
by Titikoma

Sebuah Rahasia
Bahagia dan sedih. Bahagia karena aku kembali ke rumah mama dan papaku. Bahagia karena aku dapat berkumpul dengan mama, papaku kembali. Melihat mereka yang berubah. Tak seperti dulu. Kini kulihat kedekatan mereka berdua begitu kentara. Bahagia karena kini kulihat cinta dari sorot matanya. Cinta yang tidak berdasar materi. Tapi berdasar kesetiaan, tanggung jawab, cinta dari hati dan saling mengerti. Bukan karena ego. Mereka saling membutuhkan. Bukan atas keinginanku sendiri sebenarnya, untuk kembali. Inilah hasil rembukan keluarga besar aku dan suamiku. Memilih yang terbaik. Demi kesehatanku yang habis melahirkan. Awalnya aku menolak keinginan mereka untuk tinggal kembali di rumah mewah. “Pa, mengertilah, aku ingin hidup mandiri bersama suamiku.” “Mandiri. Ya, kau sudah mandiri sayang. Papa sudah tau itu. Papa bisa lihat dari kesungguhan hatimu. Papa bangga padamu. Tapi Papa ingin yang terbaik untukmu.” “Demi kesehatanmu,” Mamaku ikut berkata. Aku terdiam. Mataku melirik ke suamiku yang sedari tadi menunduk. Menyimak percakapan kami dalam nanar dan redup matanya. Ehm… entahlah, akhir-akhir ini matanya dipenuhi dengan duka. Mungkin masalah keuangan belum juga terselesaikan. Batinku menerka. “Mas?” “Ya,” ia melirik. “Bagaimana?” Ia mengangguk. “Itu yang terbaik,” hanya itu. Ucapan yang singkat dari suamiku. Padahal ia biasanya dipenuhi cakap. Pendapat tentang berbagai kemungkinan. Ah, masalah memang begitu membelenggu kami. “Bagaimana, mau kan?” tanya Mama. “Ingat Papa dan Mama pun menyayangimu,” Papa membelai rambutku. “Baiklah. Makasih ya, Ma, Pa. Sudah membantuku.” Tapi yang membuatku sedih. Anakku belum bisa dibawa sekarang. Anehnya. Aku belum bisa menemui bayi itu. Padahal rindu begitu menggebu dalam hati. Aku ingin merasakan sebagai ibu yang sempurna. Menetekan susuku, mengeloni dan memandikan bayi segera. Tapi sudahlah. Itu yang terbaik. “Tapi aku ingin melihat bayi itu sekarang. Sebelum pulang.” “Sayang. Sudah kukatakan bayi kita tidak bisa diganggu. Sudahlah. Nanti kalau semua sudah membaik, kau akan segera melihatnya,” bujuk Raka. Ketika aku memaksa untuk segera bertemu dengan bayiku. “Iya. Yang penting kau segera sehat. Percayakan semua pada dokter.” Begitulah, akhirnya aku menikmati kamarku sendiri. Kamar yang dipenuhi kenangan masa laluku. Masa kecil, masa remaja juga masa bersama Raka. Di kamar inilah kami memulai. Aku menempati kamar duluku. Kuatur posisi kamar bayiku senyaman mungkin. Menempatkannya dekat dengan jendela. Supaya sinar matahari masuk dan memberi kelembutan untuk anakku. “Nah, ini box untuk bayiku. Pasti tepat disimpan di sini,” aku tersenyum sendiri. “Lihat, Mas, lucu. Warnanya. Pink. Hehe,” aku memandang box bayi. “Rupanya Mama dan Papa sengaja membawaku ke sini. Kiranya ia sudah mempersiapkan segalanya. Menyiapkannya sebelum bayiku lahir. Puluhan boneka yang lucu juga aneka mainan komplit. Semua sudah tersedia. “Bagus kan Mas, box bayinya. warna pink? Cantik. Pasti sesuai dengan anak kita yang cantik.” “Hem,” sudahlah istirahat dulu. “Mas, bayinya seperti aku atau sepertimu?” “Eu... seperti siapa yah?” “Ah, Mas ini dari kemarin bengong terus. Tidak konsentrasi. Aku ingin segera melihat bayiku. Pasti cantik seperti aku kan, Mas? Tapi, janganjangan hidungnya pesek sepertimu. Haha.” “Zani. Sudahlah Sayang. Bobo yah,” Raka memapahku. Menempatkan dan membaringkan tubuhku di atas kasur. “Baik...baik. Sang dokter,” ucapku manggut dan tersenyum. Menunggu kedatangan bayiku merupakan hal yang paling menegangkan. Aneh, semua orang begitu enggan untuk menceritakan tentang keadaan anakku. Pun itu ketika aku meminta suami atau orang di rumah mengantarkanku ke rumah sakit. Menemui bayiku. Mereka semua melarangku. Dengan alasan kesehatan. Sudah seminggu lebih aku di rumah. Dan itu membuat kesehatanku berangsur pulih. Tapi sepertinya semua tak setuju. Tak mengizinkanku untuk bertemu anakku. Ah, sepertinya ada yang mereka sembunyikan. “Mau ke mana, Zani?” “Ke Rumah Sakit.” “Hey... hey. Ingat kesehatanmu.” “Aku sudah sehat, Mas. Apa kau tidak merasakan apa yang aku rasakan?” “Ada apa ini ribut-ribut?” Mamaku datang. “Aku mau ke rumah sakit.” “Sayang… jaga kesehatanmu.” “Tidak. Aku sudah sembuh. Kalian sepertinya tak merasakan apa yang ada dalam hatiku. Aku ingin kalian mengizinkanku untuk bertemu anakku. Aku seorang ibu yang mengandung dan melahirkan anakku. Apa kalian tidak merasa. Apa Mama tidak pernah menjadi seorang ibu? Betapa aku terluka tiap hari memikirkan anakku. Aku rindu. Aku ingin bertemu...” aku menangis tersedu. Sepi. Senyap. Mama dan suamiku memilih diam. Mamaku mulai terisak. Menangis. Seperti ada beban menggunung. Kuselidiki suamiku. Kuamati wajahnya. Begitu kuyu, begitu menduka. Aku mulai menyadari. Sedikit demi sedikit merasakan bahwasanya ada sesuatu di balik semua ini. “Mas, Ma… ada apa?” suaraku mendatar. Mama terisak. Memelukku erat. “Sayang. Bersabar yah.” “Ada apa Ma?” kutatap Mama lekat. “Ma?” Raka melirik ke Mama. “Biar Mama saja yang bicara.” “Ada apa sebenarnya? Bicaralah...” “Zani sayang. Kau harus bersabar, kau harus ikhlas dengan semuanya. Ingat, Tuhan tidak akan memberi cobaan pada umatnya jika ia tidak mampu. Kau pasti mampu melewati cobaan ini.” “Ada apa dengan anakku, Ma?” aku menatap tegar wajah Mamaku. Kesabaran karena penantian anakku. Menambah sesuatu energi yang baru. Hingga aku dapat merasakan ketegaran yang luar biasa. Aku harus begitu tegar dan tidak cengeng di hadapan mereka. Aku harus mampu menghalau duka. “Aku siap menerima berita apa pun. Ma, bicaralah.” “Anakmu cacat.” Mama berlari ke kamar. Terdengar isakan tangis yang keras. Meninggalkanku yang mematung. Perkataan mamaku ibarat angin keras yang siap menghadang, menghancurkan dan memporakporandakan ketegaranku. “Ayo, Mas. Kita ke rumah sakit. Aku ingin segera melihat anakku.” “Apa kau sudah siap, Zani? Ingat, apa pun itu adalah darah daging kita. Titipan Tuhan yang harus kau sayang. Yang harus kau cintai,” Raka memelukku. Menyimpan duka dalam tatapan matanya nun jauh ke sana. Menghindarkan tatapan mata beradu, hanya untuk menghindar dari tatapanku. “Ya. Aku sudah siap, Mas.” Sepertinya hari ini adalah hari yang paling menegangkan, mendebarkan Betapa tidak, kali ini untuk pertama kalinya akan bertemu anakku. Darah dagingku. Anak yang selama ini sengaja disembunyikan keluargaku hanya untuk menjaga perasaanku. Perasaan senyap dan hilang karena sesuatu sepertinya akan segera kembali. Bertemu anakku yang kurindu. Sepertinya memang ada sesuatu yang luar biasa menimpa anakku. Cacat. Hanya itu yang mama dan suami katakan padaku. Tapi selebihnya, aku merasa ada sesuatu yang luar biasa. Buktinya mama, papa, suami juga orang tua Raka ikut mengantarkan aku ke rumah sakit. Mereka sepertinya takut ada sesuatu yang terjadi padaku. “Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi dengan anakku. Mengapa mereka begitu takut sesuatu terjadi padaku?” pikiranku dipenuhi dengan berbagai kenyataan dan kemungkinan yang akan terjadi tentang anakku. “Kalau yang dikatakan Mama benar. Ya Tuhan kuatkan aku, mohon berikan aku kesabaran dan ketabahan yang lebih. Jangan biarkan aku menjadi seorang pribadi yang loyo dan menjadi pribadi yang cengeng kembali. Bukankah Raka pernah mendidikku, mengajari aku untuk tetap mandiri dalam berbagai hal.” Kali ini adalah suatu kesempatan. Akan aku buktikan pada mama, papa, keluarga besarku. Bahwa aku bukan lagi perempuan manja seperti dulu. Aku sekarang sudah bersuami. Ibu dari seorang anak yang sekarang sedang diperdebatkan. Diperdebatkan dalam kenangan hatiku. Semoga semua baik-baik saja, semoga keberadaan anakku tidak mengubah posisiku untuk tetap menjadi seorang pribadi yang mandiri. Pribadi yang tidak kolokan seperti halnya dulu. Semoga.