
by Titikoma

Cinta, Aku Menyerah (maretha Agnia)
Siapa yang tak tahu dengan acara akbar Frankfurt Book Fair? Frankfurt Book Fair di Jerman memang dikenal sebagai ajang rimba buku, di mana para profesional industri buku dunia, baik format cetak maupun digital, berkumpul untuk menampilkan kreasi-kreasi terbaru mereka. Mulai dari penerbit, penjual, agen, produser film sampai penulis buku turut berpartisipasi di pameran buku tertua dan terbesar di dunia ini. FBF sudah digelar sejak abad ke-15, seiring diciptakannya mesin tik untuk pertama kali oleh Johannes Gutenberg. President of Frankfurt Book Fair (FBF) Juergen Boos, saat hadir di Jakarta pada Februari 2015, menyatakan sebagai tamu kehormatan, Indonesia diharapkan menunjukkan identitas dirinya yang dimanifestasikan dalam musik, tarian, literatur, atau pameran seni lainnya. Aku sudah sejak 5 tahun bermimpi menghadiri acara akbar tersebut. Mimpiku itu terwujud hari hari ini. Tiga hari yang lalu aku mendapat undangan kehormatan datang ke Frankfurt Book Fair mewakili negara Indonesia. Tentu aku ingin tampil cantik di acara tersebut. Di sana pasti penulispenulis di sana akan berkumpul. Aku sudah berdiri tegak di depan lemari, siap memilih baju yang tepat untuk dibawa ke acara tersebut. Aku makai baju apa ya? Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Bingung, efek kebanyakan punya baju di lemari. Aku mengambil tiga lembar dress model Korea terbaru. Yang satu motif volkadot warna putih hitam, yang satu motif bunga kecil-kecil warna pink dan satu lagi polos biasa. Jika sudah bingung seperti ini, facebook jalan yang tepat menemukan solusinya. Aku menyambar smartphone dengan cepat, lalu memotret tiga baju yang aku ambil di lemari tadi. Setelah fotonya tersimpan, aku klik share to facebook. Tak lupa di keterangan foto aku tulis, “Help me, aku lagi bingung nih milih baju yang mana buat acara Frankfrut book fair. Kasih saran dong gue bagusnya make baju yang mana.” Jempolku menyentuh tulisan kirim di pojok kanan bagian atas. Beres deh, dalam beberapa detik foto kuupload sudah terpampang rapi di beranda facebook. Langsung muncul pemberitahuan, “Nidhom VE, dan enam teman lainnya mengomentari status anda.” Oke, aku klik tulisan itu, dalam sekejap muncullah komentar-komentar mereka. Kartika Cintya Dewi Kalau aku jadi kamu, aku bakal milih dres motif volkadot soalnya lagi hits orang Indonesia make baju motif volkadot. Nidhom VE Kulitmu kan putih jadi aku rasa kamu lebih bagus make baju yang motif bunga kecil-kecil warna pink. Pasti kamu terlihat lebih cantik. Lubuk hatiku terdalam lebih memilih mengikuti saran dari Nidhom VE. Aku ke kamar mandi cobain makai baju yang motif bunga kecil-kecil warna pink. Lima menit kemudian aku kembali lagi ke kamar, dan berdiri di depan cermin rias. Benar yang dikatakan Nidhom VE, aku terlihat lebih cantik memakai dress motif bunga kecil-kecil warna pink. Soal baju sudah beres, sekarang waktunya make up. Make up yang kukenakan sederhana aja sih cukup makai bedak, dan lipstick aja sih. Setelah semua kurasa cukup, kini siap berangkat ke acara Frankfurt Book Fair. Baru saja aku mau ke kamar Maretha, eh orangnya sudah