Menantimu

Reads
116
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

Di Sudut Kampus

“Zani!” Aku tak berpaling, tetap melangkah meninggalkan Beno yang terus mengejarku. “Zani. Tunggu dong, beri aku waktu! Beri aku sedikit saja tempat agar ada di ruang hatimu. Apa kau tidak mengerti perasaanku?” Beno mengejarku. Kini berada tetap di depanku. Menghadang langkah yang terburu. “Apaan sih, Ben? Aku terburu nih. Dah telat,” aku melirik jam di pergelangan tangan. “Nggak aku tak akan diam. Selama kau tak memberiku kesempatan. Aku akan terus mengganggumu. Please, Zan.” “Apa sebenarnya maumu?” dengan sedikit membentak. Aku melihat Beno. “Aku mencintaimu Zani. Sure!” “Duh, Ben. Nanti saja deh ngomong seperti itu. Beneran, ini kesempatan terakhirku mengikuti kuliah Pak Nas. Aku takut di-backlist. Sorry ya, Ben. Mengertilah,” suaraku melunak. Dan kiranya Beno mengerti. Karena kemudian ia melangkah, memberi ruang jalan untukku. “Baiklah Zani. Tapi seusai kuliahmu, aku mau kita bertemu.” Tanpa perlu menjawab, aku langsung melangkahkan kaki. Meninggalkan Beno. “Haha... tak berhasil kan? Rayuanmu tak mempan,” terdengar suara temannya tertawa ketika aku pergi. “Jangan tertawa dulu. Aku pasti menaklukkan dia!” suara Beno terdengar nyaring di telingaku. Sepertinya ia sengaja berkata dengan keras. Agar aku tahu bahwa cintanya sungguh-sungguh. Dan agar aku tahu bahwa Beno akan tetap mengejar keinginannya. Bergegas aku melangkah. Ucapan Beno yang terdengar barusan harus segera kuhapus. Lagian itu bukan urusanku. Bukan saatnya mengingat masalah itu. Aku terengah, menaiki beberapa anak tangga yang  menghubungkanku dengan kelas yang dituju. Aku tak mau Pak Nas kali ini marah. Ya, marah karena selama ini memang aku kerap datang terlambat dalam mengikuti mata kuliah Manajemen Keuangan. Kalaupun aku hadir, jujur aku selalu tidak konsentrasi mengikuti kuliahnya yang membosankan. Mata Kuliah yang seharusnya kudapatkan dengan berbagai perhitungan dan cara jitu menaklukan rumus tak kudapatkan. Jenuh, karena selama ini Pak Nas cenderung hanya berteori, berceramah. Hingga mata kuliah yang bertaburan angka menjadi lebih tidak aku sukai. Pak Nas mungkin menangkap ketidaksukaanku, dan minggu kemarin dia sudah mewanti-wanti padaku agar mengikuti kuliah dengan baik. Satu lagi, menegurku agar tidak datang terlambat. “Hai Zani!” “Hai.” “Hello cantik!” “Cuit... cuit.” Beberapa mahasiswa berusaha menggodaku. Bahkan ada di antara mereka yang berpapasan denganku mendelik dan berusaha menarik perhatianku. Kulihat beberapa laki-laki yang sepertinya melotot padaku melihat penampilanku yang menurut orang lain mempunyai body yang aduhai. Aku tidak menampiknya. Bahwa aku memiliki badan yang menarik, sexy dan cantik. Karena aku selalu merawat dan menjaga kebugaran tubuh. Serta olahraga teratur. Itulah yang selalu membuat mereka heran. Karena sampai kini aku belum memiliki pacar. “La, jangan-jangan kamu nggak normal, yah?” ucap Nola suatu kali. “Apaan sih kamu bilang aku nggak normal?” “Buktinya sampai kini kamu belum punya pacar. Padahal laki-laki yang ngebet sama kamu itu banyak. Aku iri deh sama kamu. Lihat si Beno yang tampan dan selalu menjadi rebutan cewek manapun kau cuekin. Kemudian Arsyad, ketua senat, sama tak kau beri hati. Padahal mereka itu benar-benar cinta berat.” “Itu menurutmu. Dari mana kau tau mereka cinta sama aku?” tanpa  menoleh aku menyantap mie di depanku. “Hem mantap banget nih mienya. Coba deh kamu rasain