
by Titikoma

Sebuah Pilihan
Lama aku mematung di perempatan jalan ini. Badanku kuyup karena langkahku ditemani gerimis. “Ayo naik, Neng,” tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Seorang laki-laki turun dari mobil dengan payung di tangan. “Nggak, makasih,” kataku dengan hormat. “Lagi nunggu taksi, Mas.” “Di sini taksi lama, Neng, ayolah. Mau ke jalan utama kan? Jangan berburuk sangka.” Aku berpikir sejenak. Memang demikian. Sedari tadi menunggu taksi yang datang, tak satu pun telihat. Entah karena gerimis atau karena senja mulai merangkak. Aku memandang sejenak pada laki-laki di hadapanku. Dari dandanannya aku dapat menerka bahwa ia adalah seorang intelek. Begitu pun dengan kelakuannya, ia begitu sopan, tak terlihat niat jelek padaku. Ia tersenyum, membukakan pintu untukku. “Ayo naiklah. Panggil aku Budi,” laki-laki itu mengulurkan tangannya. “Zani,” dua tangan kami beradu. “Hei. Dingin sekali tanganmu. Cepatlah naik.” “Makasih,” aku menurut. Dalam perjalanan, aku memilih diam. Lamunanku dipenuhi dengan beragam kejadian yang menimpaku. Ada sedih yang begitu menikam hatiku. Dan aku tak bisa menyembunyikan perasaan. Air mata luruh tak tertahan. “Zani, kau tak apa-apa?” ia melirik ke arahku. Memberikan beberapa lembar tisu. “Enggak...” aku menunduk. “Lagi ada masalah ama temen dekat ya? Ya, itulah hidup, selalu dipenuhi masalah. Tapi semua harus kita hadapi dengan tenang. And enjoy it. Kalau semua orang tidak bermasalah, kan dunia tidak rame,” Budi tersenyum lebar. Tatapannya begitu teduh, menenangkan hatiku. “Ya, begitulah laki-laki. Habis manis sepah dibuang,” aku tersenyum getir. “Eit, jangan samakan semua laki-laki dong, haha,” tawa Budi berderai. Dan semua mencair. Seolah aku dan Budi telah berkenalan lama. Akhirnya aku ngobrol ngaler ngidul. Pun perihal diriku. Aku langsung ceritakan padanya. Entahlah, aku begitu percaya padanya. Memang di saat begini aku begitu mengharap seseorang yang mampu mendengarku, berbagi rasa. Dan kini, hanya ada Budi di dekatku. “Kita makan dulu yu, mau kan? Kebetulan aku lapar nih,” ajakan Budi kujawab hanya dengan anggukan kecil saja. Budi memperlakukanku dengan sangat baik. “Ayo minumlah airnya. Hangat. Pasti akan menghangatkan tubuhmu dari rasa dingin. Juga hatimu yang sedang galau,” Budi memberikan minuman hangat padaku, setelah usai menyantap makanan. “Makasih Bud,” aku menyeruput minuman di depanku. Dan memang kehangatan merambah di hatiku. Aku melihat ke arah Budi yang tersenyum lebar ke arahku. Senyum yang menawan, mengingatkanku pada Beno. “Beno,” desisku perlahan. “Ayo, habiskan minumannya Zani. Itu akan menghangatkan tubuhmu.” Aku menurut, menyeruput minuman sampai tak bersisa. Ada suatu rasa yang tiba-tiba bergumul di dadaku. Tapi aku berusaha bertahan. Bayangan Beno menari-nari di hadapanku. Aku begitu merindunya. Bayangan Beno seperti layar yang terlihat jelas di hadapanku. Rasa kangen dan rindu begitu memendam. “Beno!” kataku pada laki-laki di hadapanku. “Aku merindukanmu, Ben.” “Sudahlah, aku di sini,” Beno memelukku. “Aku pun kangen padamu. Ia mendekat merapatkan pelukan. “Jangan tinggalkan aku, Ben,” aku mengambil tangan Beno. Menyimpannya tepat di dada. “Jangan khawatir Sayang, aku akan selalu di sisimu,” ucapnya halus, mempermainkan tangannya. Aku tersenyum. Ada sesuatu yang merambati hatiku. Tak kutolak rangkulannya. “Sini dong, Ben, apa kau tidak kangen?” Entahlah, hari ini aku begitu bahagia. Dapat bertemu Beno yang kurindu. Rasa kangen begitu mendalam. Masalah yang mendera serta kelelahan yang kurasakan tak mampu lagi membuatku berpikir jernih. Apa dan bagaimana. Yang pasti saat ini aku begitu bahagia bertemu Beno. Dan