muncul di samping pintu kamarku. “Buset cantik banget lu. Mau kemana?” tanya Maretha. “Lu lupa? Hari ini kan kita kudu dateng ke acara Frankfurt Book Fair.” Aku kembali mengingatkannya. “Iya, gue inget. Gue Cuma heran aja tumben-tumbenan lu dandan cantik. Biasanya kan kemanapun lu dandanannya biasa banget.” Maretha mengerling tatapan jahil. “Jangan-jangan lu janjian sama Gerhard Errando di acara Frankfurt Book Fair ya Aku menowel jidat Maretha yang jenong. Penyakit sok tahunya kumat. “Woy, dia itu tukang makeup nggak mungkin gue ngajakin dia ke acara buku? Dia bakal bete. Kita berangkat sekarang aja yuk, biar nggak telat!” “Oke.” Di acara Frankfurt Book Fair bukan hanya pameran karya buku, namun ada juga yang memamerkan makanan khas dari negara masing-masing. Seperti ramen dari Jepang, tomyam dari Thailand dan soto ayam dari Indonesia. Kebetulan aku dari tadi pagi belum sarapam, sekalian sudah lama tak makan soto ayam. Ketika aku hendak memesan soto ayam, ternyata telat. Habis tak tersisa. Jangan heran bila soto ayam laris manis, 100 mangkuk bisa habis dalam sekejap karena memang rasanya paling mudah diterima oleh orang luar negeri. “Ehem, bentar lagi lu bakal kalah taruhan,” ujar Maretha berbisik di telingaku. Aku mengernyitkan dahi. “Maksud lu apa sih?” “Coba deh lu liat cowok di sana?” Maretha menunjuk pria yang lagi asyik memilih buku di rak best seller. Aku mencoba menyipitkan mata untuk mengenali pria itu. “Astaga, dia kan Gerhard Errando. Kok bisa ada di sini?” batinku bertanya-tanya. “Lu masih inget taruhan kita kan?” “Kalau lu sekali lagi dipertemukan dengan penata rias itu, berarti dia jodoh lu. Dan lu harus memperjuangkan cinta ke dia.” Seketika perkacapan di Oktoberfest kembali terngiang di telingaku. “Iya ya gue inget.” “Kalau lu inget, buruan samperin dia! Lu harus memperjuangkan dia mulai dari hari ini!” Maretha mendorong tubuhku maju. Tak punya pilihan lain, dengan degup jantung berdebar-debar aku mencoba melangkahkan kaki menghampirinya. Seketika langkahku terhenti begitu melihat sosok wanita cantik dan sexy memeluk Gerhard dari belakang. Gerhard perlahan melepaskan pelukan wanitaitu. Barulah aku tahu wanita itu tak lain dan tak bukan adalah Cicilia, panitia acara seminar tempo hari. “Cil, please jangan gini aku malu.” “Buat apa malu demi cinta? Kita masih saling mencintai kan?” Indera pendengaranku masih bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Rasa perih menyusup ke relung hati melihat pemandangan dan ucapan menyakitkan. Tanpa aku sadari cairan bening mengalir begitu saja dari pelupuk mataku. Selalu begini. Setiap aku mulai mencintai pria, endingnya pasti nyesek. Apa ini yang namanya karma akibat aku selalu menulis novel sad ending? Ah, ntahlah. Cinta memang sulit ditebak. Aku memang taruhan sama Maretha memperjuangkan cinta ke Gerhard namun jika sudah nyesek seperti ini aku memilih menyerah. Aku tak ingin melukai hati wanita lain. Cukup aku saja yang terluka. Dengan pikiran kalut dan hati kacau, aku berlari secepat mungkin meninggalkan acara Frankfurt Book Fair. Sampai-sampai aku melupakan sesuatu di sana. Aku melempar tas ke tempat tidur lalu tengkurap