punyaku, La. Asem-asem dikit, pedes lagi. Pokoknya maknyus.” “Halah malah ngalihin pembicaraan. Aku juga kan sama lagi maka mie. Hei semua anak di sini pasti tahu. Lihatlah perhatiannya, cara memandangnya!” Nola cemberut. “Kecuali...” “Kecuali apa?” “Kamu buta.” “Ah, sialan kau, La.” “Habis kamu orangnya... aduh,” Nola menepuk jidat sendiri. “Sekarang jawab dulu pertanyaanku! Sebenarnya tipe bagaimana sih laki-laki yang kau sukai?” “Seperti apa yah. Tau ah...” Pembicaraan Nola tempo hari kerap bermain di kepalaku. Dan membuatku selalu bertanya. Benarkah aku tidak normal? Apa mereka perlu tahu tentangku? Aku tak mau mereka semua, pun sahabatku tahu bahwa sebenarnya aku senantiasa menyimpan rasa sepi di hati. Tak mau menorehkan kepedihan pada orang lain. Tak mau! Sudahlah. Jangan selalu membuat galau semua orang. Aku terus melangkah. Menghilangkan gundah di hati. Melangkah menuju tempat kuliahku. Dan benar saja. Ruangan sudah tertutup. Aku yakin Pak Nas sudah masuk. Sejenak aku berdiri di ambang pintu. Berpikir beberapa kali apa yang seharusnya aku lakukan. Apakah harus masuk atau tidak. Jika tidak? Setelah berpikir beberapa kali. Aku memberanikan mengetuk dan membuka pintu. “Maaf, Pak… terlambat.” “Suit... suit... Ke mana dulu Zani? Ke salon dulu yah?” ucap beberapa mahasiswa dari belakang. Biasanya aku akan balik melawan dan marah. Tapi ini saat yang tidak tepat. Apalagi di depanku berdiri Pak Nas. Dosen yang terkenal killer dan jutek. Mana berani aku melawan mereka, para lelaki yang menyebalkan.  “Kamu lagi! nggak dengar yah minggu kemarin?” “Maaf, Pak. Macet,” aku menundukkan kepala. “Sudah, duduklah! Tapi nanti beres perkuliahan kamu harus ke ruangan saya!” wajahnya menancap di dadaku. “Ya, Pak,” dengan lesu aku melangkah. “Ke mana saja sih kamu? Dari tadi aku telepon ngak diangkat,” Nola menyikut lenganku. “Biasalah. Tuh si Beno gangguin aku.” “Makanya... cepet saja terima cintanya.” “Ogah.” “Sudah terlambat malah ngobrol lagi.“ Seketika aku terdiam.  Dengan malas aku melangkah menuju ruangan Pak Nas. Melewati beberapa ruangan yang terlihat sepi. Tega-teganya tuh si Nola menyuruh ke ruangan seorang diri. Sial. “La. Anterin aku dong, please.” “Nggak. Aku tak mau. Kamu tau kan Pak Nas itu killer-nya selangit. Pasti dia akan marah,” ia bergidik. “Tak kubayangkan aku bertemu dengannya. Sorry yah Zani, aku nggak bisa nolongin kamu...” Demi menyelamatkan diri. Maka aku memberanikan diri ke lantai bawah. Ke ruangan Pak Nas tepatnya. Di pintu Drs. Nas Purbawa, M.M aku berhenti, mengetuknya perlahan. Hening. Aku memperhatikan beberapa ruangan yang berderet di pinggir ini yang sepi, beda sekali dengan lantai atas yang ramai, karena dipenuhi mahasiswa. Ruangan dosen sengaja dibuat terpisah supaya mereka bisa beristirahat mungkin, melepaskan sejenak rutinitasnya. Terbebas sesaat dari keriuhan aktivitas mahasiswa. “Masuklah,” terdengar suara dari dalam. Suara Pak Nas. Aku melangkah dan memasuki ruangan. Terasa sekali dingin menusuk kulit. “Duduk Zani. Bapak dari tadi menunggumu,” suara Pak Nas lirih. “Makasih, Pak,” aku duduk dengan gemetar. Rasa takut tak bisa kusembunyikan. Aku takut Pak Nas akan marah dan menghukumku. “Nggak usah takut,” Pak Nas tersenyum. Aku menatapnya, tak percaya. Pak Nas tersenyum? Sumpah selama ini aku belum pernah melihat senyum Pak Nas. Kuperhatikan kumis tipis yang begitu menawan. Terlihat berbeda, cool. Coba kalau Pak Nas tiap kali memberi senyum, pastilah kesan jutek