aku yakin Beno tetap menyayangiku, takkan pernah meninggalkanku. Beno tetap milikku. “Kau!” aku kaget ketika melihat Budi berada di hadapanku. “Kau telah...” aku menjerit halus ketika melihat diriku. “Ya. Kita telah melakukannya dengan cinta. Tanpa ada paksaan,” Budi berkata dengan rileks. “Minuman apa yang telah kau berikan padaku, Bud?” “Tak perlu kau tau. Tapi yang penting aku tak memaksamu…” “Dasar licik!” Ia sekilas melihatku. Tersenyum lebar. “Selamat datang ke dunia baru Zani. Nikmatilah hidup barumu.” “Kau jahat!” aku histeris. Jangan salah jika aku berada di sini. Di tempat yang selalu menyemangatkan hidup. Mengusir nyeri yang terkulum manis di bibir, menanggalkan derita yang bergumul di tubuh, mencacah malam menjadi terberai. Hingga malam yang kunanti selalu terasa hangat dan manis. Begitu menggairahkan. Dan aku di sini untuk menggenapkan semua penderitaanku. Rasa frustasi telah menjadi bagian dari hidupku, aku telah menjadi sampah. Dan aku jijik dengan diriku. Kesucian yag selama ini kujaga telah terjamah. Nista. Dan aku tak sanggup menjadi bagian dari masalahku. Aku membenci diriku.. Karena aku adalah yang tersakiti. Yang senantiasa muak jika bercermin, menatap diriku yang kotor. Ada jutaan nyeri, ada jutaan hinis mengiris tubuhku bersembilu, semakin melesapkan anganku ketika diri ini sepi. Ketika tak pernah lagi merasakan perhatian dari seorang insan yang memberi cinta dalam sebuah ketulusan. Tak pernah lagi kurasakan kasih sayang dari seorang yang terkasihi. Tak pernah lagi ada cerita tentang masa yang akan datang. Masa depan kita telah hilang Sayang. Ditelan mimpi buruk yang membuatku hanya berada dalam kemuakan. Seolah derita kini menjadi bagian dari hidupku. Aku benar-benar merasa benci. Dan ini adalah caraku, menghilangkan gundah dan kedinginan ketika malam-malam sepi yang mencumbu dan merayapi tubuh seorang diri. Mencari sang kumbang yang bernafsu untuk selalu menjamah dan merasakan kehangatan tubuhku, merasakan nikmatnya berdesah bersama. Aku akan selalu di sini Tuan, merasakan tubuhku dijamah dan dikuliti oleh bibir, oleh tangan-tangan liar yang menikmati molek tubuhku, karena itu adalah nikmat. Meski sebenarnya aku banyak dicaci dan dimaki. Jangan salahkan jika orang lain mencaci. Karena sebenarnya aku pun mencaci diri. Hanya rasa muak dan benci yang kemudian semakin melesapkanku berada di sini. Aku di sini, di sebuah hotel tempatku berkelana. Tempat yang selalu mengerti keinginanku, menghilangkan sesak yang bergumul di dada. Mengabulkan keinginan untuk merasakan nikmatnya sagara cinta. Aku di sini. Bukan hanya karna paksa dan dunia, tapi memang harapku untuk selalu mereguk cinta, bermain dalam sebuah keindahan bermuara dalam sebuah kesenangan. Gersang! Apabila sehari saja tak kurasakan tubuhku tak terjamah, hingga kubiarkan mereka menandai tubuhku. Ada puluhan bahkan ratusan jejak yang singgah di tubuhku. Aku tak peduli, karena aku begitu menikmatinya. Aku tak mau penyiksaan batinku dulu begitu terasa, ketika Beno meninggalkanku. Meninggalkan derita karena tubuhku tak tersentuh cinta. Tak ada lagi cinta tulus murni. Semua lakilaki yang kuanggap tulus mencintaiku seperti Beno, ternyata sama, buaya. Kulirik jam yang ada di pergelangan tanganku. Baru 15 menit pikirku sambil menyeruput jus melon di hadapanku. Memperhatikan orang di sekeliling yang ada di hadapanku. “Lama menunggu yah Cantik?” “Nggak juga, Om. Baru 15 menit,” ujarku manja. “Macet di kamar rumah yah?” Tergesa aku menyambangi tempat yang sudah ditentukan. Tempat yang sudah dijanjikan untuk bertemu seseoang. Memberikan kehangatan yang semula nyaris musnah, kini kudapatkan lagi. Kebebasan yang benar-benar