
by Titikoma

Kenyataan...
Walau Mama, Papaku juga Bu Yuni sudah bercerita panjang lebar. Menceritakan kisah yang telah bertahun-tahun dipendam di hati, tapi kenapa hati ini tak pernah percaya. Pun Raka, dia menolak. “Tak mungkin dia adikku,” Raka berteriak. “Zani dipertemukan sudah jelas sebagai istriku.” “Sudahlah Raka. Kau harus iklas menerimanya,” Papa menepuk pundak Raka. “Ingat bayimu yang meninggal. Ia mengalami cacat. Itu pertanda...” Papa tak melanjutkan pembicaraan. “Tidak. Itu bukan karena incest, Tapi karena Zani... Zani selalu berbuat kotor! Aku telah menikahinya dalam keadaan tidak suci. Dia perempuan kotor!” “Raka!” aku menangis. Tak menyangka dengan ucapan Raka seperti itu. “Raka, diam!” tangan Bu Yuni menampar keras pipi Raka. “Tak sopan kamu bicara seperti itu. Ingat dia itu siapa!” Bu Yumi menangis merangkulku “Maafkan dia Zani.” “Tidak. Aku memang kotor. Pergilah, aku memang perempuan laknat. Pergi!” “Maafkan aku, Zani. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya tidak percaya kalau kita kakak beradik. Aku tak percaya ucapan Ibu. Tanda lahir itu hanya sebuah kesamaan saja.” “Tidaaak!” ucapan Raka benar-benar menelanjangi. Bayangan Beno berkelebat di depanku. Apa yang Raka ucapkan mengingatkanku pada kejadian kelam yang menjijikkan. Dan aku semakin muak. Muak dengan semua. “Aduh,” tiba-tiba ada cairan yang ke luar dari selangkanganku. Perutku mules. Tergesa. Semua bergerak. Beringsut dari masalah yang mengungkung. Satu per satu ditanggalkan masalah yang membelenggu. Demi bayi. Menanggalkan semua masalah, tanpa ada yang berontak. Mereka begitu mencintai aku dan janin ini. Mereka menghentikan bicara, berhenti berargumen. Meredakan emosi yang bernaung dalam kepala. Pun Raka yang semula bingung. Bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tabir. Sebuah tabir yang baru saja terkuak. Menyadarkan semua bahwa segala sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Di tengah penantian dan harapan yang begitu tinggi. Mengapa kini aku harus didera masalah bertubi? Di saat menikmati cinta yang luar biasa. Cinta yang terkumpul dari Mama, Papa dan keluarga Raka. Cinta yang begitu indah. Bayangan bayi mungilku yang pertama hadir berdiri di ambang kamar bersalin, menyambutku. Ya Tuhan, apa yang terjadi kini. Mengapa hatiku begitu kalut? The harlequin baby, bayiku dulu membuntutiku ke mana pun aku pergi. Semoga bayiku tak seperti yang pertama. Bukankah kami sudah melakukan yang terbaik. Dari mulai perawatan, olahraga hamil, melakukan petuah-petuah orang tua yang dianggap kolot semua kulakukan untuk melindungimu, Nak. Tak hanya itu, salatku kerap kulakukan dengan ikhlas. Tuhan. Kini kumeminta-Mu untuk memberikan putra yang sehat. Doaku dalam hati. Seperti kelahiran anak pertamaku, operasi sesar kembali dilakukan. Aku ikhlas dan siap. Bau kamar operasi kembali kurasa. Dan saatnya tidur. Hijrah dari alam yang biasa kurasa. Kini aku berada di alam yang entah di mana. Hamparan pasir begitu luas terlihat. Di sana telah menunggu sosok yang telah kukenal. Laki-laki itu. Laki-laki tua yang senantiasa menyapaku di kala gundah dan tidur lelapku. Tapi ajaib. Kini ia bersama dengan Ranzani, putri kecilku dulu. Ajaibnya putriku begitu cantik. Dengan pakaian putih bersih seperti bidadari ia menyambutku