sambil memeluk guling. Seketika air mataku mengalir hebat. Bayangan Gerhard pelukan dengan Cicilia kembali menari-nari di pelupuk mataku. “Kenapa aku harus melihat pemandangan menyakitkan itu?” ucapku sambil sesegukan. Di tengah kegalauanku tiba-tiba aku teringat Maretha. Aku menepuk jidat sendiri. Aku baru ingat Maretha masih tertinggal di acara Frankfurt Book Fair. Pasti dia lagi kebingungan mencariku. Secepat kilat aku mengambil ponsel pintar dari dalam tas. Lalu mengirimkan pesan lewat whatsapp. Ret, sorry banget ya gue ninggalin lu. Lu pulang naik transportasi aja ya. Tenang aja ntar gue bayar. Krettt! Pintu kamarku perlahan terbuka dengan sendiri. Panjang umur Maretha. Tak sampai satu menit aku kirim pesan whatsapp, dia sudah muncul di hadapanku. “Woy, tega banget sih ninggalin gue? Gue tadi itu panik nyari lu. Gue kira lu diculik.” Maretha mengomel panjang lebar. Aku menunduk. Pasrah diomelin Maretha. “Sorry, tadi itu gue benartbenar kalut makanya lupa sama lu.” Dia kemudian duduk di sebelahku. Tangan kanannya mengangkat daguku. “Lu kenapa? Lu habis nangis? Coba cerita sama gue, ada kejadian apa di acara FBF sehingga bikin lu nangis dan lupain gue?” “Gerhard ternyata dah punya cewek. Ceweknya itu Cicilia, panitia acara seminar kemarin.” Mata Maretha melotot. “Hah? Lu serius?” Aku mengangguk lemah. “Bahkan tadi gue liat mereka pelukan mesra banget.” “Kalau Gerhard dah punya cewek, lu nyerah gitu aja? Lu yang gue kenal itu sosok yang pantang menyerah dan selalu berusaha mendapatkan apa yang diinginkan. Lu masih inget kejadian Gibriel Alexander?” Air mataku kembali mengalir deras. Shit, kenapa Maretha mengingatkanku akan kejadian pahit itu? Aku menggeleng kepala cepat. “Nggak. Gue dah tobat. Gue nggak mau kejadian Gibriel terulang lagi.” “Good. Tapi apa lu yakin Cicilia pacarnya Gerhard? Waktu gue keluar dari acara Frankfurt Book Fair, gue sempet berpapasan dengan Gerhard dan dia sendirian aja tuh. Kalau Cicilia pacarnya harusnya mereka keluar bareng. Coba deh lu telpon dia, tanyain Cicilia itu siapa.” Kata-kata Maretha ada benarnya. Oke, aku melakukan seperti yang disarankannya untuk menelpon Gerhard. Tuuut ... Tuuut “Halo, Maretha cantik. Ada apa nih nelpon? Kangen ya?” terdengar suara di seberang telepon. “Hallo juga. Kau lagi dimana? Kok berisik banget?” “Aku lagi di jalan. Baru aja pulang dari acara Frankfurt Book Fair.” “Oh ya? Tadi aku juga ke acara itu loh. Bay the way, kau ke sana sama siapa?” “Awalnya sih sendirian tapi di pertengahan acara tiba-tiba mantanku datang dan ngajak balikan.” “Terus kau mau balikan sama dia?” “Ya nggak lah.” Tuuuut ... Tuuut Telepon terputus dengan sendirinya. Mungkin pulsa habis. Sudah lama tak isi pulsa. Biasanya tiap bulan Cuma isi ulang kouta internet. “Tuh kan bener kata gue. Cicilia bukan pacar Gerhard. Ucapan gue memang jarang meleset. Itu artinya lu harus memperjuangkan cinta ke Gerhard.” Air mata yang tadi menetes kini berubah menjadi senyuman. Aku bersyukur Maretha menjadi sahabat. Dia selalu bisa membangkitkan semangatku lagi. “Gerhard, cepat atau lambat aku yang akan mengantikan posisi Cicilia sebagai pacarmu,” tekadku dalam hati.