
by Titikoma

Backstreet
Kupandangi buku-buku yang berderet di lemari kaca. Satu per satu kuteliti. “Hmm… ternyata ada di atas,” pandanganku tertuju pada sebuah buku tebal berwarna hitam ‘The Third Wave’ yang ditulis Alvin Toffler Buku usang itu sengaja kucari untuk menambah referensi tugas kuliahku. “Untung aku menemukannya,” gumamku. “Biar kuambilkan,” kata Raka. “Nggak, biar aku saja. Aku juga bisa,” aku menggeser sebuah kursi yang terletak tidak jauh dari tempatku berdiri, lalu menaikinya. “Ah, susah juga,” desisku seraya mengangkat sedikit telapak kakiku hingga jinjit. “Susah yah?” goda Raka. “Bukannya bantuin, malahan nanya,” aku cemberut. Tapi tiba-tiba. Gubrak... “Aw...!” pekikku. Tubuhku yang tidak seimbang oleng dan akhirnya terjatuh. “Kasian deh, Neneng cantikku jatuh dari langit,” Raka terkekeh menertawaiku. “Sialan! Sakit tau!” aku meringis sambil memegang kaki yang terkilir. Raka berubah panik. “Beneran?” ia menatapku seolah menyesal telah mengejekku. “Aduh… beneran, Raka…” rintihku. “Sorry… sorry… Aku kira kamu main-main. Sudah kubilang biar aku saja yang mengambil bukunya. Begini nih, kalau nggak nurut,” Raka masih memandangku dengan raut cemasnya. Tapi pandangan itu berangsur lain. Ia tak berkedip menatapku. “Sudah, jangan ceramah!” aku mengalihkan pembicaraan. “Ya udah, sini kugendong,” Raka tersentak, lalu segera membereskan buku yang terlempar dari atas lemari, kemudian menggendongku. Aku melingkarkan tanganku ke leher Raka. Dada kami beradu. Sangat rapat, hingga Aku bisa merasakan napasnya memburu. Andrenalinnya menggebu. Jakun yang tumbuh di lehernya naik turun seolah menahan haus yang sangat. Aku tak kuasa melihat pemandangan indah itu membelai mataku. Aku mengecup lehernya yang kuat sambil mempererat dekapanku. Raka menghela napasnya semakin dalam. “Ah, geli Sayang,” Raka menggelinjang. Tiba di dalam kamar ia membaringkan tubuhku di atas kasur. “Mana yang sakit?” “Nggak tau nih kakiku, aduuuh,” kuselonjorkan kaki ke arahnya. Dan tanpa dikomando, Raka mulai memijat bagian kakiku yang terkilir. Mulai dari mata kaki kemudian ke arah betis. Aku merasakan kenikmatan menjalar melalui pembuluh darahku. Sentuhan tangan Raka yang kokoh, membuai anganku. Ada debaran aneh yang tiba-tiba merenda hatiku. Angin nakal tiba-tiba masuk kamarku, mengibaskan gorden, juga rok yang kupakai. Tapi anehnya, aku tak berusaha untuk memperbaiki letak rokku. Justru saat itu, aku dengan sengaja membiarkannya. Aku menangkap kegelisahan, dan aku tak mau melewatkannya. Aku suka melihat wajah Raka seperti itu. Dan aku tak mau menyianyiakan momen saat perasaan aneh mengaduk-aduk jiwaku. Jujur aku menikmatinya. Hmm, pertengkaran hebat Mama dan Papa semalam membuat otakku semrawut, aku seolah membutuhkan sesuatu untuk menyegarkan kembali pikiran dan tubuhku. “Ayo dong pijitin, Say.” Seperti terkena hipnotis saja, Raka mulai memijat pahaku. Ia dengan lihai merefleksi bagian tubuhku yang lain. Pijatannya begitu membuaiku, apalagi ketika ia mulai memijat pahaku dari bagian bawah... hingga akhirnya .... “Jangan ah, say...,” aku berpura-pura, ketika tangan Raka mulai membuat sentuhan nakal dan sedikit liar di tubuhku. Tanah gersang hatiku, konflik keluarga yang menimpa berkelebat dalam bayangan, dan kini sedikit demi sedikit menyusut seiring pergerakan Raka yang lincah. Aku tak berontak, aku memberi peluang padanya, untuk memburu nafsu meretas rasa yang kian mengangkasa. Hingga akhirnya aku berpapasan dengan rasa yang liar dan membahana. Meluluhlantakkan alam sadarku hingga aku terbuai, dan aku tak mampu berkata ketika tangannya berhasil menjelajahi samudra, menebarkan getaran rindu, menyemaikan benih panas asmara tiada berbatas. Napasnya memburu menutupi wajahku. “Aku mencintaimu,” bisik Raka di telingaku. Tangannya memburu-mengelus badanku. Aku terlena, aku tak menolak. Aku ingin merasakan lebih lama. Hingga tak satu pun mampu menghadang apa yang kami lakukan. Ingin aku teriak dan memberontak. Tapi semakin aku ingin memberontak, hatiku ingin merasakan keasyikan yang telah lama tak kudapatkan. Hingga aku membiarkan tangan Raka dengan bebas menjelajahi seluruh tubuhku. Perasaan sadarku hilang berganti perasaan lain. Ah Raka, aku tak kuasa menolaknya. Aku begitu menikmatinya. Dan kubiarkan anganku melambung terbang ke angkasa menjelajahi