datang. Memelukku dengan seberkas cinta. Kuingat ucapan kakek-kakek itu, mengapa aku harus berpisah dengan Raka suamiku. Ternyata semua benar. Walau awalnya aku tak menerima. Tapi ketika melihat dan mengingat kata-kata dari bibir tua itu, bimbangku seakan hilang. Lesap. Entah ke mana. Aku begitu percaya dengan pepatahnya waktu itu. Bukankah dulu ia pernah berkata, agar aku berpisah dengan Raka. Kini semua terkuak jelas. Apa yang dikatakan kakek itu ternyata benar. Sesuai pengakuan Bu Yuni. Mama, Papaku. Ternyata aku masih saudara. Sedarah. Cinta yang begitu membelenggulah yang memaksaku untuk menolak tabir yang sebenarnya sudah terkuak. Antara yakin dan tidak aku menolak mentah-mentah apa yang mereka katakan. Ya. Aku tak mau berpisah dengan Raka. Seseorang yang selama ini begitu dekat dan menjadi bagian dari hidupku. “Sabar dan tawakal serta menerima semua yang terjadi. Menjadi sesuatu yang ikhlas yang akan menenangkan hatimu kelak,” laki-laki itu berkata jelas. Aku hanya mengangguk. “Ya, aku ikhlas. Semoga semua ini jalan yang terbaik. Aku ikhlas berpisah.” “Mama jangan takut, aku senantiasa mendukungmu. Menjagamu di alam yang jauh,” bening mata gadis cantik-Ranzani menyadarkanku tentang kehadirannya. Samar-samar kulihat meraka hilang. Lesap. Nun jauh ke sana meninggi. Meninggalkanku seorang diri. Menyendiri. Kini senyap. Kehampaan dan kesunyian menderaku. Samar-samar dari kejauhan terdengar suara berdoa. Jauh. Cahaya kecil sekali berkelap-kelip. Aku berusaha menjangkaunya. Antara sadar dan tidak kulihat Mama, Papa memanggilku. Tapi di sebrang sana. Jauh. Kulihat Ranzani gadis kecilku memanggil-manggil. Dengan senyum indahnya. Ke mana aku harus ikut? Mama, Papaku atau Ranzani. Ranzani gadis kecilku yang dulu pernah aku abaikan, kubiarkan dalam lara sendiri. Dan aku tak mau itu terjadi padanya. “Mama, akan bersamamu, Nak,” langkahku mendekat. “Asyik Mama bersamaku,” kulihat ia bertepuk tangan. Riuh. Badannya melayang menyambutku. Tapi ketika tangan ini hendak beradu. “Ea... ea....” terdengar lengkingan suara bayi. Bayi? Ah, aku ingat. Aku baru saja melahirkan. Dan bayi itu pasti membutuhkanku. Mama, Papa. Kulihat ia tersenyum. Menggendong bayi mungilku. Bayi yang baru saja aku lahirkan, dengan darah segar masih menempel di badannya. Aku berbalik arah menggapai bayiku. Mendekati orang tuaku. “Alhamdulillah sudah sadar,” Mama mencium keningku. “Mana bayiku?” Semua diam. Sunyi. “Mana bayiku?” aku semakin berontak. Kulihat bayangan dulu menyapaku kembali. Diam, senyap, tersembunyi. Kulihat semua menyembunyikan wajahnya di balik duka. Menutupi kenyataan yang mungkin sudah kuketahui dari bisikan gaib. Ya, aku merasakan tentang bayiku. “Ma, bayiku....” “Ya. ” “Aku ingin melihatnya.” “Nanti sajalah, Nak. Kau istirahat.” “Tak usah menyembunyikan sesuatu, Ma. Biarlah aku ikhlas. Mana bayiku, Mas?” kutatap Raka dengan penuh benci. Laki-laki yang beberapa jam lalu begitu menghinaku. Menghadap tegak ke arah gorden. Menyembunyikan wajah dalam pandanganku. “Mas, tolong aku ingin bayinya bersamaku.” Raka memandang lekat, menusuk ulu hatiku. Kutatap matanya yang basah karena air mata. “Mas, kembalikan bayiku. Aku sudah tau semua,” kembali kutatap liar matanya. Raka tertunduk, menyerahkan bayi padaku. “The harlequin baby is mine!”