dan killer akan menghilang. Jangankan melihatnya senyum. Setiap kali masuk mahasiswa sudah dibuat tegang. Tak berani berbuat lelucon dan berlaku macam-macam padanya. Aku balik tersenyum. “Nah gitu, tersenyum. Bapak suka senyummu,” Pak Nas memegang  tanganku. Aku ingin menampiknya. Tapi rasa takut tiba-tiba menjalari pikiranku. Aku tak mau Pak Nas yang baru saja terlihat baik, menjadi jutek kembali. “Saya… minta maaf karena sering terlambat. Mudah-mudahan nanti tidak terlambat lagi. Dan semoga Bapak tidak memberi saya nilai jelek, Pak,” aku menunduk berusaha menghibur diri. “Itu gampang. Dan mudah diatur Zani,” Pak Nas tiba-tiba berdiri. “Perhatikan itu!” Pak Nas menarik lenganku. Telunjuknya lurus ke arah deretan buku di lemari buku yag berderet rapi. “Kau harus menyukai itu. Membacalah. Semua ada di sana. Dan membuat pengetahuanmu bertambah.” “Bapak, membaca ini semua?” dengan takjub aku melihat pada buku tebal yang memadati lemari tersebut. “Tentu, minimal satu buku akan dibaca. Kau harus mencintainya!” suara Pak Nas bergetar. Selama ini aku memang tak pernah menyentuh buku. Kalau pun terpaksa, itu karena ada tugas dari dosen yang membuatku harus mengerjakannya. Aku mulai menyukai Pak Nas. Tak kusangka ia begitu perhatian. Aku melangkah, memperhatikan dengan dekat buku yang berderet. “Kalau suka, ambil dan bacalah!” suara Pak Nas semakin bergetar hebat. Aku menoleh pada Pak Nas. Ada perubahan suara yang dapat kutangkap. Dan aku terkejut ketika melihatnya. Bola mata Pak Nas ternyata menghujam tepat ke dadaku. Mengintip dari bilik kancing baju yang sedikit terbuka. “Ehm... makasih petuahnya, Pak,” aku menyentuh bajuku, memastikan bahwa tidak ada lubang angin yang terlihat di sana. “Ya,” suara Pak Nas pendek. Mendekati dan tiba-tiba saja ia merangkulku dari belakang. “Pak. Maaf, Pak...” aku berusaha menarik diri. “Sudahlah Zani. Santai saja, di ruangan ini tidak ada siapa-siapa,” Pak Nas semakin erat merangkulku. Dan aku dapat merasakan napasnya yang  memburu. “Pak. Jangan lakukan itu, Pak!” aku panik, ketika tangan Pak Nas berhasil memegang gunung kembarku. “Diam Zani. Ikuti saja apa kemauanku, kalau kau ingin aman dan kuliahmu bisa sampai kelar!” Pak Nas membalikkan badanku. Berhadapan. Matanya dengan liar melihat wajah dan dadaku. Aku berdiri meronta dari rangkulan. Mendorong tubuh Pak Nas sekuatnya. Pak Nas terhuyung dan jatuh ke sofa yang ada. “Zani. Ingat! Berani kau menolakku, kau akan tau akibatnya!” Pak Nas bangkit dari sofa. Ia begitu marah dengan penolakanku. Aku bergidik ketika ia kemudian membuka sabuk celananya. Melangkah tepat ke arah pintu masuk. Mengayunkan sabuk yang dipegangnya berkalikali. “Jangan sampai wajah cantikmu terkena ini! Kau belum tau siapa aku, ayolah Sayang ikuti keinginanku. Toh Saya tidak akan membicarakan pada siapa-siapa. Ingat, ruangan ini saya yang berkuasa!” Pak Nas semakin mendekat padaku. “Pak, aku mohon, Pak. Jangan lakukan itu,” aku menangis ketika Pak Nas ada di dekatku. “Duduklah,” ia menarik lenganku dengan paksa ke sofa panjang. Dengan paksa pula ia menindih badanku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. “Jangan, Pak!” suaraku keras. Batinku menangis, aku tak mau di ruangan paling sudut kampusku ada tragedi. “Zani!” ada suara terdengar, berbarengan dengan suara pintu dibuka paksa seseorang. Pak Nas terkejut. Dengan terengah ia menarik badannya dan menjauh dariku. “Beno!”


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices