
by Titikoma

Dilema Cinta
Raka hanyalah lelaki sederhana yang aku sukai. Ia senantiasa berkata seadanya, tak pernah mengobral janji atau berkata terlalu tinggi. Ia sangat jujur. Cita-citanya hanya ingin mempunyai keluarga bahagia, mencintai dengan sederhana. Itu saja. Berbeda dengan Albert, teman dekatku dulu waktu SMA yang berjanji mencintaiku dunia akhirat tapi tega mengkhianatiku dengan mencintai Niki, sahabatku sendiri. Busyet… lelaki macam apa tuh? Atau Doni yang nempel padaku hanya lihat aku yang kaya, kalau bicara tingginya selangit, tapi kalau jajan aku yang bayarin. Dengan alasan nggak ada uang cash, lupa nggak bawa ATM lah. Memuakkan, bilang saja kere dan matre! Hihi. Sebel! Raka adalah lelaki sederhana yang begitu tulus menerimaku apa adanya. Melupakan masa lalu. Ialah yang selalu menemaniku, membangkitkan rasa percaya diriku. Lembaran hitam yang pernah aku jalani, adalah potret buram yang harus aku lupakan. Kini aku berusaha menata hidup baru, merajut cinta dengan Raka. Raka, pegawai di sebuah kios dekat kampus kami. Ia menyediakan jasa photocopy, pengetikan, membuat makalah atau apalah yang berhubungan dengan tektek bengek tulisan dalam perkuliahan. Dan itu merupakan ladang empuk bagiku yang super malas melakukan tugas perkuliahan. Hanya tinggal mengeluarkan uang, maka tugasku pun akan langsung jadi, dengan nilai yang memuaskan. Satu lagi, Raka senantiasa memberi kepuasan kepada pelanggan. Walau tugas kami sama, tapi Raka akan meramunya hingga tugasku dengan Nola atau Maya takkan sama persis. Bantuan Raka dalam perkuliahanku jelas-jelas sangat membantu. “Kenapa nggak dicoba buat sendiri saja, Zani?” “Bukan urusanmu,” ucapku ketus ketika ia bertanya padaku suatu saat ketika aku meminta jasanya untuk membuat tugas untukku. “Maaf, bukannya lancang. Kalau tugas ini tentang sosialisasi keluarga, kan bisa Zani ambil dari keluarga sendiri, bisa saja kubuatkan tapi nanti hasilnya beda dengan keadaan keluarga Zani.” Aku termangu. Memang tugas ini seharusnya aku observasi dari lingkunganku sendiri. Keluargaku sendiri. Tetapi apa aku harus menceritakan sedetail itu. Aku tak mau keadaan keluargaku menjadi sorotan publik. Dan aku tak mau rasa sepiku diketahui banyak orang. “Biarlah kalau nggak mau, lagian aku nggak punya keluarga,” ucapku nyaris tak terdengar. Tapi setidaknya Raka menangkap ucapanku. “Oh maafkan aku, baik aku bantu. Tapi setidaknya Zani ceritakan keadaan keluarga apa adanya, biar aku nanti bumbui.” “Emangnya sayur, pakai dibumbui,” aku ngakak mendengarnya. Dari sanalah kedekatan kami dimulai, dan dari sanalah juga Raka akhirnya mengerti dan tahu tentang keadaanku, tentang rasa sepi yang bersemayam dalam lubuk hatiku. Hingga tanpa kusadari aku sering curhat padanya. Entahlah, lama-lama aku menyukai laki-laki pintar ini. Walau ia tidak kuliah, tapi perkataannya senantiasa mampu membuat hati ini menjadi nyaman. Petemuanku di malam itu, adalah malam yang mendekatkan kami. Raka mengerti siapa aku sebenarnya. Tapi aku tak menyangka bahwa pertemuan itu semakin berlanjut. Tak percaya ketika suatu saat dia nembak aku. Dan menyatakan bahwa cintanya hanya untukku. Itulah mungkin awalnya, kenapa hubunganku tak mau diketahui banyak orang. Aku ingin melindungi Raka dari cemoohan orang. Tapi seiring rasa percaya diri Raka, pun kepercayaan diriku. Aku pun kini mulai terbuka dan menerima apa adanya. Pun kepada orang tuaku sendiri. Aku dulu senantiasa backstreet, tapi kini aku dengan terang-terangan membawa Raka ke rumah. Awalnya mama marah. Tapi aku tak peduli. Dan mungkin mama bosan melihatku, hingga akhirnya ia bersifat cuek dan masa bodoh padaku. Walau tingkah mama tetap saja jutek di hadapan Raka. Bahkan selama ini belum pernah sekali pun mama menyapa Raka. “Kok murung aja, kenapa Say?” Raka membelaiku. “Aku takut?” “Takut kenapa?” “Takut hamil.” “Memangnya…” Raka tak melanjutkan ucapannya. “Ya, aku telat tiga bulan.” “Hah, beneran?” mata Raka nyaris loncat. Lama kami terdiam, hati kami dipenuhi berbagai perasaan. “Ya udah, kita nikah saja!” ungkapnya ringan tanpa beban. “Hah nikah, kamu serius?” “Ya iya, habis gimana? Mau kau gugurin, kehilangan janinmu seperti yang dulu? Aku tak tanggung jawab?” Raka melengos dan menghindarkan wajahnya dari tatapanku. “Bukan begitu, tapi aku ragu....” “Ragu bagaimana?” “Aku yakin orang tuaku takkan pernah mau menikahkan aku denganmu, kau kan tau itu,” aku menangis. “Ya, aku sadar aku kan orang miskin. Tidak satu level sama keluargamu yang...” “Cukup, Raka! Bukan itu, maksudku...” “Mau mencari pengganti ayah dari bayi ini, yang berasal dari high class sepertimu dan meninggalkan aku yang miskin ini?” wajah Raka merah dan dipenuhi emosi. “Setidaknya kau masuk dulu kuliah, biar aku yang bayarin, biar Mama tahu kalau kau juga anak kuliahan.” “Kuliah? Gila... itu masih lama. Kau mau perutmu tambah besar, atau mau pamer?” Aku terdiam mendengarkan celotehnya. “Kalau itu maumu, yah sudahlah. Aku enak saja meninggalkanmu dengan perut yang besar dan aku mencari gadis lain,” Raka berdiri dan meninggalkanku sendiri di taman ini. Aku hanya terisak. Ya, aku memang tak bisa berbuat apa-apa. Hidup di ujung tanduk. Berada di celah yang semakin menubir. Sungguh sebuah dilema yang begitu besar. Menikah dengan Raka yang miskin atau menggugurkan kandunganku dan tetap dalam kemewahan. Air mataku kian menjadi ketika teringat dalam masalahku aku hanya sendirian. Tak ada lagi tempatku untuk mengadu. Orang tuaku terlalu sibuk mengurusi kekayaan dan harta saja, sedang aku dari dulu sampai sekarang selalu menjadi anak yang terkucilkan. Hidup kekeringan di tengah gelimangnya harta. Ah, tidak! Aku harus mempertahankan janin ini, aku ingin menikmati hidup bahagia, aku tak mau kehidupan getirku menimpa anakku, aku mengusap perutku. “Raka....” teriakku pada Raka yang berjalan perlahan di depanku. Ia menoleh sekilas saja, tapi tak menghentikan langkahnya. “Raka,” aku mempercepat langkah. “Aku mencintaimu,” teriakku. Tak peduli pada orang yang lalu lalang memandangku. “Raka aku mau kau menikahiku,” teriakku lebih keras. Raka berhenti dan sejenak mematung. Kemudian ia menoleh ke arahku. “Raka, aku mau kita segera menikah,” ucapku tersenggal ketika sampai di depannya, karena rasa capek. “Aku mau kau mendampingiku selamanya, menjadi Ayah seutuhnya dari bayi yang kukandung,” aku menarik tangan Raka. “Kau yakin?” Raka memandangku seakan tak percaya. “Aku tak mau anak kita kesepian, seperti halnya aku,” butiran bening segera jatuh dan membasahi pipiku. “Aku tak mau hidup mewah tapi tak