Menantimu

Reads
113
Votes
0
Parts
18
Vote
by Titikoma

Ketika Hati Tak Menerima

“Zan, sudah sampai, ayo turun,” Raka tiba-tiba sudah membuka pintu mobil. Memapahku keluar. “Tak terasa sudah sampai,” gumanku perlahan. “Habis kamu melamun terus. Dari tadi aku panggil tidak juga peduli,” Raka menggandeng lenganku. “Ingat, kau harus sabar. Terima apa adanya. Kau harus ikhlas dengan semua, yah,” ia membisikkannya di telingaku. Kujawab dengan anggukan kepala. Dengan segera kaki ini melangkah. Menyusul perasaan hati dan kenangan yang sudah lebih dahulu bertemu dengan anakku, berada dalam sebuah ruangan bayi yang putih bersih. “Ke sini, ruangannya,” Raka menunjukkan sebuah ruangan. “Kenapa?” tanyanya ketika melihatku berdiri di ambang pintu. Ya Tuhan, kenapa hati ini begitu bertalu. Degup dan debaran jantungku kian cepat dan keras berbunyi. “Nggak. Aku hanya gugup.” “Aku temani, ingat apa yang kukatakan tadi ya Sayang.” Aku menghela napas panjang. Kuatur napasku. Kupersiapkan batinku semaksimal mungkin. Tuhan, Ini saatnya. Jangan Kau buat hatiku ragu. Aku berbisik dalam hati. Tempat rumah bayi sudah kulalui. Kulihat bayinya lucu sekali. Hem, tersenyum aku melihat senyum bayi itu yang begitu menawan. Begitu pun ketika beberapa tempat bayi telah kulalui. Semua begitu menenangkan hati. Kini tiba saatnya aku bertemu anakku. Di sebuah ruangan khusus. “Ayo masuk,” Raka yang sudah terlebih dahulu melangkah. Membuka pintu. Sebelum aku membuka kain gorden tempat bayiku, Raka memegang erat tanganku. “Ingat, sabar dan ikhlas,” ia memegang tanganku lebih erat. Aku tak sabar untuk bertemu bayiku.  Sreeet. Kubuka gorden tempat bayiku. “Tidaaaaak!” aku histeris menguar. Entah beberapa lama aku pingsan. Bertemu kembali dengan laki-laki misterius. Laki-laki tua yang datang pada saat aku akan melahirkan. Dan kembali kini ia menghadapku. Datang dengan wajah menunduk. Berkata lembut. “Bersabar dan menerima takdir adalah yang terbaik untukmu, Nak.” Aku hanya mengangguk. “Ingat, Tuhan itu Maha adil. Itu adalah yang terbaik untukmu, suami dan anakmu. “Sebenarnya siapa kakek ini?” Ia tersenyum. “Aku hanyalah seorang tua. Yang hidup dalam waktunya. Menemui dalam suasana hati manusia ketika ia memerlukan jalan untuk kembali. Kembali pada sesuatu yang seharusnya. Menyatukan dengan yang semestinya dan memisahkan dengan yang bukan. Mengadakan yang seharusnya ada, menghilangkan bagi yang seharusnya tiada. Hanya itu yang perlu kau ingat, Nak. Camkan itu!” Laki-laki dalam pandanganku itu kian memudar. Menjelma seperti bayang. Menggumpal, menyebar seperti asap tipis. Retas. “Ke, ke...” “Zani sudah sadar, syukurlah.” Aku membuka mata. Kulihat Raka, mama dan Bu Yuni, mertuaku, hadir di depanku. Berada tepat di bibir ranjang tidurku. “Syukurlah kau segera sadar. Sabar yah Cantik,” Mama memelukku erat. “Mengapa semua terjadi padaku, Ma?” “Sudahlah. Semua kau kembalikan pada-Nya. Pencipta langit dan bumi. Bukankah Mama sudah mengatakan dari awal. Kau harus kuat dan sabar. Kami semua begitu menyayangi. Mama takut terjadi apa-apa denganmu. Makanya Mama dan yang lainnya sepakat untuk sementara tak memberitahumu tentang masalah yang terjadi. Tapi sudahlah, semua kini telah kau ketahui. Kau harus tabah. Ikhlas.” “Tapi.... aku tak