ibunda Arizal memelukku erat. Ya, ampun pelukan ibunda Arizal hangat banget selayaknya pelukan seorang ibu ke anak kandungnya. Andai saja ibunda Arizal jadi mertuaku, pasti aku bahagia banget. Ah, pikiranku mulai meracau kemana-mana. Ibunda Arizal melepaskan pelukannya dariku. “Ya udah yuk masuk. Acara sudah mau mulai.” Sesampai di ruang tamu aku dapat kejutan yang luar biasa. Teman-teman SD-ku seperti Khusnul, Navis, Nisa, Iska, Taufiq dan Nurdin ada di sini juga. Ini kebahagiaan nggak ternilai, berkumpul kembali dengan sahabat setelah 12 tahun nggak ketemu. “Wah, aku nggak nyangka banget Dek Ariny ternyata datang ke acara ini juga toh,” ucap Khusnul. “Iya, dong Nul. Kan mumpung aku lagi tinggal di Solo.” “Loh, kamu sekarang tinggal di Solo? Kok nggak ngasih tau kita?” protes Navis. “Ya elah, Vis. Wajarlah Dek Ariny nggak ngasih tau kita, sekarang dah jadi artis. Mana sempat ngabarin kita,” celetuk Taufiq. Aku tersipu malu dipuji sudah jadi artis. “Ah, kamu bisa aja, Fiq. Aku belum jadi siapa-siapa aja.” “Yo wes, yuk kita foto-foto. Mumpung acaranya belum mulai.” Nisa 7 mengeluarkan suaranya. Ini dia moment yang kutunggu-tunggu. Foto pertama memakai HP Khusnul, kedua memakai HP Navis, ketiga baru makai HP-ku. “Assalamualaikum.” Aku kembali dikejutkan oleh suara yang sudah nggak asing lagi di telingaku. Pemilik suara itu bukan seperti suara teman SD-ku melainkan seperti suara orang yang pernah kucintai. Untuk memastikannya aku menoleh ke sumber suara. “Loh, Mas Adit ngapain di sini?” ujarku kaget. Mas Adit datang ke sini nggsak sendirian, namun bersama ibunda tercinta dan Mbak Ayu. “Ya, datang ke acara Arizal lah. Dia kan sepupuku.” Oh, God. Dunia memang sempit. Dulu waktu pacaran Mas Adit memang sempat bilang punya sepupu di Solo tapi aku sama sekali nggak nyangka sepupu Mas Adit itu Arizal. “Baik, hadirin semuanya terima kasih atas kedatangan kalian semua, berhubung semua sudah datang acara akan segera dimulai. Pak ustaz, mari dimulai acaranya.” Acara pertama diisi oleh ceramah agama yang diberikan Pak Ustaz. Aku nggak konsen mendengarkan ceramah dari beliau. Sedikit-sedikit melirik kea rah ibunda Mas Adit. Dia terlihat akrab banget berbisik-bisik sama Mbak Ayu. Sedangkan sama aku, dari awal ketemu dia nggak pernah menegurku. Dari sini sudah jelas banget bahwa Ibunda Mas Adit belum bisa menerimaku sebagai calon menantunya. Mungkin di mata dia menantunya Cuma satu yaitu Mbak Ayu. Rasa nyeri menyeruak hatiku melihat pemandangan di depan mataku. “Ya, nggak pasti juga sih petunjuknya lewat mimpi. Bisa juga petunjuk dari Allah itu secara langsung di depan mata lo.” Aku teringat lagi perkataan Athiyah sebelum pergi ke rumah Arizal. Mungkinkah yang ada di depanku ini petunjuk dari Allah? Jika benar petunjuk dari Allah, detik ini juga aku telah mengambil keputusan akan khitbah Mas Adit tempo hari.  