aku mulai kembali, setelah penderitaan kerap menjadi tamu rutinku. Gila. Mungkin kalau ada yang mendengar bahwa aku menjadi seperti ini. Berkenalan dengan banyak om atau lelaki hidung belang hanya untuk menjajakan tubuhku. Pilihan yang tepat itu menurutku. Ya, itu sudah menjadi pilihan. Menjajakan tubuh hanya untuk kesenangan. Aku telah muak dengan diriku. Tak ada lagi yang menghargaiku sebagai wanita, jadi jangan salahkan! Inilah caraku. Menghilangkan sesak yang bersarang. Menghilangkan derita karena seorang laki-laki bernama Beno. Aku tidak mau terpuruk, aku harus bangkit dan inilah jalanku. Bersenang-senang dengan banyak lelaki. Jujur Beno yang telah mengajariku, merasakan kebersamaan. Aku begitu frustasi ketika dalam masalah berat aku begitu menyendiri dicaci dan dimaki. Hingga akhirnya jalan panjangku tetap di sini. Di tempat terhina. Dan ketika masalah menimpaku. Sejuta kesenangan yang biasanya kulakukan dan kerap kualami tak terulang lagi. Kegersangan begitu melandaku. Aku seperti tiada pegangan. Benci. Mengharap dan mengharap bahwa Beno akan datang dan selalu memberikan kesejukan cinta, tapi tak kudapatkan. Kebencianku begitu meninggi, tak bisa terpuaskan sama sekali. Ada benci yang diam-diam hadir di hati, ketika melihat para lelaki usil datang padaku. Tapi kulakukan. Yang kulakukan hanyalah ingin para istri mereka, pasangan mereka membenci para lelaki. Begitu nikmatnya hati ketika melihat kesetiaan mereka akhirnya terberai karena ulahku. Mereka harus rasakan betapa pedihnya hidupku. Betapa getirnya perjalanan yang telah kulalui. Lelaki ternyata brengsek. Mereka hanya menyukai moleknya tubuh saja. Tanpa pernah ada cinta yang terucap. Beno, telah tega meninggalkanku ketika aku ingin sekali merasakan kehangatan cinta. Ingin bermain ke dalam sebuah ketulusan cinta. Jadi jangan salahkan jika aku akhirnya memilih jalan ini. Menjerumuskan para lelaki agar mereka semakin menubir kemudian terberai dari pasangan hidupnya. Tiada paksa yang menyebabkanku ada di sini. Semua karena rasa suka. Mengagungkan rasa kenikmatan yang melanda dan aku selalu mencari mereka para pejantan sejati yang bernafsu agar mau bergumul dan bertarung melawanku. “Kamu Zani, kan?” matanya tak berkedip memandangku. “Iya. Emang aku. Habis siapa lagi?” “Ngapain malam-malam ada di sini? Bahaya.” “Ah, bahaya apa, Raka. Aku sudah terbiasa, haha…” ucapku cuek. Dan tersenyum melihat rona wajah Raka yang penuh dengan kekhawatiran. “Ayo, aku antar pulang.” “Beneran mau ngantar aku?” “Ya. Iyalah. Aku tak tega melihatmu di sini,” Raka menstarter motor. Memberikan helmnya ke arahku. “Ok. Kalau kau mau mengantarku. Antarkan aku ke sini,” aku memberikan kartu alamat pada Raka. “Beneran kamu ke sini?” mata Raka melotot. Membaca berkali-kali alamat di hadapannya. “Beneran. Ada yang aneh? Kalau nggak mau aku turun saja. Biar aku naik taksi.” “Ya sudah, aku antar,” motor mulai membelah malam. Dan aku sengaja merapatkan badanku di punggung Raka. Meraba-raba bagian sensitif Raka. Dan aku dapat merasakan dada Raka yang begitu bertalu, ketika aku meraba dadanya. “Takut yah, Raka?” aku menyandarkan wajah di bahu Raka. “Nggak aku hanya masih bingung.” “Ngak usah bingung Raka. Ini kan kota besar. Semua bisa terjadi,” tanpa beban aku melangkah meninggalkan Raka ketika sampai di tempat yang dituju. Tapi kemudian aku balik lagi ketika teringat sesuatu. “Ada yang ketinggalan? Raka yang siap melaju, melihat ke arahku. “Iya. Belum ngasih ini,” kataku genit. Merangkul Raka, menarik wajah dan menciumnya. “Makasih atas tumpangannya yah. Next time kita bertemu lagi,” aku meninggalkan Raka yang terlongo. Seperti tak sadar dengan yang baru saja terjadi.