sanggup, Ma.” “Ssst. Jangan berkata seperti itu Sayang. Ingat kau tidak sendiri. Ada Mama-Papa, suamimu juga keluarganya. Jangan kau merasa hidup ini sempit, seolah kau sendiri yang menanggung beban. Sabar Sayang. Sabaaaar.” Aku hanya terisak. Meratapi dan menyimak kata demi kata yang meluncur dari mulut mama. Raka dan juga petuah dari Bu Yuni. Tapi semua seperti topeng. Orang-orang yang saling bernyanyi mengelilingiku. Menari-nari dalam derasnya kepedihan hati. Mengolok dan mengejek bayiku yang malang. Tertawa di balik derita yang kudera. Mencacik-cabik hati dan perasaanku. Bodohnya aku, mengapa begitu tertutup. Mengiyakan segala kebodohan yang terjadi. Mendiamkan drama sedari aku melahirkan bayiku. Anakku, darah dagingku. Hingga aku sebagai ibunya tak pernah tahu dari awal tentang keadaan bayi ini. Entah ratusan atau ribuan air mata yang sudah mengalir dari mata mereka membuat kolam bahkan lautan kesedihan dalam penderitaan keluargaku. Sedangkan aku? Sebagai seorang ibu. Mengapa baru merasakan. Mengapa baru meyadari bahwasanya ada duka yang begitu mendalam, ada pisau yang siap mengoyakkan hati, mencabik-cabik dagingku hingga mengeluarkan darah. Tapi tahukah mereka. Bahwa aku ibunya begitu terluka? Teramat. Lautan atau sagara kepedihan mereka yang telah bermuara sedari awal. Takkan sebanding dengan derita yang kini kurasa. Teganya mereka membohongiku. Mengabarkan semua baik-baik saja. Entahlah, Mungkin kalau saja saat itu aku tahu. Luka ini telah sembuh. Luka yang begitu menganga dari sebuah takdir akan kuterima. Berjalan seiring perjalanan waktu. Mengikis, seiring perjalanan bulan dan matahari yang tiap hari tiada lelah menerangi hati. Mungkin itu pula yang akan terjadi padaku. Kalaulah aku tahu sedari awal anakku seperti itu. Mungkin semuanya tidaklah terlalu terluka. Tapi kini? Aku baru memulai menerima kegetiran dan kepedihan hidup dari sebuah bernama awal. Permulaan. Yang pasti akan membuatku luka. Tidak seperti mereka yang mungkin hatinya sudah mulai terbiasa dengan  derita. Derita dari anakku sendiri. Tuhan haruskah aku menerima? Sungguh aku belum siap menerima segala musibah atas kehendak yang Kau berikan padaku. Maafkan aku suamiku. Maafkan aku Tuhan. Sungguh aku belum sanggup menerima semua ini. Aku begitu terpuruk. Mengapa tidak Kau buat derita yang lain yang sanggup aku hadapi. Mengapa Kau berikan beban duka. Duka yang begitu melekat pada anakku. kenapa Kau beri dia derita. Apakah itu imbalan dari sebuah dosa ibu bapaknya. Mengapa Kau berikan pada seorang anak yang begitu murni, putih bersih? Bukankah mereka itu suci? Apakah Kau pikir ia sanggup menerimanya? Tidak Tuhan. Aku tak sanggup membayangkan derita yang akan terjadi sampai kelak. Tidak Tuhan, aku tak mau anakku menjadi bahan gunjingan. Bahan cemoohan yang lain. Aku tak mau anakku menjadi seorang yang membuatnya hanya semakin terlempar ke sagara duka. Ke lembah hina yang semakin dalam. Tidak Tuhan, aku tak sanggup menerimanya. Tuhan. Apa yang harus aku perbuat sekarang? Menerimanya? Aku belum sanggup Tuhan. Aku tak mau anakku menderita lara. Tuhan kenapa tak Kau bawa saja ia pergi. Pergi menjauh dariku, keluargaku. Tuhan, aku tak mau anakku hidup.


Download Titik & Koma

* Available on iPhone, iPad and all Android devices