Bismillah. Semoga keputusanku nggak salah. Aku mengambil HP dari dalam tas. Aku ingin mengirimkan sms ke Mas Adit. Mas, habis dari rumah Arizal temui aku di Bakso Kadipolo. Aku ingin bicara sama kamu. Ini tentang jawabanku atas khitbah yang kamu ajukan tempo hari. See you. Klik sent. Pukul 12.00 wib Makanan favoritku memang bakso. Nah, di Solo ini ada warung bakso yang sangat terkenal. Nama warungnya “Bakso Kadipolo” Bakso Kadipolo terletak di depan RSU PKU Muhammadiyah Solo. Tempatnya bersih dan nyaman. Ada taman air yang menyejukkan mata ditambah kolam ikan di tengah-tengah ruangan menjadi hiburan tersendiri. Untuk tempat duduk bisa dipilih pakai meja kursi atau lesehan. Meskipun namanya bakso kadipolo, di sini juga menyediakan aneka masakan Jawa. Contohnya : sambal goring, aneka sayur bersantan, tumistumisan, sate, udang goring, tempe goring, bacem dan lain-lain. Aku nggak nyesel deh milih tempat ini sebagai tempat dimana aku memberikan keputusan dengan Mas Adit. Sedaritadi berada di sini, namun aku belum menemukan keberadaan Mas Adit. Mungkin dia lagi di jalan. Aku menunggu kedatangannya dengan duduk di kursi paling depan biar dia mudah menemukanku. Sedangkan Athiyah duduk di kursi agak belakang, katanya nggak enak mendengar obrolanku dengan Mas Adit. “Assalamualaikum. Maaf telat, tadi ada urusan sebentar.” Orang yang kutunggu akhirnya datang juga. Dia pun duduk berhadapan denganku. “Iya, nggak apa kok. Aku juga baru nyampe.” “Rin, kamu kan nggak suka basa-basi, sekarang kamu langsung aja bilang keputusanmu atas lamaranku. Aku berharap kamu mau jadi istriku.” “Harapan memang selalu berbanding terbalik dengan kenyataan.” “Maksudnya?”  “Kenyataannya aku nggak bisa jadi istrimu.” “Loh, alasannya apa?” “Alasannya sama, mamamu.” “Loh, kenapa lagi dengan mamaku? Beliau kan sudah minta maaf dan merestui hubungan kita.” “Itu Cuma di mulut saja. Dalam hati beliau cuma Mbak Ayu menantunya. Buktinya tadi di acara Arizal, beliau akrab banget sama Mbak Ayu. Nah, sama aku? Ditegur aja kagak. Udahlah Mas terima kenyataan kita nggak jodoh. Jodohmu itu Mbak Ayu bukan aku.” “Nggak. Jodohku itu kamu bukan dia. Buktinya pernikahanku sama Ayu nggak bertahan lama. Berarti kami memang nggak jodoh kan?” “Pernikahanmu sama Mbak Ayu nggak bertahan lama karena kamu yang nggak bisa menerima Mbak Ayu sebagai jodohmu dengan ikhlas. Tolonglah kamu belajar mencintai dia seperti kamu mencintai aku. Biar bagaimanapun Mbak Ayu, dia pilihan mamamu. Dan pilihan mamamu itu pilihan Allah juga. Jadi aku minta sama kamu, mulai sekarang tolong jangan hubungi aku lagi. Apalagi datang ke rumah. Aku capek dibayangbayangi masa lalu.” Air mata Mas Adit menetes di telapak tangannya. Ini pertama kalinya aku melihat Mas Adit. “Oke, itu keputusanmu aku akan menerimanya dengan lapang dada. Terima kasih karena kamu pernah mencintaiku. Mulai sekarang aku nggak akan ganggu kamu lagi.” Ya, aku berharap kali ini dia menepati janjinya untuk nggak ganggu aku lagi. Nafsu makanku hilang jadi aku minta pelayan bakso buat bungkusin bakso yang sudah kupesan. 


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices