
by Titikoma

Epilog
Pepatah mengatakan, “Selama apapun berada di tanah orang pasti nanti kembali ke tanah kelahiran.” Seperti halnya aku 12 tahun berada di tanah kelahiran mama dan papa, Martapura eh sekarang di usia ke 25 tahun kembali ke tanah kelahiran juga, Solo-Jawa tengah. Ya, aku menetap di Solo lagi bersama suami tercinta. Pak Dhe serta Budhe sudah kembali ke Yogyakarta, karena tugas mereka menjagaku sudah diambil alih oleh Arizal. Sedangkan Athiyah? Hmmm … aku nggak memerlukan asisten lagi. Maka dari itu aku balikin dia ke habitat asalnya jadi kaur desa. Setiap ada yang pergi, pasti akan ada yang datang. Kepergian Pak Dhe, Budhe dan Athiyah membawa Bi Ijam datang ke rumah ini sebagai asisten rumah tangga. Kan tau sendiri aku nggak bisa masak, ngepel, nyuci baju dan lain-lain. Alhamdulillah, Arizal meridhoi aku memakai jasa asisten rumah tangga. Kata dia tugasku melayani di kamar saja sudah cukup membuatnya bahagia. “Sayang, kamu sudah siap?” “Sudah, Mas. Kita berangkat sekarang?” “Ayo!” Memang usia Arizal satu tahun lebih muda dariku, namun setelah dia mengucapkan ijab qobul di depan penghulu aku mulai membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan Mas. Biar bagaimanpun juga statusnya di rumah ini sebagai kepala rumah tangga. Nggak enak lah kalau manggil nama tanpa emel-embel di depannya. Pagi ini dia mengajakku ke Manahan Solo, stadion bola terbesar di kota Solo. Setiap hari Minggu selalu ramai dikunjungin banyak orang. Di sana ada yang senam, lari-lari pagi bahkan banyak pula yang sekadar berjualan. Perjalanan dari rumah ke Manahan Solo sekitar satu jam. Kami naik sepeda. Kata Arizal biar romantic sekalian olah raga. Sepanjang perjalanan aku teringat masa kecil. Dari umur 5 sampai 12 tahun, setiap Minggu pagi mama dan papa mengajakku ke Manahan Solo sekadar cuci mata. Terus pulangnya beli balon. Waktu satu jam nggak akan terasa lama jika kita bersama orang yang paling dicintai. Arizal berhenti mengayuh sepeda. “Loh, kok berhenti?” tanyaku heran. “Kita dah sampai.” Pandangan pertamaku tertuju sama sebuah warung yang bertulisan ‘Nasi Liwet Mbak Tuti’ Tiba-tiba perutku terasa keroncongan melihat warung tersebut. “Mas, perutku laper. kita makan di warung situ yuk!” ajakku. Jari telunjukku yang sebelah kanan menunjuk ke arah warung nasi liwet mbak Tuti. “Ya udah, Yuk!” “Mbak saya pesen nasi liwet satu porsi,” ujarku pada penjual nasi liwet. Wuih, baru sadar ternyata banyak juga yang makan di warung ini. Bakal lama deh nunggu pesananku dating. Kata orang kalau sebuah warung itu lumayang laris berarti masakannya enak. Nggak apa deh nunggu lama yang penting enak dimakan. “Mbak, ini pesanannya,” ujar mbak penjual nasi liwet. Aku menerimanya dengan senang hati. Lalu kusuap nasi ke mulut. Hmmm … rasanya kok ada yang kurang ya? Rasanya itu nggak seenak nasi liwet yang dulu. Apa mungkin ya bumbu-bumbu dapur melonjak naik makanya penjual nasi sedikit mengurangi bumbunya? Ntahlah. Berhubung perutku lapar, makanan yang kurang enak pun tetap kusantap dengan lahap. “Eh, itu kan Ariny NH penulis muda yang terkenal itu? Wah, sayang banget ya dia mundur dari dunia literasi hanya karena cowok yang biasa banget gitu.” “Iya, bener. Kalau gue jadi dia, mending gue cari cowok yang lebih mapan daripada harus melepas karier.” Aku bisa mendengar ibu-ibu di belakang lagi gosipin aku sama Arizal. Kami cuek aja dan menanggapi gossip itu dengan senyuman. Biarlah semua orang menganggap suamiku cowok yang biasa banget. Namun di mataku dia cowok yang paling sempurna di muka bumi ini sebab dia mampu mencintai ketidaksempurnaanku dengan cara yang sempurna. Aku nggak salah memilihmu sebagai imamku. “I love you forever my husband, Arizal Ridwan Maulana.”
THE END