merasakan arti bahagia, Raka,” isakku semakin menjadi. “Apa? Menikah dengan lelaki brengsek itu? Tidak! Papa tak menyetujuinya!” “Tapi, Pa...!” “Tapi apa?” “Aku hamil?” “Hah… hamil?” matanya melotot ke arahku. “Ma, Inilah kalau kau biarkan anakmu hidup dengan begajulan seperti dia, hidup tak ada aturan!” makinya pada Mama. “Ah mengapa kau salahkan aku? Kau sendiri enak-enakan di luar rumah tanpa pernah tau pusingnya mengatur di rumah.” “Apa… kau bilang aku enak-enakan? Mencari uang hanya untuk kebahagiaan kau dan anak apakah kau bilang enak? Picik sekali pikiranmu, Ma!” “Kamu yang picik, memikirkan harta saja, sementara kau tak pernah memperhatikan aku!” “Perhatian macam apa? Egois sekali.” “Ah sudahlah, kau mungkin egois. Apakah kau tau, aku selama ini kesepian,” Mama menangis dan berlari ke kamarnya. “Gugurkan kandungan itu!” Papa menatapku, matanya bagai elang yang siap mencakar dan menghujaniku. “Pa, maafkan aku,” isakku, “Tapi aku tak mau menggugurkannya, aku ingin membesarkannya dan menikah dengan Raka.” “Dasar takdirmu menjadi anak miskin,” hardik Papa dengan wajah penuh benci. Sesaat sepi. Aku, Mama dan Papa berada dalam ruang dan percakapan dalam hati masing-masing. Tak bersua, tapi hati kami bercengkerama menenggelamkan segala rasa ke dalam barisan ego masing-masing, tanpa pernah mau tau gerangan apa yang terjadi nanti. Hati kami dipenuhi ambisi pribadi. “Pa, mau ke mana?” suaraku basah karena air mataku. “Ke Belanda, urus saja sendiri. Jaga Mama!” ucapnya berlalu dari hadapanku. Pernikahan sederhana kami lakukan. Tanpa pesta, tanpa adanya Papa. Ya, aku harus menerima konsekuensinya, ini adalah pilihanku. Aku harus siap melakukannya. Pernikahanku dilakukan di rumah Raka yang sangat sederhana. Tapi di rumah ini aku menemukan cinta dari keluarganya. Rasa kecewaku sedikit terobati, ketika Mama datang tepat di hari pernikahanku. Walau ia tak berlama-lama, tapi setidaknya ia memberi semangat padaku. “Kalau ada apa-apa jangan segan untuk menghubungi Mama yah,” ia memelukku. “Maafkan Papa yang tidak datang, juga maafkan Mama yang selama ini mengucilkanmu,” ia mengusap air matanya. “Pernikahanmu sekaligus menyadarkan Mama untuk senantiasa menjaga keutuhan rumah tangga dan senantiasa saling memberi perhatian pada pasangannya, dan selama ini Mama begitu terlena dengan keadaan Mama, hingga nyaris tak pernah memikirkan Papa. Kini Mama ingin sepertimu, menjaga cinta dan menjaga keutuhan cinta.” “Ya Ma, maafkan aku juga yang selama ini tak pernah mendengarkan kata-kata Mama.” “Mama mengerti, kau melakukannya hanya karena nafsu dan melampiaskan rasa sepi karena tidak kau dapat dari Mama,” Mama memelukku. “Mama akan menyusul Papa ke luar negeri dan hidup mendampinginya. Mama ingin memberikan cinta di sisa hidup Mama. Satu lagi, jaga cucu Mama yah,” ia mengusap dan mencium perutku. “Raka, titip anakku, jangan macam-macam!” Raka tersenyum. Kini kulihat permusuhan mereka sedikit mencair. Dan ini mungkin ucapan Mama yang secara langsung ditujukan pada Raka, sekaligus penerimaan Mama pada Raka-menantunya. Karena selama ini jangankan untuk berkata, mama bahkan selalu berusaha menghindar jika bertemu dengan Raka. Mudah-mudahan ini adalah penerimaan Raka dari dalam hati mama terdalam, batinku dipenuhi rasa bahagia.