waktu dan rasa yang begitu melenakan hatiku. Aku tertidur di sana, dalam kehebatan dan cinta yang luar biasa. Hingga akhirnya aku menemukan titik tertinggi dalam kedahsyatan cinta, klimaks cinta menyatu dalam dua insan yang penuh dengan gelora, menyatu dalam tabir nafsu yang dipenuhi misteri kemasgulan cinta, aku terbuai. “Maafkan aku Zani, aku telah melampaui batas,” Raka terengah “Aku akan bertanggung jawab,” peluk Raka. Aku tersenyum melihat polah Raka yang polos. Ini kali pertama ia melakukan pergulatan cinta dengan seseorang. “Aku takut,” kataku, mendekatkan tubuh padanya. “Sudahlah, aku akan bertanggung jawab.” “Aku takut kamu tidak melakukannya lagi,” aku tersenyum, memagut bibir Raka lebih lama. “Ssst… jangan katakan itu,” sesaat kami terdiam merasakan detak jantung yang kian bergelora, bersama saling memandang, saling menguatkan tentang janji setia yang tetap akan kami rajut sampai kapan pun, tak ada yang bisa terpisah. Hingga akhirnya kami kembali melakukan petualangan cinta yang kian membahana dan saling berkelana mengangkasa menembus langit-langit yang menjulang tinggi. Cicak menutup mata, semilir angin di luar sana membuai kami mesra, suara toke dalam kamarku yang biasanya bersuara kini tak terdengar, mereka mungkin mengintip kami dan malu melihat polah kami yang luar biasa dan tidak seperti biasa. Yah, di kamarku ini Raka memang kerap menemuiku. Rumahku yang besar hingga tak seorang pun memperhatikan tingkah kami. Pun Bi Jumi yang berada di lantai dasar, selalu sibuk di dapur. Kalau pun tahu, mungkin Bi Jumi tak akan pernah mau usil tentang tindakanku. Sementara papa dan mamaku, hmm… mereka tak pernah ada di rumah. Papa sibuk dengan bisnisnya di luar negeri dan mama biasanya sibuk dengan arisan, ke salon atau shopping. Hingga aku bisa melakukan apa pun di rumah ini. Hingga akhirnya hubungan terlarang kami sudah terbiasa kami lakukan. Walau aku melakukan dengan suka tapi tetap saja aku takut hamil. Aku tak mau membuat papa dan mama marah besar. Aku tak mau mengecewakan keluarga besar mereka yang dihormati. Tapi benarkah papa dan mama akan peduli padaku. Toh selama ini aku jarang sekali berkomunikasi dengan mereka. Pun ketika beberapa bulan lalu, aku jarang berada di rumah. Mereka sepertinya tak peduli. Tak peduli dengan apa yang terjadi. Hanya Raka yang mengerti dan merayuku agar aku kembali menjalani hidup seperti semula. Meninggalkan dunia kelam yang telah aku jalani. Uang dan uang saja yang mereka pikirkan. Mereka tak pernah tahu tentang keadaan hati ini yang begitu merindu. Aku sangat mendambakan keluargaku yang harmonis yang dipenuhi kasih sayang. Tapi tak pernah sekali pun kudapatkan. Mama terlalu sibuk dengan seabrek kegiatannya. Hingga jarang sekali ia bertanya padaku tentang apa pun yang aku lakukan. Paling yang mama tanyakan tentang penampilannya, atau tentang uang saku yang ia berikan padaku, apakah masih ada atau tidak. Aku orang yang paling beruntung, begitu selalu teman kuliahku katakan tentang keadaanku. Anak tunggal dan terlahir dari keluarga yang sangat kaya. Apa pun yang aku minta pasti dengan segera akan mereka kabulkan hanya untukku. Tapi apakah mereka tahu bahwa di lubuk hati ini aku begitu memendam kecewa, aku tidak seperti yang lain seperti Nola sahabatku, atau Maya yang begitu bahagia di tengah keluarganya yang sederhana. Walau orang tuanya berada jauh dariku dari segi materi, tapi mereka senantiasa berceloteh tentang keakraban dan keharmonisan keluarga. Berbeda sekali denganku yang tak pernah ngobrol tentang orang tua. Lagian apa yang harus aku bicarakan, selama ini aku hanya sibuk sendiri dan mama papaku sepertinya tak mau tahu tentang keadaanku. Hmm, hingga akhirnya aku begitu menikmati petualanganku dengan Raka. Ia sahabat sekaligus kekasihku yang mengerti segala-galanya tentangku. Walau jujur, papaku melarang hubungan dengan Raka berlanjut. Itu wajar, sangat wajar. Maklum Raka bukanlah berasal dari high class seperti orang tuaku. Bahkan dibilang Raka merupakan keluarga miskin. Aku menyadari itu. Tapi perhatian Raka dan bantuannya terhadap mata kuliahku yang selalu anjlok telah mengalahkan segala-galanya. Aku tak peduli dengan teman-temanku yang senantiasa mencibir kedekatan kami. Dan seringkali aku menguatkan Raka apabila ada teman-teman yang rada usil atau sirik padanya.